Dalam beberapa kesempatan, di hadapan teman-teman, saya sering berkelakar tentang sesuatu yang barangkali dianggap tak etis. "Saya ingin merevisi al-Quran" -begitu saya katakan ke teman-teman dengan nada yang tidak terlalu serius. Praktis, membuat teman-teman tercengang dan ada pula yang menghakimi saya, tentu dengan nada yang tidak terlalu serius juga. Sebagian lagi sepakat dengan saya.
Maksud saya bukan menghapus ayat-ayat al-Quran dan menggantinya dengan kitab suci baru yang berbeda sama sekali dengan al-Quran. Memang, al-Quran yang saat ini kita tahu adalah bentuk modifikasi baru yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad. Tapi bukan itu yang sedang menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
Saya cuma ingin merevisi al-Quran dalam hal penafsiran dan penggunaan ayat-ayatnya. Sebagai contoh, di dalam al-Quran tidak ada sama sekali ayat yang melarang perbudakan. Justru anjuran untuk memelihara budak dan menggauli budak di luar nikah diperbolehkan dalam al-Quran. Kalau penafsiran kita terhadap kitab suci terakhir itu hanya secara harafiyah, perbudakan pun akan terus berlaku sampai sekarang. Atau, kalau kita mau melakukan perbudakan itu, niscaya kita menyetujui keberadaan ISIS yang membolehkan perbudakan. Sementara ISIS adalah organisasi yang terlarang di negeri yang damai ini.
Di dalam tradisi Ahlussunnah Wal Jamaah, menafsirkan al-Quran itu harus sejalan dengan akal. Kalau ada ayat yang tidak bisa terjangkau oleh akal, maka akal tersebut harus tunduk terhadap wahyu atau ayat. Menurut Muhammad Abduh, salah seorang mufassir, ayat-ayat al-Quran itu sejalan dengan akal, kalau ada ayat yang tidak sejalan dengan akal, pahamilah itu sebagai majas atau kiasan.
Ayat al-Quran itu sifatnya lentur, siapa pun bisa menafsirkan tanpa harus merujuk pada ulama-ulama ahli tafsir. Karena sifatnya yang seperti itu, maka saya akan merevisi al-Quran dengan mengambil beberapa ayat yang sesuai dengan konteks kekinian. Meninggalkan sebagian ayat di dalam al-Quran tidak lantas melunturkan keislaman dan keimanan di dalam diri. Saya meyakini misalnya, poligami itu perintah dari Tuhan. Tapi tidak menjadi persoalan ketika saya tidak memilih poligami sebagai jalan hidup. Begitu pun soal perbudakan.
Tak sedikit pula di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menganjurkan umat Islam untuk berperang dengan yang bukan Islam. Atau memerangi orang yang keluar dari institusi agama Islam. Hal-hal seperti itu, saya maknai sebagai kejadian yang pernah terjadi dan menjadi sejarah dari Islam sendiri. Karena dalam hal turunnya wahyu, ketika itu, terlebih dahulu ada kejadian yang berlangsung, dan wahyu itu sebagai keterangan atau solusi dari kejadian atau peristiwa yang terjadi. Kalau ayat-ayat itu masih diamalkan, tentu akan mencederai peradaban yang sedang berkembang.
Menurut saya, kitab suci apa pun, termasuk al-Quran diturunkan sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Maka, revisi ayat al-Quran perlu dilakukan. Istilah revisi yang saya maksud adalah mengamalkan ayat-ayat yang cenderung memberikan kedamaian dan ketenteraman bagi umat manusia.
Dalam perjalanan keberagamaan yang saya rasakan, kedua orang tua saya sering menyatakan dan memberi nasihat ketika kita selesai mengaji atau membaca al-Quran merasakan kedamaian dalam jiwa, maka itulah substansi dari kitab suci. Tetapi ketika selesai mengaji atau membaca al-Quran hati kita justru menyimpan kedengkian dan permusuhan kepada orang lain, apalagi misalnya permusuhan itu dikuatkan oleh beberapa ayat al-Quran, maka ada yang salah dari cara mengaji dan membaca al-Quran yang dilakukan. Membaca dan mengaji yang dimaksud adalah menadabburi tiap-tiap ayat yang kita baca.
Nah, Indonesia akhir-akhir ini sering dihebohkan dengan aksi radikalisme dan terorisme. Para pelaku teror yang mengatasnamakan agama itu berawal dari gaya menafsirkan ayat yang hanya secara harafiyah tanpa melihat konteks yang ada. ISIS misalnya, organisasi trans-nasional itu menggaet orang-orang sedunia untuk sejalan dengan mereka. Hal itu dilakukan berdasar penafsirannya terhadap ayat-ayat yang terdapat di kitab suci. Bisa dibilang, perilaku ISIS seperti membawa peradaban Islam mundur jauh sampai ke abad ketujuh.
Di dalam litetatur Islam, ada dua kategori negara; Dar al-Harb (Negara Kafir) dan Dar al-Islam (Negara Islam). Sementara Indonesia berada di antara keduanya, bukan negara kafir juga bukan negara Islam. Indonesia adalah negara yang mengakui keberadaan Tuhan, dan karenanya Indonesia menerima keberadaan semua agama. Maka, disebutlah Indonesia ini sebagai Darussalam (Negara Damai) yang disepakati oleh ulama-ulama Indonesia pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936. Karena pada kenyataannya, Indonesia adalah negara yang berupaya memberikan kedamaian bagi setiap agama.
Di tengah maraknya fenomena ujaran kebencian atas nama agama, saya mengimbau agar kita kembali kepada al-Quran dan membaca serta menadabburi ayat-ayat yang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Ini dilakukan dalam rangka membendung gerakan takfir. Hal ini dilakukan juga semata-mata karena kecintaan terhadap Indonesia yang Darussalam itu. Saya tetap mencintai Indonesia dengan keragaman tanpa penyeragaman.
Karena menurut al-Quran sendiri keragaman adalah sesuatu yang sudah given, hukum alam, takdir ilahi, atau sunnatullah (QS. Al-Ahzab: 62). Maka, penolakan terhadap keragaman yang ada termasuk perbuatan yang menodai ketetapan Tuhan. Ayat semacam ini tentu berbeda dengan ayat-ayat tentang peperangan yang ditafsir oleh ISIS.
Indonesia menjadi tempat yang indah karena perbedaan yang melimpah. Dan perbedaan-perbedaan yang ada diyakini oleh orang Indonesia sebagai anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Karena tanda-tanda kekuasaan Tuhan itu diantaranya menciptakan kita dengan beragam bahasa dan warna kulit (QS. Arrum: 22). Diskriminasi terhadap perbedaan bahasa dan warna kulit merupakan pengerdilan kekuasaan Tuhan. Maka, sebagian besar orang Indonesia memilih untuk menoleransi segala yang ada sebagai bentuk kebertuhanan mereka.
Selain Tuhan pencipta langit dan bumi itu; Tuhan Yang Tunggal, tidak ada satu wujud pun yang betul-betul menyerupai-Nya (QS. As-Syuro: 11). Tidak ada kemiripan dalam penciptaan manusia, anak kembar sekalipun, merupakan tanda bahwa Tuhan Yang Ahad itu adalah Tunggal dan Kuasa atas segala sesuatu.
Aksi saling pentung, pemaksaan dalam hal beragama, tidak menerima kalau ada yang berbeda, teriak dengan menggunakan nama Tuhan untuk melegitimasi tindakan anarki, sama sekali tidak mencerminkan keberimanan diri kepada Tuhan. Sementara Tuhan itu tidak pernah memaksakan kehendak. Dalam QS. Yunus ayat 99, Tuhan tidak pernah menggunakan Kemahakuasaannya yang mutlak itu untuk memaksakan agar semua manusia di muka bumi ini beriman. Jadi, bagaimana dengan mereka yang kerjanya selalu memaksa agar sama, padahal Tuhan tak pernah memaksa? Hal serupa juga terdapat dalam QS. Al-Kahfi ayat 29.
Tuhan pun melarang utusan-Nya melakukan pemaksaan, karena terutusnya seorang Nabi bukan sebagai diktator tapi sebagai pemberi peringatan (fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta 'alaihim bimushoitir), memberi peringatan tentu berbeda dengan memaksa, apalagi dengan melakukan tindak kekerasan atau kekejaman. Larangan Tuhan terhadap Nabi itu juga dimuat dalam redaksi QS. Al-Ahzab ayat 45. Bahwa seorang utusan itu tugasnya hanya tiga, memberi kesaksian, memberi kabar, dan memberi peringatan.
Kalau Nabi saja dilarang oleh Tuhan melakukan pemaksaan, apalagi kepada kita yang hanya seorang manusia biasa. Maka lebih spesifik, dalam surat Al-An'am ayat 108, Tuhan seperti melarang kita untuk saling menghujat dan melempar kebencian kepada sesembahan umat lain. Karena kalau kita menghujat, akan timbul hujatan-hujatan yang baru tanpa berdasar pada ilmu pengetahuan.
Penciptaan dalam bentuk yang beragam adalah sebuah kesengajaan Tuhan dalam menguji kita untuk saling berlomba dalam kebaikan (QS. Al-Maidah: 48 & Al-Baqarah: 148). Dan perlombaan itu adalah bentuk kesyukuran kita terhadap Tuhan yang telah mempersilakan kita untuk saling mengenal satu sama lain (QS. Al-Hujurat: 148). Maka, ayo berkompetisi dalam kebaikan dan kenalilah semua hal yang berbeda dengan kita, agar tidak ada lagi prasangka buruk yang timbul akibat keengganan kita untuk saling mengenal lebih dalam lagi.
Dari uraian beberapa ayat al-Quran yang sejalan dengan konteks keindonesiaan yang sangat beragam ini, menunjukkan bahwa Indonesia memang bukan Negara Agama, tetapi Negeri yang Qurani. Adalah sekelompok orang yang jahat dan perbuatan keji yang menyatakan bahwa negeri ini tidak sesuai dengan ketentuan Tuhan Yang Mahatunggal itu.
Wallahu a'lam.