Di depan pintu masuk situs sejarah makam Mbah Muqoyyim, Cirebon, Sabtu (15/4) dinihari. |
Abangku, Nisfu Syawaluddin Tsani, tiba di Buntet pada Jumat (14/4) petang. Dia bersama rekan-rekan semasa remaja. Yusuf dan Marchaipan (Epan) sudah tidak asing dengan Buntet. Beberapa tahun silam, Yusuf pernah berkunjung ke tanah penuh berkah ini. Sementara Epan, rekan abangku sewaktu mondok pada 2006 lalu.
Syukurnya, mereka datang dengan mobil pribadi Epan. Aku berencana mengajak mereka untuk berziarah ke makam Mbah Muqoyyim. Seorang pendiri Buntet yang berpuasa selama 12 tahun tanpa putus. Niat puasa itu pun terbagi menjadi empat. Tiga tahun pertama untuk keselamatan Buntet Pesantren. Tiga tahun kedua untuk anak-cucunya. Tiga tahun ketiga dikhususkan kepada para santri dan pengikutnya yang setia. Tiga tahun terakhir untuk dirinya sendiri.
"Kita ziarah ke Mbah Muqoyyim nanti ya sekitar jam 11an (malem) aja. Gue mau rapat sama Iklab soal program beasiswa santri berprestasi," kataku pada Nisfu dan rekan-rekan yang lain.
"Oke, kita tunggu," jawabnya singkat.
Sudah jauh-jauh hari Ikatan Keluarga Alumni Buntet (Iklab) Pesantren Cirebon berencana mengadakan program beasiswa santri. Penyerahan beasiswa akan dilakukan pada malam puncak. Segala persiapan sudah dipikirkan dan direncanakan dengan sebaik-baiknya. Malam itu, sekitar pukul 19.30, aku diajak rapat oleh Ketua Umum Iklab KH Masrur Ainun Najih di kediaman Wakil Ketua Umum H Anwar Asmali.
Ada banyak pelajaran yang didapat saat berdiskusi dengan para petinggi organisasi alumni itu. Aku merasa terbimbing. Kapasitasku masih tahap mendengar, belum bicara. Maka, memperbanyak atau memperlebar pendengaran lebih baik daripada berbicara dengan tanpa nilai. Karena pengetahuanku pun masih sangat minim. Berkat Allah melalui perantara H Anwar Asmali, Iklab berbahagia. Program beasiswa santri berprestasi tetap berjalan tanpa kendala.
Usai rapat koordinasi tersebut, aku kembali ke pondok. Aku berjalan menembus keramaian untuk kembali menemui rekan-rekanku yang hampir 3 jam menunggu. Mereka sedang asik bercengkrama, membincang Pilkada DKI yang penuh kegaduhan. Kemudian sesekali membahas kehidupan semasa di pondok. Saat itu, ada dua orang senior yang juga turut melebur dalam kemesraan kata-kata. Mereka tertawa bersama, sesekali mengumpat dengan kata kasar tapi dengan maksud bercanda. Barangkali, ada perasaan rindu yang membuat kemesraan malam itu begitu rekat.
Tak menunggu lama. Sekitar 10 menit sejak kedatanganku, kami berenam berangkat menuju situs bersejarah kepunyaan warga Cirebon itu. Makam keramat Mbah Muqoyyim dan Mbah Muta'ad. Dua tokoh penting yang memiliki kaitan erat dengan sejarah lahirnya Pondok Buntet Pesantren.
Di dalam mobil, di sepanjang jalan menuju Desa Karangsuwung, Lemahabang, pikiranku melayang-layang. Mengingat-ingat kenangan kenakalanku tempo dulu. Aku pernah ziarah ke makam Mbah Muqoyyim dengan berjalan kaki, mengikuti arah rel kereta api. Atau, menumpang mobil bak terbuka. Semuanya dilakukan pada waktu tengah malam. Saat kegiatan di pondok usai. Terkhusus, malam Jumat Kliwon.
"Ru, kayaknya kelewat deh," kata Epan memecah lamunanku.
Dengan melihat kiri-kanan jalan, aku mengiyakan. Putar-balik dan bertanya merupakan solusi agar cepat tiba di lokasi. Mengingat waktu sudah menunjukkan jam setengah 1 dinihari.
"Itu lho, Mas. Gak jauh dari sini ada Masjid, trus belok kiri. Nah dari situ tinggal ikutin jalan aja. Ada terowongan ke kanan. Udah deh, sampe," terang ibu-ibu di pinggir jalan yang diminta untuk memberitahu dimana letak situs keramat makam Mbah Muqoyyim.
"Oke, Bu. Terimakasih, ya," jawabku seraya masuk ke mobil.
Terakhir berziarah sekitar 4 tahun yang lalu. Pertengahan 2013. Menjelang Ujian Nasional. Setelah itu, sudah tidak pernah lagi.
"Wajar, kalau lupa," kataku pada kelima rekanku di mobil sebagai bentuk pembelaan diri.
Mobil sudah melaju. Memasuki kawasan Makam Mbah Muqoyyim. Hal itu dapat diketahui dari alamat yang bertuliskan, "Jalan Mbah Muqoyyim, Desa Karangsuwung, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon."
Setibanya di lokasi, suasana menjadi sangat berbeda. Sepi. Masing-masing dari kami mengambil wudlu. Kemudian bersiap masuk ke dalam. Makam pendiri Pondok Buntet pesantren itu, berada di tengah-tengah. Sehingga, kami harus melewati beberapa makam untuk bisa sampai ke sana. Malam itu, dingin. Sementara angin yang mengembus di kesunyian membuat kami terdiam, tak sedikit pun bicara. Entahlah, apa yang dirasa dari kelima rekanku itu.
"Wah, makamnya Mbah Muqoyyim dikunci. Kita ke Mbah Muta'ad aja," kata Nisfu.
"Yaudah, ayo cepetan," kataku memburu.
Jam 1 dinihari, melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, mengumandangkan tahlil, tahmid, takbir, dan doa bersama; memecah sunyi. Aku memimpin tahlil. Sengaja dipercepat, karena melihat rona kegelisahan pada masing-masing diri. Abangku, memimpin doa. Sama. Dipercepat juga. Rasanya, ada banyak hal yang mesti diceritakan setelah berziarah tengah malam ini.
"Jadi, makam Mbah Muqoyyim itu memang terkenal angker bagi kalangan santri. Tapi kalau santri yang udah sering ziarah sih biasa aja. Gak bakal nemuin atau ngerasain hal yang aneh-aneh," ucapku memecah kebekuan, saat sudah di mobil dan sudah keluar dari komplek makam Mbah Muqoyyim.
"Tadi gue liat ada putih-putih rada blur gitu," kata Yusuf menyahut.
"Gue denger suara musik disko, padahal itu kan sepi banget. Di tengah pemakaman kayak gitu, pasti jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Jadi, di mana suara disko itu berasal?" Yahya urun bicara.
"Mikirnya positif aja coba. Barangkali penunggu yang ada di situ mau kenalan sama kita. Karena kita kan orang baru. Penunggunya kaget kali. Atau bahkan mereka kagum sama kita. Mau kenalan, tapi justru berasanya aneh buat kita, manusia biasa," sahut Epan dengan nada sedikit menasihati.
Malam itu, menjadi kenangan tersendiri bagi rekan-rekanku yang baru berkunjung ke makam Mbah Muqoyyim. Semoga keberkahan tercurah kepada masing-masing diri, yang sudah tulus mendatangi tempat peristirahatan terakhir pendiri Buntet Pesantren itu. Sementara doa-doa yang dipanjatkan, dikembalikan lagi ke diri pribadi.
Sekira jam 3 dinihari. Aku istirahat. Tidur. Mengumpulkan energi untuk besok. Begitu pula rekan-rekanku yang lain.
(Bersambung)
Bekasi Utara, 23 April 2017
Aru Elgete
0 komentar: