Ilustrasi. Sumber: wowkeren.com |
Pagi hari ini (9/4/2017), aku terbangun setelah dilahap mimpi yang indah. Angin segar dan kicau burung seperti menyambut hari baru. Pisang goreng dan teh hangat sebagai selimut kesejukan. Di Jl Percetakan Negara, Rawasari, Jakarta Pusat, Komunitas Gerakan Ayo Ziarah (GAZ) berkumpul.
Muhammad Ammar, sebagai tuan rumah tak merasa keberatan kalau kediamannya dijadikan titik kumpul. Abdussami' Makarim, Ahmad (Mamet) Mustofa Al-Qodiri Al-Baghdadi, Muhammad Syakir Ni'amillah Fiza, dan Ilhamul Qolbi saling bertatap muka. Silaturahmi lahir-batin tercipta.
Semalam, Komunitas GAZ mengunjungi tempat peristirahatan Maulana Al-Arif Billah Al-Quthb Al-Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad Al-Husaini Asy-Syafii yang popular dengan sebutan Mbah Priuk. Sebuah destinasi ziarah yang baru diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Setelah menyaksikan pertunjukkan Matahari Hujan Teater di Laboratorium Teater Korek, aku bergegas menuju Jakarta. Teman-teman Komunitas GAZ hanya tinggal menungguku untuk kemudian berangkat ke Makam Keramat yang beberapa tahun lalu sempat dipersengketakan.
Tepat pukul setengah 1 dinihari, kami tiba di lokasi. Mamet bertindak sebagai pemimpin. Istighatsah dilakukan. Wirid Bela Negara. Harapannya tentu, agar agama dan bangsa menjadi satu kesatuan yang utuh. Tidak lagi dipertentangkan dan dihadap-hadapkan seolah keduanya mesti terpisahkan.
Hampir satu jam kami melangitkan dzikir, menengadahkan doa, dan mengalam-rayakan asa. Di depan makam Mbah Priuk, kami bermunajat. Meminta perantara agar kehendak kami disampaikan kepada Pemilik Jiwa. Minimal, agar jiwa-jiwa kami tak terbakar api amarah dan kedurjanaan duniawi. Usai istighatsah, kami melipir ke warung kopi. Mendiskusikan banyak hal.
Hal pertama yang dibicarakan adalah soal Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada 19 April mendatang. Ammar beranggapan, menjelang putaran kedua ini, atmosfernya tidak terlalu panas sebagaimana di putaran pertama. Aku dan teman-teman yang lain mengamini hal itu. Namun, ada juga yang sangat disayangkan. Yaitu soal kedua pendukung pasang calon gubernur yang seolah membabi-buta dalam menyampaikan kebenaran versi mereka.
Maka, ada satu pertanyaan yang terlintas dalam benak, "Siapa sebenarnya peretak persaudaraan itu?" Sebab, masing-masing diri menunjuk orang atau kelompok lain sebagai penyebab timbulnya dis-harmoni kehidupan berbangsa. Mereka yang pro-kebhinnekaan dianggap anti-Islam. Begitu pun sebaliknya. Kerangka berpikir manusia Indonesia akhir-akhir ini menjadi hancur. Dangkal.
Aku angkat bicara. Mencoba untuk mengingat-ingat sejarah politik kekuasaan Indonesia. Pada masa orde lama, di bawah kepemimpinan Soekarno, siapa-siapa yang tidak suka dengan pemerintahan dianggap anti-revolusi. Di zaman Soeharto, kelompok yang tidak suka dengan cara gaya kepemimpinannya disebut-sebut anti-Pancasila. Kini, yang gemar mengkritik Jokowi dibilang anti-kebhinnekaan.
Kesemuanya itu dengan sangat sederhana mendapat sebutan sebagai peretak persaudaraan antarbangsa. Padahal, menurutku, tidak demikian. Aku mengajak teman-teman untuk membedakan makna kata negara dan pemerintah. Jangan lantas berpikir bahwa keduanya adalah satu kesatuan yang ketika salah satunya tidak disukai, maka disebut tidak cinta yang satunya atau bahkan keduanya.
Sebagai generasi muda NU, Mamet mengungkapkan bahwa lambang NU yang saat ini kita tahu merupakan hasil dari istikharah pencetusnya. KH Ridlwan Abdullah. Hal yang menarik dari lambang itu adalah tali yang diikat tidak terlalu kencang juga tidak terlalu longgar. Begitulah seharusnya sikap kita dalam berbangsa, bernegara, dan beragama.
Tidak terlalu kaku dan longgar. Biasa saja. Menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Kalau sedang dibutuhkan untuk bersikap longgar, saat itu juga dilakukan. Begitu pun sebaliknya. Semua memiliki ruang dan waktunya sendiri. Segala sesuatu pasti punya tempatnya masing-masing. Nah, NU jagonya dalam hal seperti itu.
Dengan begitu, NU tidak akan bisa terpecah-belah. Ia akan terus hidup di dalam sanubari bangsa. Ia berdiri di semua golongan. Merangkul semua orang. Tapi dengan catatan; tidak mencederai negara dan agama. Diingatkan kembali bahwa negara berbeda dengan pemerintah. Begitu pula agama dan penyaji agama; jelas beda. Paham, kan?
Atas dasar kerangka pemikiran di atas, maka pertanyaanku pasti terjawab. Siapa Sebenarnya Peretak Persaudaraan itu? Sila dijawab dalam hati sebagai bahan introspeksi. Barangkali, ada beberapa perkara yang timbul dari diri; yang menyebabkan retaknya persaudaraan.
Harapku; semoga Komunitas Gerakan Ayo Ziarah tetap lestari. Sekalipun mati, ia akan hidup kembali dengan rupa yang baru dan lebih baik lagi. Ia abadi, sebagai benteng terakhir untuk menjaga nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Wallahu A'lam
Bekasi Utara, 9 April 2017
Aru Elgete
Muhammad Ammar, sebagai tuan rumah tak merasa keberatan kalau kediamannya dijadikan titik kumpul. Abdussami' Makarim, Ahmad (Mamet) Mustofa Al-Qodiri Al-Baghdadi, Muhammad Syakir Ni'amillah Fiza, dan Ilhamul Qolbi saling bertatap muka. Silaturahmi lahir-batin tercipta.
Semalam, Komunitas GAZ mengunjungi tempat peristirahatan Maulana Al-Arif Billah Al-Quthb Al-Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad Al-Husaini Asy-Syafii yang popular dengan sebutan Mbah Priuk. Sebuah destinasi ziarah yang baru diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Berfoto di Makam Keramat Mbah Priuk.. |
Setelah menyaksikan pertunjukkan Matahari Hujan Teater di Laboratorium Teater Korek, aku bergegas menuju Jakarta. Teman-teman Komunitas GAZ hanya tinggal menungguku untuk kemudian berangkat ke Makam Keramat yang beberapa tahun lalu sempat dipersengketakan.
Tepat pukul setengah 1 dinihari, kami tiba di lokasi. Mamet bertindak sebagai pemimpin. Istighatsah dilakukan. Wirid Bela Negara. Harapannya tentu, agar agama dan bangsa menjadi satu kesatuan yang utuh. Tidak lagi dipertentangkan dan dihadap-hadapkan seolah keduanya mesti terpisahkan.
Hampir satu jam kami melangitkan dzikir, menengadahkan doa, dan mengalam-rayakan asa. Di depan makam Mbah Priuk, kami bermunajat. Meminta perantara agar kehendak kami disampaikan kepada Pemilik Jiwa. Minimal, agar jiwa-jiwa kami tak terbakar api amarah dan kedurjanaan duniawi. Usai istighatsah, kami melipir ke warung kopi. Mendiskusikan banyak hal.
Hal pertama yang dibicarakan adalah soal Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada 19 April mendatang. Ammar beranggapan, menjelang putaran kedua ini, atmosfernya tidak terlalu panas sebagaimana di putaran pertama. Aku dan teman-teman yang lain mengamini hal itu. Namun, ada juga yang sangat disayangkan. Yaitu soal kedua pendukung pasang calon gubernur yang seolah membabi-buta dalam menyampaikan kebenaran versi mereka.
Maka, ada satu pertanyaan yang terlintas dalam benak, "Siapa sebenarnya peretak persaudaraan itu?" Sebab, masing-masing diri menunjuk orang atau kelompok lain sebagai penyebab timbulnya dis-harmoni kehidupan berbangsa. Mereka yang pro-kebhinnekaan dianggap anti-Islam. Begitu pun sebaliknya. Kerangka berpikir manusia Indonesia akhir-akhir ini menjadi hancur. Dangkal.
Aku angkat bicara. Mencoba untuk mengingat-ingat sejarah politik kekuasaan Indonesia. Pada masa orde lama, di bawah kepemimpinan Soekarno, siapa-siapa yang tidak suka dengan pemerintahan dianggap anti-revolusi. Di zaman Soeharto, kelompok yang tidak suka dengan cara gaya kepemimpinannya disebut-sebut anti-Pancasila. Kini, yang gemar mengkritik Jokowi dibilang anti-kebhinnekaan.
Kesemuanya itu dengan sangat sederhana mendapat sebutan sebagai peretak persaudaraan antarbangsa. Padahal, menurutku, tidak demikian. Aku mengajak teman-teman untuk membedakan makna kata negara dan pemerintah. Jangan lantas berpikir bahwa keduanya adalah satu kesatuan yang ketika salah satunya tidak disukai, maka disebut tidak cinta yang satunya atau bahkan keduanya.
Tidak terlalu kaku dan longgar. Biasa saja. Menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Kalau sedang dibutuhkan untuk bersikap longgar, saat itu juga dilakukan. Begitu pun sebaliknya. Semua memiliki ruang dan waktunya sendiri. Segala sesuatu pasti punya tempatnya masing-masing. Nah, NU jagonya dalam hal seperti itu.
Dengan begitu, NU tidak akan bisa terpecah-belah. Ia akan terus hidup di dalam sanubari bangsa. Ia berdiri di semua golongan. Merangkul semua orang. Tapi dengan catatan; tidak mencederai negara dan agama. Diingatkan kembali bahwa negara berbeda dengan pemerintah. Begitu pula agama dan penyaji agama; jelas beda. Paham, kan?
Atas dasar kerangka pemikiran di atas, maka pertanyaanku pasti terjawab. Siapa Sebenarnya Peretak Persaudaraan itu? Sila dijawab dalam hati sebagai bahan introspeksi. Barangkali, ada beberapa perkara yang timbul dari diri; yang menyebabkan retaknya persaudaraan.
Harapku; semoga Komunitas Gerakan Ayo Ziarah tetap lestari. Sekalipun mati, ia akan hidup kembali dengan rupa yang baru dan lebih baik lagi. Ia abadi, sebagai benteng terakhir untuk menjaga nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Wallahu A'lam
Bekasi Utara, 9 April 2017
Aru Elgete
0 komentar: