Berbincang soal idealisme |
Pada sebuah pertemuan, beberapa waktu lalu, saya sengaja mengangkat tema idealisme sebagai bahan pembicaraan serius di tengah hiruk-pikuk bercandaan yang tak jelas arah. Bagi saya, idealisme ini sesuatu yang tak pernah usai untuk dibahas.
Kata Tan
Malaka, Bapak Kemerdekaan Republik ini, idealisme adalah kekayaan terakhir yang
dimiliki seorang pemuda. Karena merupakan kekayaan, maka tentu saja hanya sedikit
yang benar-benar dapat memilikinya.
Idealisme
bagi saya adalah prinsip, semacam sebuah kedaulatan untuk memerdekakan diri
sendiri dari keterjajahan orang lain. Setiap manusia, menurut saya, memiliki
idealisme masing-masing, yang dapat ditafsirkan berbeda-beda.
Namun, saya
tegaskan dalam pertemuan itu, bahwa idealisme bukan anti-kemapanan. Bukan
sebuah prinsip yang melatari keinginan untuk selalu hidup sengsara, jauh dari kekayaan
materi-duniawi, dan bahkan memang tidak punya keinginan untuk kaya.
Bukan itu.
Idealisme adalah benar-benar barang berharga, yang tidak oleh sembarang orang
dimiliki. Ia suci. Tidak bisa ternodai oleh apa pun. Tetapi, idealisme hanya
akan menjadi pura-pura jika digenggam oleh orang-orang munafik.
Di dalam
suatu perkumpulan, tentu saja terdapat garis besar haluan agar perkumpulan itu
tak keluar jalur. Saya rasa, semua perkumpulan memiliki koridor gerak masing-masing,
sehingga saat keluar dari jalur yang semestinya, perkumpulan ini bisa dianggap
sebagai perkumpulan yang tak menanamkan idealisme sebagai sesuatu yang suci.
Suatu
perkumpulan ini bisa apa pun. Organisasi, komunitas, LSM, dan
perkumpulan-perkumpulan masyarakat adat di pelosok-pelosok daerah. Masing-masing
perkumpulan atau kelompok itu, pasti punya aturan main sendiri-sendiri yang wajib
dijalani oleh orang-orang yang ada di dalamnya.
Ketika ada
ideologi yang mengintervensi dari luar, yang kemudian mengotori kesucian
idealisme di dalam perkumpulan, maka menjadi sangat wajar jika orang-orang yang
ada di dalam perkumpulan itu mencoba melakukan perlawanan.
Setiap orang
bisa memahami idealisme sesuai dengan kapasitas berpikirnya masing-masing. Oleh
karena itu, idealisme bermakna sangat relatif. Tetapi idealisme yang saya
maksud itu adalah tidak mencampuri urusan internal suatu perkumpulan dengan
ideologi perkumpulan yang lain.
Kita boleh
aktif di mana pun tempat, bahkan di partai politik sekalipun. Tapi keaktifan
kita di mana-mana itu, jangan sampai menghancurkan bangunan idealisme
suatu perkumpulan dengan ideologi yang kita bawa dari luar.
Saya akan
memberikan contoh dan permisalan.
Ketika kuliah,
di Universitas Islam “45” Bekasi, beberapa organisasi saya ikuti. Tidak hanya
sebagai anggota, tetapi pengurus harian. Pertama, saya menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa
Ilmu Komunikasi (Himikom) Unisma Bekasi.
Kedua, saya
menjabat sebagai Ketua Departemen Kajian dan Wawasan Kebangsaan UKM Pusat
Kajian Pancasila. Ketiga, saya menjadi Ketua UKM Teater Korek. Dari ketiga
organisasi ini, saya belajar banyak hal.
Saat di
Himikom, misalnya, saya benar-benar menjaga keutuhan idealisme perkumpulan itu.
Saya berupaya agar jangan sampai Himikom ini kemasukan ideologi-ideologi dari
luar, yang berpotensi merusak dan menghancurkan idealisme Himikom.
Begitu pula
saat di Pusat Kajian Pancasila. Saya hanya fokus untuk menjadi penyedia kajian
setiap minggu, sesuai tugas pokok dan fungsi yang diberikan kepada saya. Kajian-kajian
itu pun dilakukan agar para anggota tidak tergerus idealismenya dengan ideologi
dari luar.
Lebih-lebih
saat di Teater Korek. Idealisme kekaryaan, kesenian, dan kebudayaan sangat
melekat di sana, sehingga sangat sulit untuk dimasuki atau diintervensi oleh
kepentingan dari luar. Teater Korek adalah rumah bagi semua orang, tanpa harus
menghancurkan satu sama lain.
Dari ketiga
perkumpulan yang saya ikuti, saya sangat tidak rela jika perkumpulan itu
dijadikan sebagai ‘lumbung kader’ untuk melakukan kaderisasi di luar, oleh
pihak-pihak luar, di luar perkumpulan itu.
Di suatu perkumpulan
yang lain, saya pernah diminta untuk menjaga marwah idealisme, saya patuhi karena
yang meminta adalah seorang yang mengepalai perkumpulan itu. Tetapi di
perjalanan, dia membelot, saya dituduh kaku. Akhirnya saya tinggalkan itu
perkumpulan.
Lalu saya
dipersalahkan karena meninggalkan perkumpulan itu. Sudah sejak lama, padahal,
saya ingin membuat sebuah pertemuan akbar membahas soal ini, tapi orang yang
meminta saya untuk menjaga idealisme itu, saya rasa kurang berpengalaman untuk
adu argumentasi.
Kini, saya
benar-benar merdeka karena sudah bisa berjalan di atas kesucian idealisme,
tanpa intervensi ‘balas budi’ dan bayang-bayang senior. Sekarang, saya sudah
dilamar NU Online untuk membantu pewartaan ke-NU-an di level nasional. Begitu
pun, dilamar pula oleh Media IPNU untuk membantu mengedit artikel berita dari
kontributor di daerah.
Selain itu,
saya pun diminta untuk menjadi pengurus di Badan Kebudayaan Nasional (BKN)
Dewan Pengurus Cabang (DPC) PDI Perjuangan Jakarta Timur. Di kendang banteng
ini, saya mewakili unsur teater, yakni Laboratorium Teater Korek. Sebuah
organisasi teater untuk para alumni Teater Korek Unisma Bekasi.
Tentu saja, saya tidak bodoh. Keaktifan saya di partai politik, tidak lantas menghancurkan idealisme saya sebagai pewarta NU Online dan Redaktur di Media IPNU. Saya juga tidak akan mencampuri urusan itu, sehingga menjadi bias antara ideologi partai dan idealisme perkumpulan.
Nah, sesuatu yang menjadi rancu itu adalah ketika, misalnya, saya saat di NU membincang partai, tapi ketika di partai justru membincang NU. Bahkan, bodohnya lagi apabila saya punya niat mencari kader untuk mengurus partai melalui perkumpulan NU, sementara mencari kader untuk mengurusi NU melalui perkumpulan partai.
Itulah yang disebut sebagai kehancuran idealisme. Idealisme itu, bergerak dan berpikir sesuai dengan porsinya, Tidak dihancurleburkan dari satu perkumpulan ke dalam sebuah perkumpulan yang lain. Saya menentang keras hal-hal yang demikian itu. Sebab, tentu saja akan menggerus nilai-nilai idealisme itu sendiri.
Apalagi kalau sudah uang yang berbicara.
Benar saja kata Tan Malaka, idealisme adalah kekayaan terakhir yang dimiliki pemuda. Sebab menjaganya butuh kearifan, ketelitian, kehati-hatian, dan kecerdasan. Jangan sampai bias. Jangan sampai rancu, seperti yang sudah-sudah.
Wallahua’lam…
0 komentar: