. |
Diskusi di salah satu warung, area Masjid Jami' Kramat Luar Batang, Jakarta Utara, Selasa (14/2) dinihari. |
Malam Selasa (13/2), cuaca mendung. Seperti biasa. Hawa dingin menggigit gigil, menusuk pori-pori. Namun, sungguh ironi. Di balik kemesraan yang menyuguhkan romantika semesta, atmosfer perpolitikan tetap memanas.
Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta memiliki daya tarik tersendiri. Semua orang, dari Aceh hingga Papua membicarakannya. Perdebatan sengit marak dilakukan, baik dengan amarah yang meninggi, maupun dengan argumentasi yang menyejukkan hati.
Kebudayaan pun hilang entah ke mana. Siapa yang tak setuju, sekalipun dengan guru, caci dan hujatan kerapkali merambah ke permukaan. Budaya menghormati orangtua dan menghargai yang muda, tidak lagi dihiraukan. Semua hancur. Tak berbentuk.
Beberapa minggu yang lalu, saya menginisiasi teman-teman semasa di pondok agar membuat sebuah perkumpulan. Pikir saya, seorang santri, harus memiliki nalar yang cemerlang. Dalam berpendapat, tidak pernah menjatuhkan.
Singkatnya, sikap santri harus mampu menumbuhkan, bukan melumpuhkan. Sekalipun berbeda pandangan, santri wajib hukumnya menetralisasi situasi dan keadaan. Tidak justru memecah persatuan, terlebih membuat runyam persoalan.
Komunitas Gerakan Ayo Ziarah adalah jawabannya. Di dalamnya terdapat 6 orang. Saya, Muhammad Ammar, Abdussami' Makarim, Muhammad Syakir Ni'amillah Fiza, Mohammad Helmy Faiz, dan Ahmad Mustofa Al-Qodiri Al-Baghdadi.
Kesemuanya, kecuali Syakir, adalah warga Jakarta yang menjadi santri di Buntet Pesantren Cirebon. Sementara Syakir merupakan putra Kiai. Saya dan teman-teman, mengadakan rutinitas ziarah ke makam para Awliya' dan Ulama di sekitaran Ibukota.
Tujuannya, selain untuk meneguhkan tradisi Islam Nusantara yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama'ah bi thoriqoh Nahdlatul Ulama, juga supaya memiliki kelembutan hati. Meneladani orang-orang saleh, setidaknya mampu mengubah pribadi menjadi baik. Ziarah sebagai perantaranya.
Seperti biasa, titik kumpul di kediaman Ammar, Jl Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Saya dari Bekasi. Helmy dari Cakung. Ahmad Mustofa atau Mamet beserta Sami' dari Cibubur. Sedangkan Syakir dari Ciputat. Sebelum berangkat ke destinasi ziarah, kami berembuk. "Makam siapa yang akan diziarahi, malam ini?" tanya saya saat tiba di rumah Ammar, Senin (13/2) malam.
Setelah berdiskusi panjang-lebar, kami menyepakati satu hal. Situasi politik di Ibukota sedang memanas, maka yang harus disowankan adalah Ulama Betawi. Yakni, Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus, Luar Batang, Jakarta Utara.
Tujuan utamanya adalah, meminta ketersediaan beliau untuk mendoakan dan meridhoi perhelatan pesta demokrasi di Tanah Betawi. Mewashilahkan harapan kepada Allah agar memberkahi Pilgub DKI Jakarta yang banyak menyita waktu dan tenaga. Doa yang disemogakan tersebut, semoga berbuah kebaikan di hari pemilihan, besok (15/2).
Saya dan Ahmad Mustofa Al-Qodiri Al-Baghdadi (Mamet) di Makam Keramat Luar Batang, Selasa (14/2) dinihari. |
Usai tahlil, kami melipir ke sebuah warung kopi di area parkir Masjid Jami' Keramat Luar Batang. Di sana, diskusi mengenai situasi sosial-keagamaan yang kian mengkhawatirkan dikemukakan. Selain itu, keberadaan organisasi sentral alumni Buntet Pesantren Cirebon tak luput juga dari pembahasan.
Kami sepakat, meski berbeda pilihan politik dalam Pilkada DKI Jakarta, memberi argumentasi yang menyejukkan hati perlu dilakukan kepada orang-orang di akar rumput. Tidak perlu berdebat soal dalil. Intinya, bagi penganut agama Rahmatan Lil 'alamin akhlak dan adab mesti terpelihara dengan baik.
Memberi penyadaran bagi teman-teman santri khususnya, dan yang belum santri umumnya, agar menjaga adab dan budaya luhur bangsa. Menghormati orangtua dan menghargai orang muda. Sebab, Nabi Muhammad pun diutus dengan tujuan memperbaiki akhlak umatnya agar mulia.
Di akhir pembahasan, kami membicarakan soal keberlangsungan organisasi sentral bagi alumni Buntet Pesantren Cirebon untuk bernaung. Yakni, Ikatan Keluarga Alumni Buntet (IKLAB) Pesantren. Paling tidak, organisasi yang sebelumnya sudah ada agar dapat bergabung ke IKLAB.
Bukan bergabung secara struktural, tetapi bekerjasama dalam hal kekaryaan dan kebutuhan; mengharumkan nama Buntet Pesantren Cirebon di tingkat nasional. Selama ini, organisasi alumni Buntet tidak terpusat. Masih cenderung sektarian dan mengedepankan rasa primordialisme.
Kami, Komunitas GAZ siap merangkul teman-teman muda untuk bergabung bersama di keorganisasian IKLAB. Bersama-sama membangun organisasi, demi kepentingan bersama. Agar Buntet Pesantren Cirebon memiliki organisasi yang sentral dan terpusat; sebagaimana pesantren-pesantren lainnya, seperti Lirboyo, Gontor, dan Tebuireng.
Terakhir, bagi teman-teman santri Buntet Pesantren Cirebon yang ingin mengetahui IKLAB lebih jauh, silakan bertanya kepada kami. Juga bagi teman-teman yang ingin bergabung dalam Komunitas GAZ silakan hubungi saya. Mari, bersama-sama kita harumkan Islam Nusantara dengan tradisi ziarah ke makam para Awliya' dan Ulama Betawi.
Wallahu A'lam
Rawasari, 14 Februari 2017
Aru Elgete
0 komentar: