"Untuk masalah hormat-hormatan, lebih baik anda kaji lagi, jangan termakan dengan analogi bodoh yang bersifat provokasi," demikian postingan Sidik Kimogakari dalam akun facebooknya.
Saya sudah mengira status atau postingan itu sebagai tanggapan dari isu yang saat ini sedang berkembang. Ada yang gila hormat sampai-sampai membuat analogi-analogi yang sangat tidak masuk akal dan tidak ada relevansinya terhadap asumsi 'hormati orang yang tidak berpuasa'.
Di kolom komentar dari status Sidik Kimogakari itu, saya berasumsi: "Saya menghormati orang yg tidak berpuasa, tapi dg catatan. Pertama, yg saya hormati adalah mereka yg tidak terkena kewajiban utk berpuasa atau mendapat keringanan utk tdk berpuasa di bulan Ramadhan. Kedua, saya akan menghormati mereka sekalipun tdk terkena kewajiban atau mendapat keringanan utk tdk berpuasa selama mereka tdk sengaja dg terang2an menggoda atau menganggu orang yg sedang berpuasa. Ketiga, saya menghormati perbedaan pendapat dan argumentasi yg sekarang sedang hangat dibicarakan. Selama tidak menimbulkan kerusuhan dan kerusakan, saya anggap itu adalah sebuah keniscayaan. Sekian," kira-kira seperti itulah sikap saya terkait isu hormat-menghormati.
Saya sama sekali tidak terpancing soal isu perda syariah untuk ikut dalam arena perdebatan tanpa dasar atau tidak argumentatif yang justru akan merusak pahala ibadah di bulan Ramadhan. Karena bagi saya, perdebatan semacam itu tidak penting. Saya imbau kepada teman-teman semua bahwa dalam menanggapi isu tersebut, kita jangan serampangan berbicara dan berargumentasi, bahkan ada asumsi atau cenderung fitnah bahwa Indonesia saat ini mayoritas warganya sudah anti dengan Islam karena menolak perda syariah. Eits, tunggu dulu!
Tujuan ditegakkannya syariat Islam itu apa sih? Semua yang berbau Islam yang kearab-araban bisakah kita sebut sebagai syariat Islam atau syar'i? Supaya tidak terlalu berpanjang lebar, yuk kita bahas bagaimana seharusnya kita menyikapi syariat Islam itu. Haruskah menjadi peraturan di dalam kehidupan bernegara, atau bisakah Syariat Islam diterapkan dengan tanpa menjadi regulasi atau kebijakan di tingkat eksekutif?
Setelah membaca dan mendengar beberapa referensi keagamaan, menurut saya syariat berarti jalan menuju sumber kehidupan agar tercipta moralitas yang baik dan keberadaban yang lebih beretika sehingga tercipta sebuah kemaslahatan di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Menurut hemat saya, syariat merupakan sesuatu yang paling mendasar untuk menopang dan mengatur kehidupan keberagamaan umat. Tujuannya, agar umat bisa hidup dengan menjunjung tinggi moralitas dan etika, sehingga tercipta keberlangsungan hidup yang harmoni.
Penafsiran soal syariat -atau katakanlah hukum- sangat beragam. Semuanya berlandaskan pada Al-Quran dan Hadits dengan interpretasi dan penafsiran yang beragam, sehingga memunculkan banyak perdebatan di kalangan ulama. Namun dengan begitu, perdebatan mengenai perbedaan pendapat soal hukum dimaknai sebagai sebuah keniscayaan, selama tidak mengancam nyawa atau terjadi pembunuhan karena argumentasi dan interpretasi yang berbeda.
"Pendapatku mungkin benar, mugkin juga salah. Pendapatmu mungkin salah, mungkin juga benar," demikian pendapat para ulama hukum Islam menyikapi perbedaan pandangan keagamaan.
Sebenarnya, tanpa membuat syariat Islam menjadi peraturan atau regulasi dan lain sebagainya, kita masih tetap bisa menjalankan dan menegakkan syariat Islam itu dengan melihat lima poin penting dari tujuan ditegakkan atau diterapkannya syariat Islam.
المقاصد العام للشارع في تشريعة الاحكام هو مصالح الناس بكفلة ضرورياتهم وتوقير حاجياتهم وتحسناتهم
Tujuan Syariat secara umum adalah: kemaslahatan bagi manusia dengan memelihara kebutuhan yang mendesak dan menyempurnakan kebutuhan serta kebaikan bagi mereka," demikian kata sebagian besar ulama fiqih.
Jadi, dalam upaya penegakkan hukum Islam atau yang disebut sebagai syariat itu, perlu kiranya melihat hikmah bagi manusia secara universal. Masholih an-naas yang menjadi target utama bagi penerapan syariat itu.
Kemaslahatan tidak akan tercipta ketika abai pada pemeliharaan-pemeliharaan kebutuhan manusia. Karena syariat atau hukum Islam bertujuan untuk kemaslahatan bagi umat manusia secara menyeluruh, maka kiranya umat Islam tidak egois untuk memonopoli hukum agama menjadi hukum negara dengan tanpa mempertimbangkan aspek pemeliharaan kebutuhan manusia.
Tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Ada lima tujuan hukum Islam yang harus dipertimbangkan dalam upaya menegakkan hukum Islam, yakni:
1. Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama)
2. Hifdz An-Nafs (Memelihara Jiwa)
3. Hifdz Al’Aql (Memelihara Akal)
4. Hifdz An-Nasb (Memelihara Keturunan)
5. Hifdz Al-Maal (Memelihara Harta)
Sangat tidak dibenarkan ketika Syariat Islam justru menjadi ajang untuk meniadakan eksistensi agama lain atau paham keagamaan lain. Sebab memelihara agama merupakan kunci utama yang kemudian teraplikasi ke dalam pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Agama sebagai cahaya kemanusiaan akan terlihat bagaimana ia mengutamakan kepentingan umat manusia dengan berdasar pada cinta dan kebaikan. Hukum agama bisa diterapkan dengan tanpa menjadi peraturan dan atau kebijakan dari pemerintah setempat, atau bahkan (tidak dibenarkan juga) hukum agama justru menggantikan hukum sebuah negara.
Pertanyaannya, sudahkah kita memelihara agama? Kalau ternyata agama hanya menjadi senjata untuk menyerang dengan angkat senjata dan tindak kekerasan serta kekejaman, itu bukanlah upaya pemeliharaan agama.
Mari tegakkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pelihara dulu agama kita dengan baik, baru kita bisa memelihara keempat aspek yang lain, dan hukum syariat akan terterap tanpa perdebatan ini-itu yang justru menjauhkan kita dari esensi agama; yakni cahaya kemanusiaan.
Wallahu A'lam.
Saya sudah mengira status atau postingan itu sebagai tanggapan dari isu yang saat ini sedang berkembang. Ada yang gila hormat sampai-sampai membuat analogi-analogi yang sangat tidak masuk akal dan tidak ada relevansinya terhadap asumsi 'hormati orang yang tidak berpuasa'.
Di kolom komentar dari status Sidik Kimogakari itu, saya berasumsi: "Saya menghormati orang yg tidak berpuasa, tapi dg catatan. Pertama, yg saya hormati adalah mereka yg tidak terkena kewajiban utk berpuasa atau mendapat keringanan utk tdk berpuasa di bulan Ramadhan. Kedua, saya akan menghormati mereka sekalipun tdk terkena kewajiban atau mendapat keringanan utk tdk berpuasa selama mereka tdk sengaja dg terang2an menggoda atau menganggu orang yg sedang berpuasa. Ketiga, saya menghormati perbedaan pendapat dan argumentasi yg sekarang sedang hangat dibicarakan. Selama tidak menimbulkan kerusuhan dan kerusakan, saya anggap itu adalah sebuah keniscayaan. Sekian," kira-kira seperti itulah sikap saya terkait isu hormat-menghormati.
Saya sama sekali tidak terpancing soal isu perda syariah untuk ikut dalam arena perdebatan tanpa dasar atau tidak argumentatif yang justru akan merusak pahala ibadah di bulan Ramadhan. Karena bagi saya, perdebatan semacam itu tidak penting. Saya imbau kepada teman-teman semua bahwa dalam menanggapi isu tersebut, kita jangan serampangan berbicara dan berargumentasi, bahkan ada asumsi atau cenderung fitnah bahwa Indonesia saat ini mayoritas warganya sudah anti dengan Islam karena menolak perda syariah. Eits, tunggu dulu!
Tujuan ditegakkannya syariat Islam itu apa sih? Semua yang berbau Islam yang kearab-araban bisakah kita sebut sebagai syariat Islam atau syar'i? Supaya tidak terlalu berpanjang lebar, yuk kita bahas bagaimana seharusnya kita menyikapi syariat Islam itu. Haruskah menjadi peraturan di dalam kehidupan bernegara, atau bisakah Syariat Islam diterapkan dengan tanpa menjadi regulasi atau kebijakan di tingkat eksekutif?
Setelah membaca dan mendengar beberapa referensi keagamaan, menurut saya syariat berarti jalan menuju sumber kehidupan agar tercipta moralitas yang baik dan keberadaban yang lebih beretika sehingga tercipta sebuah kemaslahatan di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Menurut hemat saya, syariat merupakan sesuatu yang paling mendasar untuk menopang dan mengatur kehidupan keberagamaan umat. Tujuannya, agar umat bisa hidup dengan menjunjung tinggi moralitas dan etika, sehingga tercipta keberlangsungan hidup yang harmoni.
Penafsiran soal syariat -atau katakanlah hukum- sangat beragam. Semuanya berlandaskan pada Al-Quran dan Hadits dengan interpretasi dan penafsiran yang beragam, sehingga memunculkan banyak perdebatan di kalangan ulama. Namun dengan begitu, perdebatan mengenai perbedaan pendapat soal hukum dimaknai sebagai sebuah keniscayaan, selama tidak mengancam nyawa atau terjadi pembunuhan karena argumentasi dan interpretasi yang berbeda.
"Pendapatku mungkin benar, mugkin juga salah. Pendapatmu mungkin salah, mungkin juga benar," demikian pendapat para ulama hukum Islam menyikapi perbedaan pandangan keagamaan.
Sebenarnya, tanpa membuat syariat Islam menjadi peraturan atau regulasi dan lain sebagainya, kita masih tetap bisa menjalankan dan menegakkan syariat Islam itu dengan melihat lima poin penting dari tujuan ditegakkan atau diterapkannya syariat Islam.
المقاصد العام للشارع في تشريعة الاحكام هو مصالح الناس بكفلة ضرورياتهم وتوقير حاجياتهم وتحسناتهم
Tujuan Syariat secara umum adalah: kemaslahatan bagi manusia dengan memelihara kebutuhan yang mendesak dan menyempurnakan kebutuhan serta kebaikan bagi mereka," demikian kata sebagian besar ulama fiqih.
Jadi, dalam upaya penegakkan hukum Islam atau yang disebut sebagai syariat itu, perlu kiranya melihat hikmah bagi manusia secara universal. Masholih an-naas yang menjadi target utama bagi penerapan syariat itu.
Kemaslahatan tidak akan tercipta ketika abai pada pemeliharaan-pemeliharaan kebutuhan manusia. Karena syariat atau hukum Islam bertujuan untuk kemaslahatan bagi umat manusia secara menyeluruh, maka kiranya umat Islam tidak egois untuk memonopoli hukum agama menjadi hukum negara dengan tanpa mempertimbangkan aspek pemeliharaan kebutuhan manusia.
Tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Ada lima tujuan hukum Islam yang harus dipertimbangkan dalam upaya menegakkan hukum Islam, yakni:
1. Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama)
2. Hifdz An-Nafs (Memelihara Jiwa)
3. Hifdz Al’Aql (Memelihara Akal)
4. Hifdz An-Nasb (Memelihara Keturunan)
5. Hifdz Al-Maal (Memelihara Harta)
Sangat tidak dibenarkan ketika Syariat Islam justru menjadi ajang untuk meniadakan eksistensi agama lain atau paham keagamaan lain. Sebab memelihara agama merupakan kunci utama yang kemudian teraplikasi ke dalam pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Agama sebagai cahaya kemanusiaan akan terlihat bagaimana ia mengutamakan kepentingan umat manusia dengan berdasar pada cinta dan kebaikan. Hukum agama bisa diterapkan dengan tanpa menjadi peraturan dan atau kebijakan dari pemerintah setempat, atau bahkan (tidak dibenarkan juga) hukum agama justru menggantikan hukum sebuah negara.
Pertanyaannya, sudahkah kita memelihara agama? Kalau ternyata agama hanya menjadi senjata untuk menyerang dengan angkat senjata dan tindak kekerasan serta kekejaman, itu bukanlah upaya pemeliharaan agama.
Mari tegakkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pelihara dulu agama kita dengan baik, baru kita bisa memelihara keempat aspek yang lain, dan hukum syariat akan terterap tanpa perdebatan ini-itu yang justru menjauhkan kita dari esensi agama; yakni cahaya kemanusiaan.
Wallahu A'lam.