Satukan Jiwa-jiwa kita
Bangunlah dalam senasib serasa
Singkirkan luka hadirkan tawa
Menggapai semua cita
***
Barangkali masih ada dalam buah pikir kita selama ini, tentu rindu yang tak mampu terbantahkan. Ada suara tawa yang lepas; kala itu, canda menjadi kewajiban dalam setiap pembicararaan, serta tangis ketakutan malam itu buatku menjadi sosok yang pura-pura berani. Padahal kita sama, tak sedikit pun berbeda. Adalah waktu yang saat itu sudah lebih dulu menghuni ruang kecil jiwaku, yang menjadikanku terpaksa harus lebih besar dari lingkaran kebersamaan kita, dan dari lingkaran-lingkaran yang ada dalam lingkaran kebersamaan itu sendiri. Padahal kita sama, tak sedikit pun ada pembeda. Bahkan, pasti akan selalu teringat bahwa ketika itu, ada ikrar untuk mengokohkan keberadaan dan keberadaban kita, agar tak menjadi sembarang keesokan hari; Catur Prasetya namanya.
Adakah kegelisahan di kedalaman kalbu, bahwa bait-bait yang kita senandungkan malam itu merupakan sebuah jahitan agar jiwa-jiwa yang terlahir dari surga yang berbeda ini, akan tetap selalu rekat? Bahwa kita memang bergerak dalam langkah yang pasti tak sama diiringi dengan bersumpah bahwa kita akan berusaha mengindahkan langkah demi sebuah cita dan asa yang sama? Pernahkah kita gelisah untuk bersama membangun jiwa ini dalam perasaan yang sama; nasib dan rasa? Lalu bagaimana dengan janji kita untuk tetap berputar dalam kemilang warna dunia? Masihkah itu menjadi sesuatu yang patut digelisahkan, atau sekadar serpihan-serpihan serupa debu yang terpakai untuk tayammum; berguna hanya di saat kita membutuhkan? Apakah pose terbaik kita saat itu, sekadar menjadi penghias ruang tamu rumah kita saja? Ingatkah, ketika malam itu tangisku tumpah? Aku gelisah karena takut kebersamaan kita diracuni oleh perasaan yang tak pernah sesuai dengan bait-bait yang serupa wirid dalam ibadah itu. Bahwa kegelisahanku adalah yang pada hari ini sudah menjadi jawaban yang tepat dan mewujud dalam kenyataan, padahal sama sekali tak pernah ada harap dariku agar kegelisahanku itu mengemuka di depan mata.
Sudah hampir setengah dasawarsa momentum kebersamaan itu kita lewati, kini hanya menjadi sejarah laksana prasasti; ada bukti otentik, tapi hadirnya tiada. Bagaimana dengan jiwa-jiwa kita yang tak menyatu, yang berserak ditelan iblis bernama ego? Kupikir, kalau lingkaran kebersamaan itu kita beri nama keluarga, maka sudah tak perlu lagi ada amarah untuk seorang pemberi petuah. Sekalipun murka dalam keiblisan ego pada diri turut hadir, sangat mudah kita singkirkan; dengan kembali membuat lingkaran kebersamaan dari keberadaan dan keberadaban kita kala itu, dengan berdasar dan bersandar pada rindu yang tertanam indah di setiap tidur malam.
Kerinduanku kini menjadi cemeti yang pedih, saat kutahu kenyataan pahit mencambukkan dirinya dengan kekejaman yang sama sekali tidak pernah terpikir sebelumnya. Angan yang semula gandrung di pikiranku menjadi kandas, saat kemilang warna dunia sudah kelabu, tergerus oleh kedurjanaan yang pekat. Sadar pada dasar terbentuknya diri ini adalah karena kebersamaan yang diciptakan dengan keindahan estetika, bahkan gerimis pun bersaksi atas petikan gitar dan nyanyian yang melantur dari semestinya; kehangatan bukan saja tercipta karena ada api yang menyala-nyala di hadapan kita, tapi karena keberadaan kita yang dinaungi oleh maslahat rekat yang jauh dari muslihat jahat.
Aku tunggu di ruang kantung kebudayaan, untuk bersama menumpahkan rindu dalam gerak dan derap yang terterap. Kapan kita menjadi jiwa-jiwa yang satu, yang semula terpisah karena kita berasal dari surga yang berbeda?
Sekali lagi, masih kutunggu.