Persoalan yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok nampaknya semakin memperjelas makna sebuah penistaan. Kita berbondong-bondong untuk melindungi agama dan Tuhan agar terhindar dari kehinaan dan penghinaan. Kita juga berlomba untuk mengembalikan kesucian dua hal yang dianggap mulia itu dari noda yang membandel.
Muslim sudah menjadi dewasa pasca-kejadian di Kepulauan Seribu, beberapa bulan yang lalu. Buktinya, mereka menuntut Ahok melalui jalur konstitusional. Aksi mereka itu disebut sebagai Jihad Konstitusional. Mereka tidak merusak. Taman dijaga dengan tidak menginjak-injak rerumput dan bebungaan yang ada di lokasi aksi.
Terakhir, mereka menggelar aksi super damai 212 di
kawasan Monumen Nasional (Monas) dan sekitarnya. Acara diisi dengan salawat,
dzikir, istighotsah, dan Salat Jumat berjamaah. Tak lupa juga menyanyikan, “tangkap, tangkap, tangkap si Ahok, tangkap
si Ahok sekarang juga”. Lagu itu disuarakan berulang-kali. Hampir mirip
dengan dzikir atau wirid. Karena kekerasan secara teks-verbal, itu wajar. Namanya
juga baper.
Yang jelas, saya tidak mempermasalahkan jumlah massa
aksi yang ada pada saat itu. Mendapat rekor muri atau tidak, makan roti dengan merek
ternama dalam negeri, dan siapa yang bertindak sebagai muadzin, sungguh itu
#BukanUrusanSaya. Intinya, Bela Islam Jilid 3 berlangsung tertib dan aman.
Sekalipun lidah tak bertulang terkadang mengeluarkan kalimat kebencian. Sekali
lagi, itu wajar.
Semoga tidak sampai ada Bela Islam sampai jilid 6.
Karena saya akan sulit membedakan mana yang sudah fasih membaca dan menafsir
Al-Quran dengan orang yang baru saja khatam Iqro. Karena Islam itu adalah soal
kuantitas. Yang penting banyak. Bahkan, ada yel-yel yang mengadopsi dari
kawan-kawan mahasiswa pergerakan, “Islam bersatu tak bisa dikalahkan”.
Saya salut. Berjuta kali saya memberi apresiasi kepada
saudara seagamaku yang kala itu turun aksi. Mereka murni membela Islam, tanpa
dibayar dan membayar. Di sana, katanya, seperti Al-Maidah, ada banyak hidangan
yang tersaji. Dari mulai air, kurma, nasi bungkus, sampai Roti berlabel Syar’i pun
turut mewarnai aksi nan damai itu. Semuanya tersaji secara gratis. Tinggal
konsumsi. Seperti di surga, kata mereka.
Tak lama pasca aksi yang menakjubkan itu, Aceh
dirundung duka. Tertimpa musibah gempa nan dahsyat. Mungkinkah itu pertanda
bahwa sudah waktunya Ukhuwwah Islamiyyah menjadi rekatan yang sejati? Tak boleh
lagi terpecah-belah dan bercerai-terurai. Warga di Pidie Jaya, membutuhkan
uluran tangan dari saudaranya, baik saudara seiman maupun sebangsa.
Alumni 212 sebagai pelopor persaudaraan antar umat
Islam, kiranya, dapat lebih merealisasikan cita-cita luhurnya. Yakni, menolong sesama.
Sebagaimana kita menolong saudara seiman di Myanmar; Muslim Rohingya. Jangan
sampai ada pepatah, “semut di seberang lautan terlihat, gajah di depan mata tak
tampak.” Hizbut Tahrir, Bachtiar Nasir, Majelis Mujahidin, Abu Jibril, Front
Pembela Islam, Rizieq Shihab, dan Aa Gym, saya rasa mampu mengumpulkan massa
untuk berbondong membantu saudara di Aceh.
Atau barangkali Bachtiar, Jibril, Aa Gym, dan Rizieq
sedang menyusun strategi untuk aksi selanjutnya; lempar jumroh. Entahlah, itu
#BukanUrusanSaya. Saya hanya bisa mendoakan, agar aksi lempar jumroh
terlaksana. Supaya Iblis jahat di Ibukota segera pergi. Baik Iblis ‘eksternal’
atau pun Iblis ‘internal’.
Saya mendorong kepada alumni 212 untuk mengadakan
alumni akbar. Tempatnya di Pidie Jaya, Aceh. Sambil mengungkap kerinduan tiket surga
berhasil didapat. Silaturrahim yang membawa berkah namanya. Saya juga mengimbau
kepada seluruh umat Islam Indonesia agar menghapus Metro Tivu dari peredaran,
tidak meminum Equil, dan makan Sari Roti. Karena ketiganya berpotensi akan
kembali membuat suasana panas dan gaduh saat berlangsungnya aksi lempar jumroh,
mendatang.
Tapi sebelum melakukan aksi lempar jumroh, saya
sarankan supaya diadakan istighotsah atau dzikir kubro atau apalah namanya. Hal
itu dimaksudkan supaya saat berlangsungnya aksi lempar jumroh, kita senantiasa
mendapat ridho dan karunia Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan mendapat syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Allahu Akbar! Shollu ‘alannabiy!
Saya berharap, aksi lempar jumroh dilakukan di Gedung
DPR/MPR. Kita lempari mereka yang sedang tertidur. Dan yang seakan lupa bahwa
hari ini adalah Hari Anti Korupsi. Atau yang sengaja melupakan bahwa rakyatnya,
khususnya Muslim, sedang dinista dan dihina. Sementara Presiden Jokowi seperti melindungi
si penista.
Kita harus kembali turun ke jalan, salat berjamaah
seperti 212 kemarin, atau membuat parlemen jalanan. Intinya, kita harus turun
ke jalan. Turun ke jalan! Menuntut keadilan kepada manusia, yang tentu tak bisa
adil. Karena keadilan yang seadil-adilnya hanya milik Allah. Sedang keadilan
itu akan kita rasakan di akhirat, kelak.
Umat Islam harus menang, tidak boleh kalah, apalagi
menyerah karena dikalahkan. Islam di Indonesia ini mayoritas, harus kuat. Untuk
menjadi kuat, jangan lupa; hindari Metro Tivu, jangan meminum Equil, dan
memakan Sari Roti. Kalau mengonsumsi Syar’i Roti, boleh. Setelah itu, kita
turun ke jalan!
Oh ya, kalau ada agama lain yang ingin menggunakan Fasilitas Umum (Fasum), kita harus larang. Karena yang berhak beribadah di ruang publik hanyalah Islam. Tidak boleh yang lain. Paham?
Wallahu A'lam
Kaliabang Nangka, Bekasi Utara, 9 Desember 2016
Aru Elgete