Selain menjadi bulan kemunafikan (Baca ini), Ramadhan juga merupakan wadah untuk perdebatan bodoh dan pekok.
Para penceramah yang berbeda latar belakang keagamaan saling sindir di atas mimbar dan seringkali menghindari meja diskusi.
Mereka melempar dalil seadanya, tanpa tafsir yang memadai, apalagi rujukan dari mufassir terkemuka di dunia.
Menafsirkan ayat dan hadits sebisanya, tidak dengan metode yang telah tersedia, membuat akar rumput bergoyang dan kepanasan.
Bermodal surban, sarung, dan baju koko adalah awal untuk mendapat panggilan ustadz di kota-kota besar.
Tak perlu mondok, tidak butuh metode tafsir atau kajian mengenai tata bahasa Arab, juga tak perlu bisa membaca kitab kuning, terjemahan pun jadi!
Kutip sana-sini, googling di internet, catat, langsung jadi penceramah, modal paling utama adalah ngaji kuping ke murabbi terdekat.
Sementara itu, akan terjadilah perdebatan yang sengit nan pekok lagi bodoh, apalagi ketika ustadz jebolan Pesantren yang ilmunya sudah luas, justru terpancing untuk memprovokasi jamaah dari atas mimbar.
Perdebatan yang terjadi sebenarnya hanya sekitar hal-hal yang sama sekali tidak akan melunturkan nilai-nilai keagamaan, justru aksi saling sindir dan lempar dalil dari atas mimbar yang membuat agama ternoda.
Silakan diskusi, bukan dimaksudkan untuk menilai siapa yang salah dan benar, tapi agar ada pertanggungjawaban yang argumentatif atas dasar yang digunakan.
Jangan sampai perbedaan khilafiyah menjadikan kita terpecah belah, apalagi sampai membuat persaudaraan hancur lebur karena khilaf(ah).
Selamat berpuasa!