Dari kiri ke kanan: Nisfu, Aru, Neya, Bapak Saryono, dan Ibu Wiani |
Sejak kecil, aku tak pernah berniat menjadi penulis. Aku lahir dari keluarga yang biasa. Dari sepasang kekasih yang saling cinta. Kemudian memiliki komitmen untuk bersama. Perjalanan romantika asmara keduanya, Wiani (58) dan Saryono (62) laksana pahlawan revolusi yang rela mati demi keutuhan negeri. Dengan tentu berharap perlindungan dari Pemilik Jiwa, perjuangan mereka tak menjadi percuma. Hingga lebih dari setengah abad, dipertaruhkannya seluruh kemampuan jiwa-raga agar cinta yang biasa itu, menjadi sebuah bingkisan teristimewa. Hal tersebut tetap terpelihara dalam bilik kecil keluarga. Hingga kini.
"Dulu, ibu pernah ngetes bapak. Kalau memang serius, beliin cincin emas, dateng ke rumah. Kita serius. Bangun komitmen," begitu penjelasan ibu kepadaku.
"Kebetulan, rumah kita berdekatan. Ibu di Cempaka Putih, bapak di Kemayoran. Alhamdulillah, karena keseriusan itu, kita bisa sampe sekarang ini," ucap bapak saat berbincang santai di ruang keluarga.
Aku punya dua saudara tua. Berasal dari ruang rahim yang sama. Karenanya, duniaku menjadi ramai. Kehidupanku selama lebih dari dua dasawarsa menjadi penuh dialektika harmoni yang membahagiakan. Wahdaniah Puji Hartami atau Neya (29) adalah kakakku yang paling tua. Sementara yang kedua, Nisfu Syawaluddin Tsani atau Ale Nisfu (26). Aku, anak terakhir dari tiga bersaudara. Selisih usia dari ketiganya terpaut tiga tahun.
Mereka, kedua kakakku, merupakan teman diskusi yang asik. Tema atau pembahasannya beragam. Mulai dari obrolan mengenai cinta kepada sesama manusia, semesta, hingga perbincangan yang mengarah pada konsep "Manunggaling Kawulo lan Gusti" ala Syekh Siti Jenar. Tak jarang, aku mendebat mereka. Bahkan dari diskusi kecil-kecilan sebelum tidur, aku seringkali mendapat banyak ilmu. Darinya, aku paham. Bahwa makna pendewasaan adalah agar bijak dalam berargumentasi. Sehingga mentalku sudah terlatih pada saat berdebat di luar rumah. Entah di kampus, di kantor, atau di lingkungan masyarakat.
"Ibu sama bapak gak pernah mempermasalahkan kamu mau gimana-gimana. Hidup, hidup kamu. Terserah kamu. Cuma, ibu berpesan supaya kamu bertiga selalu jaga sikap dan omongan di luar sana. Inget tuh," kata ibu, memberi nasihat saat membuka pintu kamar dan melihat kami masih saja berdebat satu sama lain.
Soal pendidikan, orangtua tak banyak mengatur. Terlebih, melarang. Mereka justru membebaskan. Tak pernah ada larangan yang berdampak pada kenakalan putra-putrinya. Karena, mereka tahu, bahwa seorang anak kalau dilarang justru makin meradang. Perkenan mereka dimaksudkan agar keberkahan selalu mengiringi perjalanan keilmuan yang ditempuh ketiga anaknya. Kini, kami sudah sendiri menata hidup. Telah baligh dan tamyiz pula. Sehingga, arah masa depan sudah tidak melulu bergantung pada kehendak orangtua.
"Neya mau jadi apoteker, silakan. Nisfu mau jadi pemadam kebakaran, bapak sama ibu gak melarang. Nah, sekarang Aru punya cita-cita mau jadi penulis atau wartawan, ya dikembangin mulai dari sekarang. Jangan patah semangat. Ibu sama bapak mah cuma bisa berdoa dan nyemangatin, semoga anak-anaknya lebih baik dari orangtuanya yang cuma tamatan SMP," kata bapak sembari menyaksikan tayangan televisi, di ruang keluarga.
Neya, sebelum lulus sekolah tingkat menengah pertama meminta agar kedua orangtua mendaftarkannya di Sekolah Menengah Farmasi (SMF) Caraka Nusantara, Pulogebang, Jakarta Timur. Ia memiliki dasar argumentasi yang kuat. Kakak tertuaku itu memang ahli di bidang matematika dan fisika. Maka, izin pun didapatkan dengan sangat mudah. Pascalulus dari SMF, ia melanjutkan studi S1 Farmasi di Universitas Dr Hamka (Uhamka), Klender, Jakarta Timur. Lagi, ibu dan bapak tidak memberatkan. Alhasil, kini ia sudah mendapat gelar sebagai Apoteker. Meracik obat untuk pasien sekaligus dipercaya menjadi pegawai tetap di RS Hermina Grand Wisata, Tambun, Bekasi.
"Mbak Neya sudah berhasil. Dicontoh, tuh. Intinya, tekunin setiap bidang yang kita suka dan minati. Kuncinya giat dan jangan males. Udah, itu aja," kata ibu kepadaku.
Nisfu pun sama. Tak terlalu banyak mendapat larangan dan hambatan untuk mencapai cita-cita. Teman berkelahiku semasa kecil itu, merupakan sahabat satu tongkrongan. Ia bocah super nakal. Tak jarang, aku selalu melihat ibu mengelus dada sambil berucap, "Duh, Gusti, paringana sabar. Pangapunten saking kelepatan kula lan anak-anak kula." Saat mendengar reaksi dan kalimat seperti itu dari ibu, aku terdiam dan sembari mengumpat dalam hati, "Dasar Mas Nisfu tolol. Gak tau diuntung. Ibu dibikin nangis melulu."
Hal yang paling membuatku miris adalah kalau ibu marah, bapak pasti turun tangan. Aku melihat secara langsung, abangku disiksa macam tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Ngeri. Syukurnya hanya sebatas pukulan dengan sapu ijuk atau selang yang keras. Bukan dengan setrikaan panas dan sundutan rokok. Sementara ibu, hanya terus-menerus berucap dengan sumpah serapah yang positif. Pikirku, mungkin sekaligus mendoa.
"Nisfu, kamu kok ya nakal banget sih. Nanti ibu masukin pesantren kamu! Ibu udah gak kuat ngurusin kenakalan kamu. Kalo minta apa-apa kok hari ini harus ada, emang duit tinggal metik macem daun, apa?" kata ibu, mengulang ucapannya tempo dulu.
Aku percaya, bahwa ucapan adalah doa. Terlebih ucapan ibu. Dawuhnya tak bersekat dengan Tuhan. Maka, cepat atau lambat ucapan ibu pasti terkabul.
Terbukti. Hal itu bukan mitos.
Saat lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 114 Jakarta, dengan sedikit malu-malu, ia memohon restu kepada kedua orangtua untuk mengabulkan keinginannya. Yakni, melanjutkan perjalanan keilmuan di Pondok Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat. Bangga dan sedih bercampur jadi satu, tertahan dalam wajah sendu ibu yang mulai sepuh. Sementara bapak, nampak memperlihatkan ketegarannya. Yakinku, ibu bangga karena atas kemauannya sendiri, Nisfu memilih untuk melanjutkan studi di pesantren. Sedih, karena harus berpisah dengan putra ternakal yang paling disayang itu.
"Enggak, Aru jangan mondok. Mas Nisfu aja!" bentak Ibu beberapa tahun yang lalu kepadaku, lantaran ingin ikut jejak abangku bersekolah di pesantren.
Aku kaget bukan kepalang. Tumben, ibu melarang. Aku memang ingin sekali mondok. Jujur, bukan karena ikut-ikutan, tapi karena murni kemauan sendiri. Saat itu, aku baru saja lulus dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Semper Barat 13, Cilincing, Jakarta Utara. Jadi, abangku melanjutkan ke Madrasah Aliyah, sementara aku Madrasah Tsanawiyah. Begitu pikir singkatku.
Kala itu, aku meradang. Ngambek sejadi-jadinya. Nisfu adalah karibku sejak kecil, maka saat ia mondok nanti, siapa yang akan menemaniku berdiskusi di kamar? Sementara Neya sudah sibuk dengan pekerjaannya. Aku terus-menerus membatin.
"Ru, ibu gak mau kesepian. Begini, kalo kamu sama Mas Nisfu mondok, trus Mbak Neya pas kerja, bapak pas piket (berdinas sebagai pegawai pemadam kebakaran) atau narik (Pahala Kencana jurusan Blok M - Priuk), ibu di rumah sama siapa dong? Kamu tetep mondok, kok. Tapi nanti ya. Biar Aliyahnya aja nanti di sana, SMP tetep di Jakarta," terang ibu dengan suara yang sangat menyentuh hati. Tak tega rasanya hati ini kalau melihat atau mendengar kabar ibu sedang kesepian di rumah.
"Yaudah deh, Bu. Tapi nanti bener ya Aru boleh mondok?" tanyaku meyakinkan ibu.
"Iya Ru," jawabnya singkat.
Oke, aku terima. Jawaban ibu logis. Aku percaya, ibu membebaskan. Tidak pernah mengekang atau mengungkungku sekehendaknya saja. Ia laksana peri cantik di Telenovela Carita de Angel. Pilihan ibu, pasti terbaik. Aku ingat, pernyataan ibu tak bersekat dengan ketentuan Tuhan. Baiklah.
Saat ini, abangku yang seringkali menjadi bulan-bulanan ibu sewaktu kecil itu, tergabung dalam Barisan Sukarelawan Pemadam Kebakaran (Balakar). Ia memang bercita-cita menjadi pahlawan yang mampu melumpuhkan Si Jago Merah. Namun, takdir berkata lain. Ia belum diangkat menjadi Petugas Harian Lepas (PHL). Terlebih, ia baru saja menderita penyakit Tuberkulosis dan retak tulang di pergelangan tangan kanan.
Ia sudah menamatkan status sebagai mahasiswa. Saat itu, setelah lulus dari Madrasah Aliyah NU Buntet Pesantren Cirebon, ia melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam NU (STAINU) Jakarta. Kini, ia aktif menanggapi isu sosial, politik, keagamaan, kemanusiaan, dan kebinekaan. Ia juga mulai menulis di Qureta.com sebagai langkah kreatif mengisi hari-hari. Di beberapa kesempatan, dengan ikhlas ia menjadi imam tahlil dan pengajian remaja di mana pun dan kapan pun. Prinsipnya, kalau diundang pasti datang.
Sempat dilarang, tak membuatku gentar. Usai menamatkan sekolah di SMPN 121 Jakarta, aku kembali meminta restu kepada kedua orangtua agar mengizinkanku menimba ilmu di Buntet. Walhasil, berkat pembebasan yang selama ini diterapkan, aku bisa merasakan udara keilmuan di pesantren. Persis seperti abangku, dulu. Namun, kami berdua memiliki jalan berbeda saat ini.
Aku yakin, pembebasan yang diterapkan kedua orangtuaku dalam mendidik adalah kristalisasi dari kehendak Tuhan. Karena menurut saya, Tuhan bukan pemaksa yang gemar merampas hak manusia. Bukan pula algojo yang giat melakukan pelonco. Simpulanku, bahwa anggota keluarga di rumah, tidak ada kesamaan satu pun. Aku menemukan keniscayaan atas pembebasan itu. Sebab pembebasan melahirkan perbedaan. Sementara perbedaan adalah sebuah niscaya yang diberikan Tuhan kepada setiap makhluk. Terkhusus untuk keluargaku.
Saat di pondok, aku menemukan keasikan dalam menulis. Segala macam peristiwa, pasti tertuang dalam bentuk puisi atau esai. Kamar tidur yang sederhana, ditambah suara merdu kipas angin yang memecah sunyi, membuat hati menjadi tenang. Damai. Hal-hal seperti itu selalu meracuni diri agar tak lelah menulis. Di setiap malam, seolah ada yang membisik, "Jangan letih berpuisi. Jangan lelah menulis."
Tulisan-tulisanku semasa di pondok, masih tersimpan rapi. Aku menulis di sebuah buku (aku selalu lupa namanya, buku itu yang seharusnya dipakai untuk pelajaran Ekonomi) tebal. Puisi dan tulisanku sudah mencapai ratusan. Belum terpublikasi. Aku ingin seperti Ahmad Wahib yang tak pernah memublikasikan puisi-puisinya semasa hidup. Ia simpan rapat-rapat tulisan romantika penuh cinta kepada Tuhan. Hingga pada akhirnya orang-orang terdekatnya memublikasi seluruh karyanya itu. Hal itu dimaksudkan sebagai kelanjutan hidup Ahmad Wahib. Ia menjadi abadi. Tak pernah mati.
Selain aktif menulis, saat di pondok, aku aktif sebagai penyiar Radio Komunitas Buntet Pesantren 107.7 Best FM. Di sana, aku rajin membaca buku. Apa saja dan karya siapa pun. Sebab, menjadi penyiar radio perlu wawasan yang luas dan pengetahuan yang lebih ketimbang pendengar setianya. Dari keahlianku menulis, membaca, dan berbicara itu, tertuntunlah aku untuk memilih program studi S1 Ilmu Komunikasi (Jurnalistik) di Universitas Islam 45 Bekasi.
Tak jauh beda dengan abangku, Nisfu. Aku pun turut aktif dalam menanggapi isu soal sosial, politik, keagamaan, kebinekaan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Namun, ada perbedaan yang kentara. Aku suka dengan gaya Nasionalisme ala Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang menggunakan argumentasi keagamaan untuk melawan kelompok pemberontak atas nama agama macam Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, dan ISIS. Selain itu, aku gemar menjemput bola. Mengunjungi orang-orang di akar rumput sembari menawarkan pemikiran moderat ala Islam Nusantara.
Sementara abangku, sama sekali enggan berbuat demikian. Entahlah. Mungkin, takdir.
Kira-kira seperti itu alur pembebasan yang diterapkan dalam rumah. Untuk hasil yang didapat, sila nilai sendiri. Bagaimana aku dan keluargaku? Ya, bagiku, keluarga adalah Ruang Pembebas Kehidupan.
Wallahu A'lam
Bekasi Utara, 25 April 2017
Aru Elgete
0 komentar: