Kala itu, April 2014, aku mengecupmu dengan tangis kerinduan, memelukmu sembari mendoa agar keturunanku tidak menjadikan waktu percuma saat bersamamu; berdekap erat pada keberlimpahan mimpi yang indah, agar mewujud di kemudian hari.
Buntetku, tubuhmu yang penuh keberkahan itu bukan hanya sekadar wadah untuk mencari ilmu atau sebagai pendewasaan diri dan keimanan, tetapi juga ajang pemerdekaan manusia seutuhnya.
Aku yang terlena pada keanggunanmu, merasa tak berharga ketika itu; namun keutuhan diri justru kutemukan ketika kita tak lagi bersama.
Setidaknya, aku tahu harus bagaimana kala berhadapan dengan masyarakat yang tentu beragam; kiranya itu, petuah yang kau berikan untukku.
Kini, setelah dua tahun kita tak jumpa; mari kemas rerindu yang berserak, agar menjadi bingkisan yang cantik untuk memperindah pertemuan kita, esok hari.
Ada banyak cerita yang akan terkisahkan untukmu; tentang keakuanku yang sudah berbeda dengan saat aku masih dalam genggam erat tanganmu.
Aku malu dan merasa masih jauh dari keberadaan ilmu, sementara engkau yang pemaaf, tak jemawa menyambutku; bahkan dengan kelembutan kasihmu, kita kembali rajut kenangan kenakalan masa kecilku karena acuh terhadap aturan.
Beberapa kali kita dipertemukan di mimpi malamku; senyummu yang renyah dan kecemerlangan wajahmu itu, membuat rindu kian tak tertahan saat terjaga di awal pagi yang masih dini.
Buntetku, kerinduan ini semoga diberkahi Allah dengan washilah Kanjeng Nabi serta kerelaan diri Mbah Muqoyyim untuk mendoakan umat dan santrinya, termasuk diriku yang mengharap itu.
Doakan semoga tanpa kendala dan tidak timbul bencana; untuk pertemuan kita. Meski hanya beberapa hari, bagiku sangat berharga; agar rindu segera terobati. Kalau sewaktu-waktu rindu datang kembali, sempatkan waktumu untuk hadir dalam bayang lamunanku; hadirlah, meski hanya sekadar itu.
Bekasi, 8 April 2016