Sabtu (15/4) pagi, aku bangun lebih awal. Usai salat subuh berjama'ah di musala, aku berkesempatan membantu santri dapur. Menanak nasi dan berbagai persiapan lainnya di belakang kediaman Nyai Atun (Alm KH Salim Effendi Anas). Saban haul memang seperti itu. Santri yang memiliki kemampuan di dapur, dikerahkan.
"Ru, tolong bantuin dong. Kipasin nasi yang baru mateng biar nanti gak bau," kata Rohman, Alumni Asrama K (Al-Hikmah K-1) kepadaku.
"Oke, siap. Kita mah tetep santri. Sejauh apa pun perkembangan kita di luar, begitu sampe di Buntet, identitas santri jangan dihilangkan," sahutku kepada Rohman, meniru dawuh salah seorang Kiai di Buntet.
Sekitar 15 menit mengipasi nasi, aku sempat berpikir untuk mengabadikan momen ini. Selain untuk pencitraan di media sosial, aku juga ingin menegur para alumni yang enggan mengenakan atribut santri (peci hitam dan sarung) saat berkunjung ke Buntet. Fenomena tersebut sudah lama menjadi perhatianku.
"Eh, coba dong fotoin gue," kataku kepada Nurul Huda, alumni Asrama Al-Hikmah K-1 asal Desa Krandon, Tegal.
Benar saja. Beberapa saat setelah foto itu muncul di media sosial, beragam tanggapan juga turut bermunculan. Akun Instagram @buntetpesantren me-repost foto tersebut. Kemudian ditambah dengan keterangan yang tak kalah mencengangkan, "Segenap pondok dan warga Pondok Buntet Pesantren terus bersiap menyambut para tamu. Kamu termasuk tamu atau penyambut tamu?"
Harapanku, semoga pesan dan nilai yang terkandung dalam foto tersebut menjadi energi positif untuk para alumni yang mulai menghilangkan identitas kesantriannya. Sebab, idiom santri selalu melekat pada setiap diri yang pernah menimba ilmu di pondok pesantren. Karena itu, aku juga mohon dibukakan pintu maaf yang sangat lebar bagi siapa pun yang merasa tersakiti atas postinganku itu.
Iklab mengadakan temu kangen sekaligus persiapan pelaksanaan program beasiswa santri berprestasi di lapangan futsal milik H Anwar Asmali. |
Anwar Asmali, selaku Wakil Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Buntet (Iklab) Pesantren Cirebon mempersilakan kepada para alumni untuk menggunakan lapangan futsal miliknya sebagai titik kumpul. Selain difungsikan sebagai tempat untuk beristirahat, lapangan futsal tersebut juga digunakan untuk rapat persiapan pelaksanaan program beasiswa santri berprestasi.
Usai membantu santri dapur, aku beberes. Mandi. Kemudian bergegas ke timur. Menemui para alumni yang tergabung dalam organisasi legal-formal di bawah naungan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren Cirebon (YLPI-BPC). Aku senang berjalan kaki. Menikmati suasana keramaian Buntet. Melewati pedagang yang menjajakan produk kebudayaan ala Cirebon. Bermacam jenis dagangan, ada. Nikmat sekali.
Sekitar jam 11, pagi menjelang siang, aku tiba di lokasi. Di lapangan futsal itu. Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku berkenalan dengan orang-orang yang belum sempat bertatap muka sebelumnya. Bersyukur, karena tenun silaturahmi lahir-batin, dapat terajut berkat organisasi alumni itu. Bahagia, tentu. Lepas zuhur, acara dimulai.
Ketua Pelaksana, laporan kepanitiaan, sambutan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal, dengan saksama diperhatikan oleh iklaber (sebutan bagi anggota Iklab) yang hadir ketika itu. Aku bertugas sebagai dokumentator. Mengabadikan setiap momen dan beragam peristiwa yang terjadi. Ada beberapa hal yang hingga kini masih terngiang dalam ingatanku.
"Santri harus bisa berkompetisi di bidang umum," kata Ketua Umum Iklab, Masrur Ainun Najih.
Aku mengamini. Pasalnya, sudah terlalu banyak santri yang berdakwah melalui mimbar-mimbar keagamaan. Menjadi ustadz kampung atau ulama kondang di lingkungannya. Walau demikian, santri juga harus mampu bersaing di bidang umum. Menjadi dokter, politisi, ekonom, pakar tata negara, dan jurnalis. Sebab, menurutku, dakwah tidak melulu melalui jalur mainstream, yakni seperti penceramah atau mubaligh yang bekerja melalui lisannya.
Berprofesi sebagai non-mubaligh, tidak menjadi masalah. Asal, tetap melabeli dirinya sebagai santri. Sehingga, karakter santun dan ramah dalam bekerja tetap mewarnai kehidupan di pekerjaannya masing-masing. Karena menjadi santri, pikirku, merupakan sebuah keberuntungan yang tidak sembarang orang dapat rasakan. Maka, bersyukurlah bagi setiap diri yang berlabel santri. Kebersyukuran itu diejawantahkan dalam kerangka substansial yang diperlihatkan pada kehidupan bermasyarakat, beragama, dan bernegara.
Panglima TNI Gatot Nurmantyo melakukan tabur bunga pada saat acara ziarah kubro di Makbaroh Gajah Ngambung, Buntet Pesantren Cirebon, Sabtu (15/4) sore. |
Sekitar jam 4 sore. Aku bergegas. Kembali ke pondok. Memburu waktu agar sempat mengikuti ziarah kubro sebagai acara inti dari rangkaian Haul Buntet saban tahunnya. Aku berjalan dengan sangat cepat. Setengah berlari. Keringat sudah pasti bercucuran. Saat itu, aku berkeyakinan bahwa seluruh lelahku mengandung berkah dan bisa membuahkan hasil serta manfaat di kemudian hari.
Setibanya di pondok, aku mengambil air wudlu. Salat asar. Kemudian langsung berjalan ke Makbaroh Gajah Ngambung. Antusiasme peziarah luar biasa. Lokasi saat itu penuh sesak. Aku memutuskan untuk ke warung. Kebetulan terlihat ada rombongan rekan-rekan abangku. Di sana, sembari menikmati es kopi untuk melepas lelah dan dahaga, aku ikut menyuarakan tahlil serta ayat-ayat Al-Quran. Begitu pembacaan tahlil yang dipimpin KH Amiruddin Abkari usai, giliran Panglima TNI Gatot Nurmantyo diberi kesempatan memberikan sambutan.
Aku kaget bercampur bangga. Kaget karena Buntet bisa mendatangkan tokoh penting sekaliber panglima. Bangga karena setelah ini, nama Buntet pasti mengalami eskalasi yang cukup baik. Tak berlama-lama dalam lamunan, aku bersiap menuliskan segala hal yang dibicarakan Gatot Nurmantyo dalam sambutannya. Sebagai berita untuk masyarakat bahwa Buntet jangan dipandang sebelah mata. Naskah berita saat itu juga kukirimkan ke Website resmi Buntet Pesantren Cirebon.
Inti dari sambutannya adalah bahwa tentara, ulama, dan santri memiliki sinergitas yang kuat dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dulu, kata Gatot, para tentara itu banyak yang berasal dari kalangan santri. Jenderal Soedirman misalnya. Dia adalah seorang ulama atau kiai. Sehingga para prajuritnya senantiasa mengecup punggung tangannya sebelum perang dimulai.
Gatot juga bercerita mengenai kehebatan KH Abbas Abdul Jamil. Perang 10 November, tidak akan dimulai sebelum Ulama dari Buntet itu datang. Artinya, tonggak sejarah pergerakan perjuangan kemerdekaan itu berada pada kearifan dan kehebatan para ulama dan santri. Karenanya, panglima yang gandrung terhadap nilai-nilai toleransi itu merasa bangga telah berada di Buntet Pesantren Cirebon, yang memiliki nilai sejarah bagi kemerdekaan hidup berbangsa dan bernegara.
Setelah sambutan heroik dari Gatot Nurmantyo, ziarah kubro ditutup dengan pembacaan doa. Usai berdoa, para peziarah berhamburan berdesakkan untuk keluar. Entah, ada yang langsung pulang, menemui sahabat semasa di pondok, atau bersiap untuk hadir di malam puncak Haul Buntet 2017. Sementara aku dan rekan-rekan, merangsek masuk ke makbaroh untuk menziarahi makam KH Salim Effendi Anas bin Soleh Anas. Tahlil, tahmid, takbir, ayat-ayat suci Al-Quran, dan doa bersama dilakukan hingga menembus waktu maghrib.
Setelahnya, aku kembali ke pondok. Membersihkan diri. Mandi. Bersiap untuk membantu terlaksananya program beasiswa santri berprestasi yang diadakan oleh Iklab. Usai waktu maghrib, hujan turun cukup deras. Batinku, Allah menurunkan keberkahan bagi seluruh santri, warga, ulama, dan tamu di Buntet.
"Kalau hujan reda, gue langsung berangkat," kataku pada rekan-rekan yang ada di hadapan, saat itu.
(Bersambung)
Bekasi Utara, 24 April 2017
Aru Elgete
0 komentar: