Pada tiap rintik hujan sore itu
yang basahi lembar-lembar daun di taman
gerutu kalbu selalu berseru
berdecak pun mendendang biru
berharap satu; rekat, dekap, pengap
lalu melangkah rebah di bawah kemerlip lampu kota
menyusuri riuh suasana malam suka
kanan-kiri muda-mudi nikmati gigil
saling dekap, rekat, pengap
sementara diri tetap tak henti melangkah rebah
sebab bukan itu yang tertuju
aku tetap tak perduli siapa
tak memperhatikan apa
aku melenggang
tetap melangkah rebah
menyisir tiap jengkal kesunyian
sadarku,
tak perlu berharap selalu
untuk satu; rekat, dekap, pengap
karena pada tiap-tiap sunyi
aku menemukan satu itu
aku mendekap
begitu rekat
hingga pengap
Kunikmati segala romansa indah
untuk menjadikan sunyi sebagai pelita
atas kepekatan yang mendera
yang selama ini antah-berantah sudah
Kekasih,
bahwa pada sunyi kita mendekap
rekat
pengap
menjadi satu tak berjarak
rebah langkah padamu
engkaulah titik tuju itu
Satu
Lantas di setiap sepertiga malam
awal
tengah
atau bahkan akhir
namamu memanggil-manggil lagi
dan kusebut namamu berulang-kali
isyarat kerinduan yang rawan harapan
kita satu; rekat, dekap, pengap
Dan saat rintik hujan sore itu kembali datang
kita tak perlu lagi mencari
sebab kita satu
menjadi bukan kau dan aku; kita
lebur
Untuk aku dan dirimu, kini
sudah tak menunggu rintik hujan membasahi
kita sudah satu
di setiap waktu
menjadi abadi
bahkan kita menikam waktu
agar mati pasti
dan kita berada dalam abadi
tanpa resah dikejar dan menunggu waktu; untuk satu.
Bekasi, 6 Oktober 2016
Aru Elgete