Sumber: radiosilaturahim.com |
Genderang perang tertabuh. Sengaja atau tidak, entahlah. Masing-masing anak bangsa telah sepakat untuk berpecah-belah. Sejak akhir tahun lalu, permusuhan kian kentara. Pesan berantai penuh kebencian dianggap sebuah kebenaran absolut. Semuanya sibuk. Mengatur strategi untuk mengalahkan siapa saja yang dianggap lawan.
Tak peduli kedudukan dan jabatan, yang berbeda menjadi lawan. Ruang diskusi menjadi hambar. Sebab hanya tersisa amarah yang membara. Akhirnya, terbagi menjadi dua kelompok. Tentu keduanya merasa paling benar, yang di luar kelompoknya jelas salah. Menertawai, mencaci, serta mencari-cari kesalahan menjadi kegiatan baru manusia Indonesia.
Entah sampai kapan Devide et Impera terus berjaya. Peninggalan penjajah Belanda yang hingga kini masih relevan untuk meriuh-gaduhkan gelombang cinta Ibu Pertiwi. Sementara para pakar, akademisi, intelektual muda, dan mahasiswa hanya mampu memaparkan segala macam teori. Menjual kecap. Bahkan, mereka tak lagi jernih dalam berpikir. Barangkali sudah terkontaminasi oleh kepentingan politik praktis.
Melihat kegaduhan itu, aku mencoba masuk ke dalam sebuah ruang yang jarang diketahui orang lain. Sebuah labirin kesunyian yang hanya terdapat pesan-pesan kedamaian. Di sana, doktrin permusuhan terenyahkan. Ajakan untuk saling bermusuhan pasti tertolak. Tapi, siapa pun boleh masuk. Mengubah diri menjadi lebih arif dan bijaksana. Cermat dalam melihat. Memandang sesuatu tidak dengan kacamata kuda.
Di sana terdapat banyak pilihan. Aku memilih untuk melakukan kesungguhan dalam menulis. Berkata-kata dengan keseriusan untuk mengubah negeri ini menjadi sebagaimana mulanya, Gemah Ripah loh jinawi; Tata Tentrem Kerta Raharja. Hijau permai nan damai. Kira-kira seperti itu gambaran surga yang dijanjikan Tuhan. Pikirku, untuk bisa meraih surga di akhirat, maka mulailah untuk tidak menciptakan neraka di dunia.
Singkatnya, labirin kesunyian itu memancarkan cahaya kebahagiaan. Aku menjadi tak berjarak dengan siapa-siapa. Merangkul sesama dengan suka-cita. Aku menyalami banyak orang acapkali bertemu di simpang perjalanan. Sembari melempar senyum tulus, tanpa kepura-puraan. Baik pendukung Prabowo maupun Jokowi, Ahok-Djarot atau Anies-Sandi, dan Ridwan Kamil atau Kang Dedi, semuanya menjadi teman sejati. Tak ada pembeda.
Pribumi atau non-pribumi. Baik pribumi yang berpakaian ala non-pribumi, atau non-pribumi yang bersikap baik sebagaimana sikap dan laku orang-orang pribumi, semuanya sama. Kalau baik, jadikan teman. Kalau tidak baik, jangan ditinggalkan, tetap jadikan teman dan rangkul agar kembali menjadi baik. Kurang-lebih seperti itu logika cinta berjalan. Sejalan dengannya, jangan sesekali ujaran dan umpatan menyakitkan terlontar.
Jihadku bukan dengan teriakan yang menguras energi. Bukan kebencian yang menjalar ke sendi-sendi kehidupan. Bukan pula caci-makian yang menciptakan jurang permusuhan anak bangsa. Perlawananku bukan dengan perlawanan. Bukan dengan ancaman pembunuhan. Bukan dengan tinju yang menyakitkan. Bukan dengan pukulan yang membunuh. Bukan dengan belati yang mematikan. Bukan, bukan, bukan. Bukan seperti itu jihadku.
Aku berjihad melalui kata. Sebab kata-kata adalah peluru yang mampu menembus ribuan otak manusia. Kemudian diproses dan menjadi laku kehidupan. Demi keutuhan Indonesia, aku berjihad dengan kata-kata. Menggerakkan alam bawah sadar manusia untuk bergerak menuju kebaikan, menuju cinta-kasih dan kedamaian. Jihadku dengan kata-kata, agar menjadi sebuah ajakan tanpa mencipta neraka di dunia. Jihadku dengan kata-kata. Kata-kata yang bukan kata-kata. Kata-kata yang hidup. Bukan sekadar kata-kata.
Kata-kata yang mampu menghapus air mata bangsa.
Kata-kata yang mampu menghapus air mata bangsa.
Wallahu A'lam
Bekasi Utara, 3 April 2017
Aru Elgete
0 komentar: