Sudah sejak dulu Islam berwajah santun, ramah, murah senyum, dan bahkan memaafkan seluruh musuh-musuhnya. Hal tersebut dicatat oleh sejarah dalam sebuah kisah heroik bernama Fathu Makkah atau yang jamak dimaknai sebagai takluknya Kota Mekkah.
Lebih dari itu, kita bisa belajar dan memetik hikmah dari keteladanan Nabi Muhammad dalam memperlakukan pihak lawan. Ini pun bisa menjadi bekal bagi kita untuk siap menghadapi berbagai fenomena keagamaan yang penuh reaktif dan marah-marah, seperti belakangan ini mencuat.
Bagaimana tidak, Nabi benar-benar mengajarkan sikap memaafkan yang dapat menggugah sekalipun berada di posisi puncak kemenangannnya. Hal ini pula yang bisa dicontoh oleh segenap penguasa agar tidak semena-mena lantaran punya kuasa.
Abu Sufyan, seorang tokoh utama permusuhan atas Islam terduduk lemas. Ia benar-benar ketakutan saat umat Islam berbondong-bondong memasuki kawasan Mekkah. Tapi apa yang terjadi? Nabi justru memberi permaafan yang sangat tulus kepada musuhnya itu. Bahkan dengan tegas, Nabi berkata: “Barangsiapa memasuki rumah Abu Sufyan, ia aman.”
Lalu Ikrimah Putra Abu Jahal. Kejahatannya tak kalah dari bapaknya. Ia sempat kabur ke Yaman. Tapi istrinya yang telah lebih dulu memeluk Islam bermohon kepada Nabi untuk mengampuninya. Di kemudian hari, Ikrimah gugur pada pertempuran Yarmuk dalam keadaan membela Islam.
Kemudian ada pula Pemuda Quraisy Suraqah Putra Naufal yang karena tawaran seratus ekor unta berupaya membunuh Nabi Muhammad pada perjalanan hijrah. Tapi setelah Fathu Makkah, Nabi pun memberikan maaf kepada Suraqah.
Nabi Muhammad pernah diumpat melalui syair-syair yang mencela dan menjelekkannya oleh Furat Putra Haiyan. Selain bersyair untuk menyerang Nabi, tugas Furat adalah sebagai mata-mata dari pasukan Kafir Quraisy. Setelah Fathu Makkah, Nabi justru memberikan maaf kepada Furat sekaligus menghadiahi sebidang tanah di Yamamah.
Hamzah Putra Abdul Muththalib adalah seorang paman yang sangat dicintai Nabi. Dia mati di tangan Wahsyi Putra Harb. Lembing yang dibidiknya tepat membunuh Hamzah pada pertempuran Uhud.
Setelah sempat kabur ke Thaif, Wahsyi akhirnya menyerah dan memohon ampunan. Nabi langsung memberi ampun seraya dengan tegas berkata: “Janganlah kamu berjumpa aku lagi, karena melihat dirimu aku teringat pamanku.”
Di kemudian hari Wahsyi menebus kesalahannya dengan membunuh Musailamah al-Kadzab si nabi palsu. Dalam banyak riwayat, Wahsyi disebut-sebut sebagai pembunuh paman Nabi yang masuk surga.
Usai mati di tangan Wahsyi, jantung Hamzah Putra Abdul Muththolib dikunyah dan dimakan oleh seorang perempuan paling biadab di masa itu, Hindun Putri ‘Utbah. Sebagaimana Wahsyi, Nabi pun memaafkan Hindun walaupun tak mau melihat wajahnya lagi.
Apa yang bisa kita simpulkan dari berbagai kisah singkat yang menggambarkan keluhuran pekerti Nabi? Tentu saja soal memaafkan sekalipun tidak sepenuhnya dapat melupakan.
Dalam keadaan sudah berhasil menaklukan Kota Mekkah, Nabi sebenarnya memiliki privilese untuk menghancurkan musuh-musuhnya, tapi itu tidak dilakukan karena risalah agung yang dibawa Nabi adalah soal martabat kemanusiaan.
Sesungguhnya Nabi bisa saja menurunkan semua pasukannya untuk menghancurkan seluruh musuh yang sudah menyakiti hatinya karena orang-orang tercinta dan terdekat Nabi mati di tangan mereka. Tapi Nabi lebih memilih untuk memaafkan tanpa kekerasan dan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan, sama sekali.
Sebab penyalahgunaan kekuasaan itulah yang dapat menghancurkan martabat kemanusiaan. Hal itu mengakibatkan peradaban dalam sebuah tatanan kehidupan bersama rusak, hancur total. Nabi sudah memberikan teladan baik, kenapa lantas kita masih saja berbuat seenaknya saja kepada orang-orang yang tak sepaham dengan kita?
Sungguh, Nabi tidak pernah mengajarkan agar kejahatan dibalas pula dengan kejahatan. Justru kelembutanlah yang dapat meluluhlantakkan kebencian. Kita pasti ingat soal kisah Ibnu Hajar yang melihat batu yang menjadi cekung karena ditetesi air secara terus menerus. Begitu pula kelembutan yang akan membuat kebencian sirna.
Kedengkian, kebencian, dan caci-maki tidaklah patut dibalas dengan kesewenang-wenangan karena merasa memiliki segala perangkat untuk ‘berperang’. Memaafkan bukan untuk kepentingan musuh tapi berfungsi untuk mengentaskan sampah emosi di dalam hati.
Dengan demikian, kita mampu menjadi pribadi yang penuh kearifan seperti Nabi, terutama saat diamanahi untuk memegang sebuah kekuasaan. Karena sejak dulu, Nabi Muhammad selalu meneladankan bahwa Islam berwajah ramah, bukan marah.
Kemarahan jangan dibalas kemarahan, tetapi harus dibalas dengan senyuman. Demikian Nabi Muhammad mengajarkan.
0 komentar: