Munir. Sumber gambar: www.urbanasia.com |
Senin (7/9) lalu, kita kembali diingatkan oleh sejarah kelam Hak Asasi Manusia (HAM) di negeri ini. Ya, tepat pada 7 September 2004 Pejuang HAM Munir Said Thalib meninggal dunia saat dalam perjalanan menuju Belanda, untuk keperluan studi.
Munir,
sebagaimana namanya yang bermakna penerang, semasa hidupnya memang ia abdikan
untuk memberikan sinar kehangatan bagi orang-orang lemah dan dilemahkan. Munir
selalu siap dan senantiasa berada di barisan rakyat, mereka yang diciduk dan
dirampas haknya.
Di dalam
kamus Munir, barangkali, tidak pernah ditemukan diksi ‘takut’. Ia tak pernah
mundur selangkah pun untuk mengungkapkan kebenaran. Ia dengan gigih berani lantang
menyuarakan kepentingan rakyat lemah, sekalipun Munir sendiri harus berhadapan
dengan berbagai ancaman.
Tetapi Munir
tak pernah takut.
Di balik sisi
Munir yang seperti itu, ternyata ada sisi lain yang menarik untuk diulas. Yaitu
soal pergulatan iman seorang Munir. Pergulatan ini jugalah yang menjadikan
Munir selalu lantang dan pantang menyerah menyuarakan kebenaran, membela rakyat
yang tertindas dan ditindas.
Pejuang HAM
yang satu ini mengaku pernah mengikuti jalur keagamaan yang esktrem, atau
katakanlah radikal. Fase tersebut dialami Munir sekitar lebih dari 5 hingga 6
tahun, yakni berkisar antara 1984 hingga 1989.
Gawatnya, ia
mengaku bahwa isi tas yang selalu dibawa ke mana-mana itu, pada 1984-1989, tidak
pernah kosong dari senjata tajam. Dikatakan Munir, hal itu dilakukan atas nama
pertikaian agama. Namun di dalam ruang ektremitas keagamaan itu, ia seperti
merasa kehilangan fungsi atas agama itu sendiri.
“Apakah
benar Islam memerintahkan saya untuk menjadi sangat eksklusif dalam beragama dan
menutup diri dari komunitas lain? Apakah Islam itu untuk Allah, untuk manusia,
atau untuk membangun masyarakat secara umum? Mulai itu, ada pertentangan di
dalam diri saya,” kata Munir.
Di saat
pergolakan batin yang demikian itu, Munir kemudian menemukan pernyataan
mutakhir yang mengungkapkan bahwa agama diturunkan untuk manusia. Ia sepakat
dengan Gus Dur soal Tuhan yang tak perlu ajudan atau asisten untuk mengawal
diri-Nya.
“Intinya
agama harus menjadi maslahat bagi manusia,” kata Munir.
Akhirnya,
Munir lantas meninggalkan cara beragama yang tertutup dan menyeramkan itu. Ia kemudian
menilai bahwa Islam harus senantiasa mendukung peradaban. Karenanya, Munir
bersedia untuk harus bekerja pada wilayah-wilayah yang bertujuan untuk
perbaikan kehidupan manusia.
Setelah kembali
ke ‘jalan yang benar’, Munir akhirnya tersadarkan bahwa agama harus
dipergunakan untuk memperbaiki kehidupan, bukan justru sebaliknya, yang bisa
menghancurkan peradaban manusia akibat dari gaya beragama yang ekstrem dan tertutup.
Menurut Munir,
banyak orang yang mengklaim diri sedang beragama dengan cara membangun
peradaban, tetapi sebenarnya yang dibangun justru simbol-simbol yang
menghancurkan peradaban.
Munir
menegaskan bahwa bentuk-bentuk perbedaan-perbedaan dalam hal apa pun, terkadang
justru melahirkan ekstremitas. Hal ini bukan saja terjadi dalam agama, tetapi
juga terjadi pada etnis atau suku. Ekstremitas itu, kata Munir, adalah sikap
yang selalu memutlakkan diri sendiri seraya menafikan orang lain.
