Sumber Gambar: Fanpage Website Buntet Pesantren |
Sabtu, 15 April 2017, Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Buntet Pesantren Cirebon diselenggarakan. Acara tersebut sudah seperti lebaran. Ramai. Bahkan, Hari Raya Idul Fitri pun tidak semeriah kegiatan yang diadakan saban April itu.
Banyak makna yang terkandung. Masing-masing diri memiliki makna yang berbeda. Ada yang memaknai bahwa Haul Buntet merupakan ajang silaturahim. Ada pula yang menganggapnya sebagai wadah reuni tahunan. Selain itu, juga ada yang menjadikannya sebagai pemantik romantika nostalgia.
Para santri dari berbagai daerah kembali menyambung pertalian cinta-kasih. Warga Buntet pun demikian. Sanak saudara dan keluarga yang bekerja atau belajar di perantauan, berpulang diri demi melepas rindu. Apa pun alasannya, mencari dan mengharap keberkahan dari para guru merupakan hal yang paling utama.
Aku, memiliki banyak alasan mengapa mesti menghadiri Haul Buntet. Pertama, tentu karena kerinduan yang mendalam. Sebab Buntet adalah wadah pendewasaan sikap dan pemerdekaan pemikiran. Singkatnya, Buntet memberi dampak positif bagi keberlangsungan hidup di tengah masyarakat.
"Berkah!" Kata magis itu yang masih dipercaya bagi hampir seluruh santri Buntet. Ia serupa magnet yang membuat siapa pun ingin kembali. Merangkai canda, menguntai cerita, dan merajut cinta. Tenun kebersatuan terjahit oleh satu kata itu. Tak ada yang bisa memungkiri. Semua orang pasti mengamini. Karena mengimani perkara ghaib sudah tertuang dalam kitab suci.
Kedua, lika-liku perjalananku selama di Buntet menjadi alasan terkuat untuk kembali menyambanginya. Barangkali, sekadar ucapan terimakasih pun belum mampu membayar jasanya yang sudah menjadikanku seperti sekarang ini. Kalau kesalahan dan kenakalanku selama di Buntet ketika itu dihitung sebagai dosa, maka sudah berapa banyak dosa yang menggunung?
Sementara hingga kini, belum kutemukan satu alasan pun untuk menghapus kesalahan itu. Pikirku, seumuran remaja (sewaktu aku masih menuntut ilmu di Buntet) masa puber sedang menjalar di tubuh dan otak. Sedangkan aku tidak bisa mengontrol dan mengcounter keburukan masa puber. Aku terlena, ketika itu. Sehingga berbagai kesalahan masih saja menghantui diri. Bahkan melalui mimpi-mimpi di malam hari.
Ketiga, soal janji dan bukti yang ingin kusampaikan pada setiap orang yang ketika itu memandangku sebelah mata. Bukan sombong. Tapi, sekadar unjuk gigi. Bahwa keakuanku kini sudah berbeda. Saat itu, aku punya janji, "From Zero to Hero." Kalimat penyemangat itu pernah diungkapkan salah seorang guru kepadaku. Seketika itu, aku berjanji. Pasti bisa!
Aku sempat terpuruk. Pernah mencapai titik nol. Merasa tak memiliki apa-apa, kecuali keberpasrahan diri. Hematku saat itu, ruang dan waktu akan menjawab semua pertanyaan serta pernyataan menyakitkan. Nah, kini sedikit demi sedikit sudah kutemukan jawaban itu. Walau kekuranganku masih tak berbilang, tapi setidaknya aku sudah memiliki prestasi untuk dibicarakan esok hari.
Keempat, tentu soal pemantik romantika nostalgia. Aku dan Buntet serupa sepasang kekasih. Satu kesatuan. Ia membuka diri untukku. Agar menceritakan berita, cerita, dan derita tentangku selama ini. Rindu untuk Buntet bukan sekadar rindu. Ada banyak kenangan yang masih mengenang. Tak bisa terlupa. Syukurnya, Buntet tak pernah menolak diri untuk menerima segala yang akan terungkap. Ia setia.
Ah, apa kabar Buntet? Semoga kau baik-baik saja. Simpan semua cerita buruk tentangku, ya. Simpan, hingga aku melambung jauh. Tapi, kalau kau ingin ceritakan, ceritalah ke semua orang. Biar mereka sendiri yang melihat bagaimana keakuanku saat ini. Supaya menjadi bahan untuk merangkai kerangka berpikir mereka agar bisa berpikir objektif.
Buntetku, berkahmu masih kuharap. Semoga menambah semangatku untuk senantiasa memperbaiki diri. Tuntun dan bimbing aku dengan segala keberkahanmu itu. Sebab tanahmu berbeda dengan tanah-tanah daerah lain. Tanahmu berkah. Sebab puasa Mbah Muqoyyim. Sebagaimana cerita yang kudapat ketika itu.
Apa kabar, Buntet? Tunggu aku sore nanti. Kita kembali menjalin kebahagiaan...
Wallahu A'lam
Bekasi Timur, 13 April 2017
Aru Elgete
Ah, apa kabar Buntet? Semoga kau baik-baik saja. Simpan semua cerita buruk tentangku, ya. Simpan, hingga aku melambung jauh. Tapi, kalau kau ingin ceritakan, ceritalah ke semua orang. Biar mereka sendiri yang melihat bagaimana keakuanku saat ini. Supaya menjadi bahan untuk merangkai kerangka berpikir mereka agar bisa berpikir objektif.
Buntetku, berkahmu masih kuharap. Semoga menambah semangatku untuk senantiasa memperbaiki diri. Tuntun dan bimbing aku dengan segala keberkahanmu itu. Sebab tanahmu berbeda dengan tanah-tanah daerah lain. Tanahmu berkah. Sebab puasa Mbah Muqoyyim. Sebagaimana cerita yang kudapat ketika itu.
Apa kabar, Buntet? Tunggu aku sore nanti. Kita kembali menjalin kebahagiaan...
Wallahu A'lam
Bekasi Timur, 13 April 2017
Aru Elgete
0 komentar: