Foto bersama komunitas Forum Ide di Kerajaan Eden, Jakarta Pusat. |
Saya sering mendengar atau setidaknya mendapat laporan bahwa ada yang bilang, "Jangan dekati Aru, dia liberal!" Hal itu sudah biasa terdengar saat saya mulai berani memberikan tanggapan dan komentar yang sangat tidak umum di media sosial milik sendiri. Sekira empat tahun yang lalu.
Terhitung sudah hampir belasan kali, saya keluar-masuk rumah ibadah agama lain. Saat sedang bersafari ke rumah ibadah agama lain, seketika itu juga saya langsung mengunggahnya ke Facebook atau Twitter. Beragam penafsiran dan tanggapan bermunculan. Salah satunya, "Oh, Aru liberal toh."
Bahkan, tak jarang saya mengikuti diskusi di Utan Kayu bersama Jaringan Islam Liberal. Sebelum dan pasca diskusi, saya senang mengunggah foto atau tulisan hasil dari proses pendewasaan pemikiran di sana. Semakin terbukalah tabir, bahwa saya memang benar liberal.
Kritik pun tak jarang saya lontarkan ke kelompok-kelompok keagamaan yang beragama dengan saklek dan kaku. Sebab, yang saya tahu sejak keterlibatan dalam diskusi di Utan Kayu, agama itu suci dan lembut, tidak kasar dan main hakim sendiri.
Toh, saya berpikir bahwa mengkritik kelompok keagamaan tertentu bukan berarti mengkritik agama itu sendiri. Kelompok keagamaan sama sekali tidak merepresentasikan agama yang tak terdefinisi itu. Misal, saya anti dengan FPI, HTI, MUI, dan FUI, bukan berarti saya anti dengan Islam atau bahkan anti dengan semua ulama di Indonesia.
Saya mengerti Islam tidak langsung dari empunya, tidak langsung dari Rasulullah, tidak langsung dari teks Al-Quran atau hadits yang saya baca, tidak otodidak. Islam yang saya pahami adalah hasil dialektika antara literatur keagamaan yang saya baca dan kajian-kajian ilmiah yang saya ikuti.
Begini, awalnya saya mengerti Islam dari para ulama di Buntet Pesantren Cirebon. Mereka mengajarkan dan menginformasikan bahwa agama yang dibawa Rasulullah mengajarkan welas asih, tidak dengan amarah; apalagi kebencian.
Kemudian saya diperkenalkan dengan Gus Dur, Cak Nur, Ahmad Wahib, Ahmad Tohari, Mahbub Junaidi, Buya Hamka, Buya Haedar Nashir, Prof Quraish Shihab, Kiai Said Aqil Siroj, Buya Syafi'i hingga Kiai Lukman Hakim (Menteri Agama RI saat ini). Saya mengenalnya melalui buku, diskusi, atau bertemu langsung untuk mengetahui bagaimana Islam, sejak dulu hingga sekarang.
Mereka semua sepakat dan sependapat bahwa Islam itu berkewajiban menebar rahmat untuk semua, tak pandang bulu, dan tidak pilih kasih. Jadi, seperti itulah perjalanan pemahaman keagamaanku. Tidak secara otodidak, tapi melalui proses yang panjang. Bertahun-tahun.
Saya jadi paham bahwa Rasulullah, menurut pengetahuanku tidak pernah membenci dan memusuhi. Tidak pernah mencaci apalagi memaki. Santun, penyayang, humoris, sederhana, dan pemersatu umat.
Cara berdakwahnya tentu dengan merangkul, bukan memukul. Mengajak diskusi, bukan menutup diri. Menghampiri, bukan menjauhi. Toh, kalau kita berbeda pandangan kenapa justru permusuhan yang dikedepankan?
"Ah, Aru liberal. Ngapain juga diskusi agama sama dia, mending dijauhin!"
Mungkinkah Nabi Muhammad berbuat seperti itu? Pernahkah beliau menjauhi musuh-musuhnya? Bukankah Kekasih Allah itu mengasihi semua makhluk tanpa pengecualian? Kalau saya dianggap musuh, kenapa justru dijauhi? Seperti itukah dakwah Kanjeng Nabi? Silakan dijawab dalam hati.
Saya pun mengakui bahwa diri ini masih dalam keadaan yang tersesat. Sebab hidup di dunia adalah sebuah proses kemanunggalan kepada Allah. Itulah tauhid. Apabila saya sudah tak sesat dan sudah merasa paling benar, maka kalimat ihdinash-shiratal-mustaqim tak perlu lagi dibaca dalam setiap peribadatanku.
Oh iya, urusan ibadah tak perlu diumbar ke permukaan. Salat, puasa, zakat, dan syahadatku adalah amal perbuatan. Wudluku bukan dengan air biasa, tetapi perilaku yang terpuji. Ruku' dan sujudku adalah sebuah tanda penghormatan kepada Allah dan Rasul-Nya di setiap desah nafas yang terhela.
Bagaimana? Liberal banget kan?
Bagaimana? Liberal banget kan?
Kawanku yang budiman, Islam itu pembebas dan membebaskan. Firman Allah yang pertama pun, Iqro bismirobbik. Tidak menekankan kepada kita perihal apa yang harus dibaca. Itu artinya Islam dan Allah sendiri bersifat membebaskan.
Adakah yang tahu maksud Allah dalam Firman pertamanya itu, benda atau objek apa yang harus dibaca?
Menurut hemat saya, Allah memerintahkan hamba-Nya agar senantiasa membaca semesta. Membaca kehidupan. Membaca gerak-gerik alam. Membaca teks verbal dan nonverbal. Membaca secara tekstual maupun kontekstual. Bahkan, membaca kematian dengan memperbanyak manfaat kehidupan.
Itu!
Itu!
Intinya adalah, saya tidak akan mendiamkan sebuah ketersesatan merajalela. Karena tugas Rasulullah ketika itu justru menghampiri orang-orang yang tersesat dan memberi informasi sekaligus petunjuk jalan kebenaran. Tidak justru menyesat-nyesatkan ketersesatan. Apalagi menjauhi orang lain yang dianggap sesat.
Terakhir, perlu dipahami. Ketika saya mengkritik kelompok atau komunitas agama, jangan diartikan bahwa saya sedang mengkritik agama. Orang dewasa pasti bisa membedakan antara kelompok agama dengan agama itu sendiri.
Sama seperti saudara-saudaraku di sana yang senang mengkritik Ulama kebanggaanku, seperti Prof Quraish Shihab, Kiai Said Aqil Siroj, dan bahkan Buya Syafi'i. Atau mengkritik kelompok keagamaan dambaanku, NU dan Muhammadiyah. Saya tidak akan mengatakan bahwa saudara-saudaraku itu mengkritik atau anti dengan Islam. Tidak.
Hanya saja, kita juga harus tahu diri. Harus menakar diri. Kritik yang dilontarkan itu beradab atau tidak? Komentar yang kita berikan itu, berdasar atau tidak? Kalau tidak, yuk diskusi. Siapkan kopi kental tanpa gula sebagai pemantik agar tak cepat ngantuk.
Saya tunggu undangan diskusinya...
Perumahan Perwirasari, Bekasi Utara, 13 Januari 2017
Aru Elgete