“Ini
kadang-kadang terjadi tidak hanya antaragama, tetapi juga antar faksi-faksi
berfikir dalam agama,” kata Munir.
Hal tersebut
bisa dilihat dari sejarah Indonesia yang telah banyak peristiwa pertumpahan
darah atas dasar perbedaan cara berpikir faksi-faksi agama. Misalnya seperti
anti gerakan tarekat, pengasingan orang, dan pembunuhan, yang semuanya
dilakukan atas nama ekstremitas.
Dari situ,
menurut Munir, seolah-olah hidup hanya sekadar menjadi perang memperebutkan
kapling surga yang berapa hektar luasnya pun belum bisa diukut sama sekali.
Titik perubahan
cara beragama Munir yang ekstrem dan menjadi lebih lembut adalah ketika ia
berhadapan dengan antitesa lain yang menurutnya juga cukup ekstrem. Suatu
ketika, Munir pernah dilemparkan sebuah pertanyaan oleh dosennya di Universitas
Brawijaya, H Abdul Malik Fadjar (Tokoh Muhammadiyah/Mantan Menteri Pendidikan
Nasional).
Pertanyaan yang
membuat Munir kemudian menjadi gelisah itu adalah, “apakah beragama itu
kekuasaan?”
Malik Fadjar
mengatakan, “Saya tidak pernah mengetahui seorang pemuda sebodoh anda yang ke
mana-mana membawa semangat untuk berperang dengan instrument agama demi
menguasai orang.” Kalimat yang disampaikan di hadapan Munir itu membuatnya
lega. Ia bahkan menyebut sang dosen itu sebagai seorang yang sangat liberal.
Menurut
Munir, Islam itu memang harus liberal dan dapat menerima perbedaan-perbedaan. Islam
tidak punya kewenangan ketika tidak bisa memberikan tempat bagi yang lain. Ia
baru sadar bahwa aliran ekstrem yang selama itu ia ikuti, ternyata sama sekali
tidak memberikan ruang terhadap orang lain.
Atas
pernyataan Malik Fadjar di atas, Munir mengaku merasa sangat kaget. Saat
mendengar kalimat itu tadi, dengan sangat seketika Munir berkeringat, padahal Kota
Malang adalah daerah yang dingin. Ia mengaku telah menemukan sesuatu, pernyataan
Malik Fadjar itulah yang mengilhaminya.
Selanjutnya,
saat Munir sedang aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Malik Fadjar kembali
mengeluarkan pernyataan sekaligus pertanyaan yang membuat Munir benar-benar
kaget untuk kedua kalinya.
Kata Malik
kepada Munir, “Kau pelajari Islam yang benar. Kalau kamu anak HMI, baca Nilai Identitas Kader (Nilai-nilai Dasar Perjuangan
atau NDP). Dari situ silakan dievaluiasi, apakah benar HMI untuk
perang-perangan atau menjalankan misi sosial?”
Setelah
sekian lama dipelajari, Munir akhirnya menemukan bahwa Islam memang mengakui bahwa
dalam relasi sosial terdapat ketidakadilan. Ada yang menzalimi ada yang
dizalimi. Nah, Munir menilai bahwa Islam harus memihak kepada pihak yang
dizalimi.
Jadi
menurutnya, Islam tidak memihak kepada Islam. Melainkan harus memihak kepada
yang dizalimi demi menciptakan keadilan. Islam itu, disebut oleh Munir sebagai
sebuah keadilan, bukan untuk menciptakan eksklusivisme yang sering terjadi di
mana-mana.
Temuan bahwa
Islam tidak seharusnya berlaku ektrem itu, membuat Munir harus terpisah dari komunitas
yang membuat ia pertama kali tumbuh itu. Namun demikian, Munir kemudian menemukan
komunitas baru yang bisa menerima perbedaan-perbedaan.
“Saya kira,
normal saja kalau dalam kehidupan, kita menemukan antitesis-antitesis yang
menawarkan Islam dengan watak sebenarnya,” kata Munir.
*Tulisan di atas disarikan dari wawancara Gus Ulil Abshar Abdalla dengan Munir Said Thalib di www.islamlib.com
0 komentar: