Ilustrasi, Sumber: hipwee.com |
Hiruk-pikuk perdebatan masih kentara. Dinamika sosial, politik, dan keagamaan mengoyak sendi kedamaian. Media sosial, khususnya. Di sana bercampur-baur segala rupa. Terdapat banyak sekali pakar, ahli, dan intelektual karbitan. Bahkan, aku tak bisa menemukan pembeda; antara yang benar-benar tahu dengan seorang yang gagah menyombongkan ketidaktahuannya. Sebab kebenaran sudah entah; hilang atau sengaja dihilangkan.
Masing-masing individu menganggap benar ucapannya. Tiap-tiap huruf dipublikasi demi mencapai pengakuan diri. Karena kata Abraham Maslow memang demikian adanya. Kebutuhan manusia paling utama adalah mendapat pengakuan dari orang lain. Kini, terbukti. Antah-berantah mulai tampak di permukaan media sosial. Berantakan. Dengan argumentasi seadanya, seseorang bisa mendaku dirinya lebih cerdas dari orang yang memiliki keilmuan memadai.
Bahkan tak jarang, orang yang berilmu seringkali menyampaikan argumentasi dengan angkuh dan jemawa. Sehingga dunia menjadi sangat runyam. Di satu sisi sombong atas ketidaktahuannya, ada pula yang jemawa dalam menyampaikan ilmunya. Gaduh. Semua melakukan strategi bertahan, menurutku. Seolah teraniaya, tetapi sebenarnya menganiaya. Singkatnya, banyak orang yang menjadi korban sekaligus pelaku.
Membela dengan membabi-buta dan menghina bahkan mencaci seenaknya, tumpah-ruah di linimasa. Tampaknya, kemajuan teknologi telah menemukan titik puncak. Sehingga kembali ke semula; zaman dimana orang-orang saling berlomba memperlihatkan kebodohan dengan berselimut pada argumentasi yang terkesan dipaksakan. Antiklimaks. Barbarisme kata ditonjolkan untuk melumpuhkan siapa pun yang dianggap lawan.
Dalam perdebatan, diam dianggap kalah. Sedangkan bersuara dibilang marah. Serba salah. Tak ada titik tengah. Padahal menurutku, berada di tengah menandakan seseorang tidak memihak sama sekali. Sekalipun memihak, ia akan melakukan pemilahan dengan kejernihan berpikir. Ia akan mencari kebaikan dan kemaslahatan bersama. Tidak serta-merta membabi-buta atau marah tanpa arah. Semuanya dipikirkan demi kebaikan.
Keberadaban seseorang akan terlihat dari caranya memposisikan diri. Memiliki prinsip walau terlihat seperti orang yang tak mempunyai pegangan hidup. Tidak terlalu ke kiri, juga tak ekstrem ke kanan. Sekalipun ke kiri, ia tahu batasan. Pun saat ia memutuskan untuk berpindah haluan ke kanan. Kiai Abdurrahman Wahid pernah mengatakan, "Kalau tak ingin dibatasi, maka jangan membatasi. Kita sendiri yang seharusnya tahu batasan masing-masing."
Namun, kini tidak demikian. Demokrasi yang seharusnya menjadikan diri lebih beradab dan bermartabat; justru berbanding terbalik. Saat ini, setiap orang mengatasnamakan kebebasan tanpa peduli apa-apa. Kebebasan yang dilakukan justru melanggar kebebasan yang lain. Memaksakan kehendak atau argumentasi kepada orang lain, sama saja melanggar kebebasan. Melakukan stigma kepada individu dan kelompok yang berbeda pun demikian; menabrak kebebasan.
Spendek pemikiranku, berdakwah ada batasannya. Begitu pula dengan menyampaikan pendapat. Seorang yang memiliki adab dan akhlak yang baik, pasti mengerti bagaimana seharusnya ia melakukan sesuatu. Tidak memaksa juga tidak menyerang. Argumentasi yang ditawarkan pasti sudah matang. Berdasarkan pikiran jernih dan nurani yang bersih. Tidak penuh kebencian, apalagi sampai memutus ikatan persaudaraan.
Pada saat yang bersamaan, aku menemukan sebuah kenikmatan pada sunyi. Pada keheningan jiwa. Ketenteraman laku dan bertindak. Membatasi penggunaan media sosial dan sering pula acuh tak acuh pada gadget. Sudah hampir seminggu, banyak percakapan yang sengaja kulewatkan. Tak sedikit juga pesan elektronik yang belum sempat terbaca. Maaf, itu caraku mencari kesunyian. Sebab di dalamnya terdapat ruang kontemplasi; untuk berdialog dengan diri.
Aku merasa pernah melakukan kepongahan saat berselancar di media sosial. Melakukan penyerangan dan berbagai hal yang menyakitkan orang lain. Maka itu, perlu kiranya untuk memasuki ruang kontemplasi yang hanya didapat pada kesunyian. Di sana, aku menemukan kebodohan, kedurjanaan, bahwa melakukan pemunafikan dengan berteriak anti-kemunafikan. Semuanya kulakukan sampai akhirnya; entah aku yang menjemput kesunyian atau justru kesunyian yang mengantarkanku pada ruang kontemplasi.
Esok atau lusa, semoga menjadi lebih baik. Kembali berselancar di media sosial dengan bajik nan bijak. Sebab sudah hampir seminggu, aku mensunyikan diri. Bertolak dari kegaduhan ke arah yang memberikan kesejukan; baik jiwa, laku, dan berpikir. Bagiku, menjemput kesunyian merupakan cara untuk mengabdi pada keabadian. Karena tidak ada keabadian yang sejati tanpa melalui proses dan tahapan kesunyian; ruang kontemplasi.
Saat menjemput kesunyian dan menemukan ruang kontemplasi di dalamnya, serta menjadi abdi keabadian, kita akan memiliki kedaulatan diri. Tidak ada yang dapat menganggu, mengintervensi, dan menggugat kecuali diri sendiri. Berdialog dengan diri sendiri menjadi sangat penting. Puncaknya, kita akan memperoleh kesejatian. Mencapai titik keindahan. Melihat segala dengan cinta. Memandang dunia dari kacamata kasih dan sayang.
Jadi, adakah kebencian saat diri sudah mencapai puncak kesejatian? Melalui kesunyian, menurutku, akan terjawab dengan sendirinya.
Wallahu A'lam
Aru Elgete
Sekretariat Teater Korek Unisma Bekasi, 24 Februari 2017
0 komentar: