Ilustrasi. Sumber: www.mistar.id |
Pada 9 Desember mendatang, 270 daerah di seluruh Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak. Sesuatu yang menjadi perhatian banyak pihak adalah Pilkada kali ini dihelat di tengah pandemi Covid-19 yang tak berkesudahan.
Virus
mematikan itu masih aktif dan kian masif tersebar. Hal itu bukan murni karena
virus yang, misalnya, hingga kini belum ditemukan vaksinnya, tetapi lantaran
kesadaran masyarakat yang semakin berkurang. Ditambah pula dengan pemerintah
setempat yang terkesan tidak serius mengatasi virus ini.
Tantangan
kita hari ini ada dua. Bangkit dari ekonomi yang melemah dan berperilaku sehat
sekaligus mematuhi protokol kesehatan agar terhindar dari bahaya pandemi yang
mematikan ini. Memang peluang untuk sembuh saat terkena virus ini masih sangat
besar, tapi jangan sampai kita justru menjadi penyebab terciptanya klaster baru
Covid-19 di lingkungan kita.
Oleh karena
itu, Pilkada serentak kali ini sangat berbeda dan penuh tantangan. Para politisi,
baik yang mencalonkan maupun mesin kerja kampanye, harus berpikir ulang mengenai
strategi baru yang harus dilakukan untuk memenangkan kontestasi perebutan
kekuasaan. Inilah era baru politik kita.
Namun demikian,
Pilkada serentak tahun ini benar-benar sangat rentan terjadi politik uang. Calon
kepala daerah, bisa saja memanfaatkan kemiskinan atau kesengsaran rakyat akibat
pandemi ini sebagai jalan masuk untuk memenangkan kontestasi. Caranya, tentu
saja menyogok dengan uang dan mengiming-imingi hal-hal yang utopia.
Persoalan
ekonomi memang sangat sensitif, sekaligus juga bisa dimanfaatkan oleh para
pemain politik di dalam Pilkada serentak yang akan dilaksanakan sekitar tiga
bulan mendatang. Ini yang harus diwaspadai oleh rakyat agar tidak mudah terbuai
dengan rayuan gombal calon kepala daerah.
Rakyat harus
benar-benar bisa tercerahkan supaya bisa memilih calon pemimpin berdasarkan kualifikasi
dan kompetensi, bukan karena sogokan uang yang tidak seberapa. Rakyat harus
bisa memilih pemimpin yang berorientasi kepada kemaslahatan umum, bukan pemimpin
yang ketika jadi hanya memikirkan soal balik modal.
Ada kaidah
ushul fiqh yang sangat populer soal pemimpin ini, yaitu tasharruful imam ala
raiyyah manutun bil maslahah. Bahwa kebijakan seorang pemimpin haruslah
berdasarkan pada kemaslahatan. Kuncinya adalah seorang pemimpin harus
mengedepankan kemaslahatan orang banyak ketimbang kepentingan kelompok dan
pribadi.
Mahmud
Musthafa Salim Al-Shamady dalam bukunya al-Mashalih al-Mursalah wa Dauruha fi al-Qadhaya al-Thibbiyah al-Mu’ashirah mengungkapkan bahwa maslahat adalah apa
saja yang berisi tindakan yang bisa membawa kepada kondisi baik. Jadi, rakyat
harus benar-benar bisa melihat rekam jejak calon pemimpin daerah, punya kompetensi
atau tidak dalam melakukan pemecahan masalah untuk menuju perubahan ke dalam
kondisi yang lebih baik.
Lebih dalam,
Imam Ghazali dalam buku Al-Mustashfa mengatakan bahwa maslahat berarti menarik
kemanfaatan dan menolak kemudharatan atau sesuatu yang menimbulkan kerusakan. Secara
hakikat, maslahat itu bermakna menarik kemanfaatan dan menolak segala bentuk
kemudharatan atau kerusakan.
Nah di media
sosial, saya banyak melihat para bakal calon pemimpin daerah itu tidak
mengindahkan kemaslahatan. Belum terpilih saja sudah sangat terlihat bahwa
sebagian dari mereka itu sebenarnya tidak mampu menciptakan maslahat.
Kita tahu
bahwa anjuran paling mendasar untuk mencegah penularan penyebaran Covid-19
adalah dengan mematuhi protokol kesehatan. Beberapa diantaranya adalah memakai
masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, sering-sering cuci tangan, dan
hindari kontak fisik dengan orang lain.
Tetapi yang
terjadi, sungguh tidak demikian. Calon-calon pemimpin daerah itu, entah karena apa,
seperti tidak mengindahkan anjuran pemerintah soal protokol kesehatan. Padahal
mereka, kelak kalau terpilih dengan suara terbanyak, akan menjadi pemerintah
juga. Bagaimana mungkin calon kepala pemerintahan tapi tidak mematuhi aturan
yang dibuat oleh pemerintah?
Pagi tadi,
saya mendapat kiriman berita yang mewartakan bahwa calon kepala daerah di salah
satu kabupaten di Pulau Sulawesi, positif terpapar Covid-19. Walhasil seluruh
orang yang pernah berinteraksi dengannya itu harus dilakukan tindakan swab test. Semua
simpatisannya pun diimbau oleh KPU dan Bawaslu setempat untuk segera
mengisolasi diri.
Tidak jauh
dari daerah ini, ada bakal calon kepala daerah juga yang menggelar konser deklarasi.
Kepolisian setempat mengungkapkan bahwa kegiatan konser itu sudah mendapat
rekomendasi dari gugus tugas Covid-19 di sana. Tetapi tetap saja, dalam
pelaksanaannya, si calon penguasa ini menyalahi aturan protokol kesehatan.
Dalam konser itu, tentu para peserta deklarasi di sana berdesakan. Tidak berjarak sama sekali. Bahkan, beberapa warga datang ke lokasi acara dengan tidak menggunakan masker.
Di Pulau
Jawa pun sama. Di beberapa daerah, para calon pemimpin itu juga norak. Mengadakan
arak-arakan dengan berkerumun dan berjalan menuju tempat pendaftaran di KPU
setempat. Beberapa juga terlihat saling tidak berjaga jarak, berjabat tangan,
dan tidak memakai masker. Bahkan, menurut saya, penggunaan masker itu pun hanya
sekadar formalitas saja, sebagai gimmick di depan media.
Pertanyaan
yang muncul kemudian, apakah tidak ada aturan yang mengatur soal itu? Tentu
saja ada. Semalam saya mendapatkan draf Peraturan KPU RI Nomor 10 tahun 2020.
Di dalamnya, secara tertulis ada aturan yang mengatur soal penyelanggaraan
pesta demokrasi di tengah pandemi Covid-19. Misalnya, mari kita lihat pasal
pasal 58 ayat 1. Aturannya berbunyi:
“Pertemuan
terbatas serta pertemuan tatap muka dan dialog, sebagaimana dimaksud dalam pasal
57 huruf a dan huruf b, diselenggarakan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dengan ketentuan sebagai berikut:
(a) dilaksanakan dalam ruangan tertutup, (b) membatasi jumlah peserta yang
hadir paling banyak 50 orang dan memperhitungkan jaga jarak paling kurang satu
meter antarpeserta kampanye serta dapat diikuti peserta kampanye melalui media
daring, (c) pengaturan ruangan dan tempat duduk harus menerapkan protokol
kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19, dan (d) wajib mematuhi
ketentuan mengenai status penanganan Covid-19 pada daerah Pemilihan Serentak
Lanjutan setempat.”
Kemudian,
ditegaskan pula di dalam ayat 2, masih di pasal 58. Di situ tertulis, “Dalam
hal metode kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat satu tidak dapat dilakukan,
pertemuan terbatas serta pertemuan tatap muka dan dialog dilakukan melalui media
daring.”
Ketentuan
peraturan setelah pasal 58 tersebut mengatur agar seluruh kegiatan kampanye dan
semua acara tahapan penyelenggaraan pilkada harus dilakukan dengan minimal
memperhatikan protokol kesehatan. Kalau tidak bisa demikian, maka dilakukan
dengan tatap muka secara virtual.
Saya kemudian teringat dengan pesan Gus Dur yang sangat terkenal, bahwa sesuatu yang paling penting dari politik adalah kemanusiaan. Jadi, kepada para politisi yang menjadi kontestan pilkada serentak ini, saya sebagai rakyat meminta tolong untuk senantiasa berkomitmen dalam menjaga kemanusiaan kita.
Selain itu, saya
berharap agar para calon kepala daerah beserta tim kampanye dapat mengedepankan
akhlak dan etika, menaati aturan yang berlaku, dan menarik simpati para pemilih
dengan cara-cara yang baik.
Sebab, kalau menciptakan kemaslahatan dengan menjaga protokol kesehatan saja tidak bisa, bagaimana nanti kalau sudah terpilih dan dituntut harus mampu melahirkan kemaslahatan yang lebih besar. Yakin bisa? Mari kita lihat tiga bulan ke depan. Bagaimana Pilkada di tengah pandemi berlangsung? Apakah para calon pemimpin itu dapat benar-benar menciptakan kemaslahatan? Wallahua’lam…
0 komentar: