Sudah lama tak menulis soal rasa. Kali ini, akan kuceriterakan peristiwa kata-kata. Membaca kata adalah soal rasa. Namun, bagaimana bila dalam rasa terdapat kata-kata yang tak dapat dirasa?
Aneh memang. Bahkan, lucu. Aku jarang, bahkan tak pernah menulis tentang kata dan rasa. Terlebih, kata-kata yang tak dapat dirasa, tetapi itu pula yang dinamai rasa. Sekali lagi, kata yang tidak bisa dirasa adalah rasa.
Dalam kata dapat terlahir rasa. Atau pada kata yang melahirkan rasa itu, justru terkadang kita tak dapat merasakan apa-apa. Nah, ini yang ingin kusampaikan. Bahwa jangan sampai kata-kata hanya sekadar mampu menerka rasa.
Kita melakukan kata-kata bahwa malam adalah kesunyian yang berapi-api. Darinya, melahirkan rasa. Tenteram, damai, tenang, dan nyaman. Namun, tak jarang pula kita merasakan kata-kata pada malam yang sama sekali tak melahirkan apa-apa; rasa.
Malam hanya dijadikan sebagai angin lalu. Tanpa kata. Lalu, dijadikannya ia sebagai lampias keberingasan siang yang banyak menyita waktu dan tenaga. Singkat kata, malam hanya untuk rebah-pasrah; tanpa kata-kata.
Siang tadi misalnya, aku berkecamuk pada kata-kata yang sungguh tak lahirkan rasa. Ada banyak kata yang ingin kubaca dan merasainya. Hingga pada malam, ada sedikit rasa yang mengantarkan pagi menjadi damai.
Kata-kata yang dibawa Kalimalang sepenglihatan mata, kata-kata yang terbawa angin kesejukan, kata-kata yang menempel dalam doa; menjadi hilang rasa. Lucu. Bahkan membingungkan. Pikirku, mungkin ada kata-kata yang tak sempat kubaca.
Atau justru karena sebagian orang di sekelilingku membaca kata dan menerka rasa. Ingat, menerka rasa. Terka, belum menjadi nyata. Barangkali juga justru kata-kata itu sendiri yang membuat rasa hanya sebatas terka. Ah, membingungkan sekali.
Baiklah. Aku akan lebih memperjelas. Begini. Seberlimpah apa pun kata-kata, baik yang terbaca atau tak sempat dibaca, rasa adalah pengantar dari pengejawantahan kata-kata itu. Mengerti?
Simpelnya, kalau kita membikin kata-kata, baiknya rasai dulu kata-kata itu. Agar kata-kata bermakna. Tak sia-sia. Percuma saja berkata-kata kalau rasa tak menyertainya.
Boleh jadi, kita harus memperdalam rasa sebelum memecah kebisuan dengan kata-kata. Agar tak hilang rasa dan kata tidak menjadi apa-apa.
Terakhir, aku ingin berpesan. Kalau kau tak ingin membaca kata dan menerka rasa. Maka, merasai kata-kata menjadi perlu. Kata-kata adalah peluru. Menembus dada manusia yang ruangnya tidak kita tahu.
Kalau kau tak menemukan rasa dalam kata-kata. Baiknya tinggalkan. Perlahan sila kau cari kata-kata selanjutnya, yang mampu lahirkan rasa. Namun, jangan jua kau paksakan rasa hingga hilang kata-kata. Atau kau paksakan kata-kata hingga rasa menjadi hilang sama sekali.
Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi, 10 Februari 2017
Aru Elgete
0 komentar: