Ruang dalam Laboratorium Teater Korek |
Sejak awal September 2014, aku mulai menyetubuhi segala ruang dan waktu. Menjadi mahasiswa tentu berbeda dengan murid semasa di sekolah. Pendeknya, aku sudah dewasa. Kini, waktunya mandiri untuk menentukan hidup. Tentu dengan kedewasaan itu, penentuan hidup yang kulakukan tak sama seperti masa kanak-kanak. Aku mulai memberanikan diri mengeksplor diri dan kemampuan. Atau, sekadar memenuhi rasa penasaranku.
Aku menempuh pendidikan secara akademik di Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi. Kampus terbesar di Bumi Patriot itu memiliki daya tarik tersendiri bagiku. Setelah tamat dari Madrasah Aliyah NU Buntet Pesantren Cirebon, aku sempat menganggur setahun. Kemudian, mulai mencari kampus yang dekat dengan rumah. Pilihanku jatuh pada perguruan tinggi itu. Sebab di sana, pepohonan masih rindang. Selain itu, yang membuatku tertarik adalah karena di sana terdapat fasilitas untuk mengembangkan bakat menjadi penyiar radio. Di jurusan Ilmu Komunikasi, aku belajar.
Setelah bercengkerama dengan tubuh universitas itu. Aku tertarik dengan seni teater. Ternyata ada wadah. Korek, namanya. Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin menempa kemampuan di seni teater. Sekalipun aku sama sekali tidak memiliki latar belakang sebagai pekerja seni atau pelaku teater. Kurang lebih, aku penasaran dengan kesenian yang satu itu. Sekali waktu, aku berkunjung ke Laboratorium Teater Korek. Lokasinya tepat di depan gedung Pusat Mahasiswa.
Kesan pertamaku adalah, ruangan tersebut cukup luas untuk melakukan proses kreatif. Saat itu, aku baru tahu bahwa teater merupakan induk dari segala seni. Di dalamnya terdapat unsur sastra, musik, dan juga penelitian untuk kemudian ditampilkan menjadi sebuah pertunjukkan. Karenanya, aku memutuskan untuk menjadi anggota Teater Korek Unisma Bekasi. Menurutku, belajar sembari mengembangkan bakat, merupakan aktivitas yang baru. Hal itu sama dengan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah. Perbedaannya, aku juga belajar soal manajemen administrasi keorganisasian.
Seiring berjalannya waktu, aku disemat secara resmi menjadi anggota. Yakni dengan mengikuti Latihan Alam Orientasi Dasar Pemain Teater (LAODPT) di Bumi Perkemahan Cibubur pada pengujung 2015. Usai LAODPT, setiap anggota baru diwajibkan untuk melakukan tanggung jawab kepada civitas akademika kampus Unisma Bekasi dan masyarakat secara umum. Yaitu, melakukan pementasan yang dinamakan persembahan akhir tahun: November 2015. Pementasan saat itu diberi judul "Srek-Srek-Bret" karya salah seorang dewan pelopor Teater Korek, Haryanto atau yang akrab disapa Pa'e Togel.
Saat sudah berhasil melakukan senggama dengan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Unisma Bekasi itu, aku menjadi tahu bahwa ruang Teater Korek adalah titik lintasan berbagai komunitas seni dan teater. Maka, Laboratorium itu dilabeli sebagai ruang kebudayaan. Bangunan yang sering dijadikan pementasan itu awalnya adalah rumah ibadah. Barangkali, alasan ruang itu tidak lagi dipergunakan sebagai masjid karena lokasinya seringkali terendam banjir saat hujan lebat dengan durasi yang lama. Maka, masjid dipindah di bagian tengah kampus.
Teater Korek kusetubuhi. Dari sana, aku tahu bahwa teater pada mulanya adalah pertunjukkan suci yang dilakukan sebagai tanda kebersyukuran atau peribadatan pada dewa-dewa. Karenanya, aku berpikir, sangat sesuai jika tempat itu dijadikan sebagai ruang teater. Terlebih, di Bekasi sama sekali tidak memiliki gedung kesenian yang representatif sebagaimana di Jakarta. Sementara Laboratorium Teater Korek merupakan gedung yang semi-representatif untuk melakukan proses kreatif dan bahkan pertunjukkan teater.
Walau demikian, Teater Korek tidak egois. Tidak merasa diri. Ia membuka diri pada siapa saja. Ruang itu menjadi milik bersama. Karena menyadari bahwa bangunan itu milik kampus, maka siapa pun, boleh menggunakannya. Sementara itu, komunitas atau kelompok teater tentu tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus melakukan silaturahmi dan kerjasama lahir batin antar-komunitas. Maka, hilir mudik kesenian sangat kentara. Derap kebudayaan dan kekeluargaan terlahir darinya. Banyak hal yang tercipta dari gedung eks-masjid yang kini disebut sebagai ruang kebudayaan itu.
Komunitas teater kampus di Bekasi dan sekitarnya, seringkali meminjam ruangan itu untuk melakukan pertunjukkan teater. Teater Korek mempersilakan. Sebab, kebudayaan memang tanpa sekat. Tak boleh menyekat, apalagi melakukan permusuhan dan menabur benih kebencian pada sesama. Sebagian besar komunitas teater di luar mengapresiasi Teater Korek karena memiliki ruangan sebesar itu. Tentu juga memberikan pujian kepada Unisma Bekasi yang bersedia memfasilitasi gerak teater. Karena perlu diketahui, geliat teater di Bekasi cukup besar, tapi tidak ada ruang atau gedung pertunjukkan yang memadai. Syukurnya, Teater Korek Unisma Bekasi memiliki itu.
Saat ini, aku menjadi nahkoda Teater Korek. Memanfaatkan ruang yang besar itu dengan kegiatan positif dan proses kreatif menjadi salah satu bukti kebersyukuranku. Selain itu juga kujadikan pembuktian kepada orang-orang di luar kampus bahwa dengan ketersediaan ruang itu adalah wujud dari keberhasilan Unisma Bekasi dalam mengelola dan menaungi laku teater. Bangga, tentu. Sebab karena ruangan itu, aku jadi punya banyak keluarga. Ruang itu adalah tempat pendewasaanku. Kemudian menjadi pusat pergerakan kesenian.
Soal pengimplementasian terhadap Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni Pengabdian Pada Masyarakat, Teater Korek sudah melakukan. Diantaranya memberikan pembinaan bagi komunitas teater sekolah dan kampanye budaya ke desa-desa. Membina dan memanusiakan manusia adalah misi utama organisasi kebudayaan itu. Teater Sekolah yang pernah berproses di ruang tersebut diantaranya Teater Bengkel Seni Kartini, Bengkel Teater Attaqwa, Teater Rasa, dan Teater Kipas.
Akhir-akhir ini, ada beberapa komunitas yang melakukan kerjasama dalam hal ruang. Pertama, Yayasan Hope Pandora Bekasi yang digawangi oleh aktivis Teater Cassanova Isntitut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Kedua, Komunitas Artery Performa dari Bekasi. Kemudian, Komunitas Karawitan (Kokar) dari Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Unisma Bekasi.
Ketiganya melakukan proses kreatif dengan gembira. Memanfaatkan ruang demi hal yang positif. Misalnya, Yayasan Hope Pandora. Target mereka adalah ingin melakukan pertunjukkan teater dengan tema anti-narkoba. Karena memang yayasan tersebut bergerak di bidang rehabilitasi pengguna narkoba dan pengidap HIV-Aids. Pertunjukkan tersebut dilakukan dengan maksud mengkampanyekan bahaya narkoba dan mengajak masyarakat untuk tidak menilai buruk kepada orang-orang yang terkena virus HIV/Aids.
Pertanyaannya, maka nikmat Tuhan mana lagi yang masih kau dustakan? Sebab ruang itu milik bersama. Kebahagiaan tentu dirasakan secara kekeluargaan. Siapa pun boleh menggunakan, asal dengan kegiatan positif dan proses kreatif. Meski saban hujan tergenang banjir, aku tetap bersyukur. Sebab darinya tercipta beragam peristiwa. Salah satunya adalah membersihkan ruang pasca-banjir. Hal itu sangat memiliki kesan mendalam, menurutku.
Menjadi bagian dari Teater Korek berarti menjadi setubuh bagi semua orang.
Wallahu A'lam
Di Kaki Gunung Gede Pangrango, 5 Mei 2017
Aru Elgete
0 komentar: