Ilustrasi. Sumber inspirasi.co |
Ramadhan tiba. Semua orang sibuk berbenah. Berlomba mencitrakan diri dengan kebaikan. Mempertontonkan amal perbuatan ke publik. Tak lupa juga, "wisata iba" ke rumah anak yatim. Panti asuhan penuh tamu. Mendapat rezeki melalui perantara orang kaya. Ada pula, orang kaya yang berpura miskin. Gelandangan menjamur. Mengais rezeki dengan berperan sebagai kaum miskin kota. Mengharap nasi dari anak remaja yang senang mengadakan Sahur On The Road. Kemudian bertamasya ke masjid terdekat, untuk mendapat ta’jil berbuka puasa.
Sementara tayangan di layar kaca berubah drastis. Semuanya menjadi religi. Para artis mengubah diri. Menutup seluruh tubuh dengan pakaian keagamaan. Masing-masing berperan menjadi seorang yang saleh dan salehah. Menampilkan diri yang rajin beribadah, bersedekah, dan bersilaturrahim. Kapitalisasi media televisi sudah merasuk ke sendi-sendi agama. Kaum kapital tetap akan meraup keuntungan. Mereka tak mau merugi. Meski dengan kepura-puraan, yang terpenting adalah mendapat keuntungan yang lebih.
Nun jauh di sebuah kota dari negeri sengkarut, saat tiba Ramadhan, warung makan tetap saja buka. Membuka setengah pintu. Atau, menutup bagian depan dengan papan setengah badan. Sehingga terlihat sepasang kaki dari luar. Para pelawak mengatakan, menu terbaru di warung nasi saat bulan puasa adalah sup kaki gantung. Orang-orang yang tidak kuat berpuasa harus bersembunyi. Bahkan, terkesan dipaksa untuk makan dan minum secara sembunyi-sembunyi. Menjadi minoritas di negeri ini masih sangat rentan siksaan; baik fisik maupun psikis.
Bagi siapa pun yang tidak puasa pada bulan Ramadhan, bersiaplah untuk menerima siksaan duniawi. Sementara solusi untuk terhindar dari siksaan yang menyakitkan itu adalah berlaku pura-pura dan melestarikan kebohongan selama satu bulan penuh.
Mengapa harus ada kepura-puraan di bulan penuh cinta? Padahal cinta tak pernah berkenan pada kebohongan. Benarkah kepura-puraan itu merupakan bentuk penghormatan pada Ramadhan? Betulkah kemuliaan Ramadhan akan luntur jika tidak dihormati?
Sesungguhnya menghormati sesuatu dengan sebuah kepura-puraan adalah penghinaan yang sangat keji.
Maka, timbul pertanyaan dalam benak. Siapa sesungguhnya yang gila hormat? Ramadhan, kah? Atau justru orang-orang yang beribadah di dalamnya? Sebenarnya apa yang kita dapat dari Ramadhan? Kepura-puraan, kemuliaan, atau justru kesombongan yang berdampak pada sifat gila hormat?
Memaknai Ramadhan
Bulan yang mulia ini merupakan wadah untuk berlomba dalam kebaikan. Tempat untuk meningkatkan kadar intelektualitas. Juga sebagai ajang untuk memperhalus rasa, menyeimbangkan raga, dan melatih kejujuran pada diri sendiri. Ramadhan adalah bulan pendidikan. Setiap yang beriman dididik agar menjadi pribadi bertakwa. Takwa berarti patuh terhadap ketentuan yang telah Allah perintahkan. Salah satu perintah Allah adalah soal menebar cinta dan kasih sayang kepada sesama manusia.
Maka, Ramadhan adalah cinta. Segala hal yang dilakukan di dalamnya sebagai perwujudan dari cinta. Kesempatan emas tercipta untuk lebih mengejawantahkan cinta kepada Pemilik Jiwa. Namun, sesungguhnya cinta tak butuh eksistensi. Cinta akan menempati ruang paling tersembunyi dalam sanubari. Sebab cinta yang sejati tidak butuh pengakuan dari orang lain. Tidak butuh penghormatan yang justru membuat cinta jemawa. Angkuh. Lebih jauh, cinta bukanlah sesuatu yang dibangun dari pondasi kepura-puraan.
Kalau ternyata Ramadhan memberi ruang bagi kepura-puraan, sungguh menyedihkan. Atau sebagian besar manusia justru memanfaatkan kesucian bulan ini untuk meraup keuntungan. Ada banyak ragam keuntungan. Salah satunya adalah soal citra diri. Semua orang berlomba untuk tampil di muka dengan baju dan perilaku keagamaan. Para penceramah mulai mencari bahan untuk diorasikan di atas mimbar. Tak jarang, mereka menggunakan agama dan memanfaatkan momentum Ramadhan demi mendapat keuntungan semata. Walau mulut sudah berbusa karena berkali-kali mengucapkan, “Lillahi ta’ala”.
Lebih ironi, ketika media sosial turut campur untuk mempermudah kesombongan. Atas nama dakwah, citra diri mengenai ibadah yang bersifat privasi dipublikasi dengan kata-kata yang seolah mengajak pada kebaikan. Padahal sesungguhnya demi sebuah pengabaran diri; dengan kata lain, pencitraaan. Ramadhan menjadi wadah dan ajang untuk berpura-pura serta menyombongkan diri.
Di era digital ini, ibadah di Bulan Suci tidak hanya sekadar menahan hawa nafsu dari lapar dan dahaga saja. Melainkan seluruh laku dan gerak kita mesti ditahan. Sesuatu yang kalau tidak ditahan justru berdampak pada penurunan kadar cinta pada Allah. Sebab Ramadhan adalah penyatu jiwa kepada Pemiliknya. Lucu, ketika pada saat Ramadhan, hati kita justru menjauh dari-Nya. Sombong, angkuh, dan kepura-puraan dalam beribadah merupakan penyebab dari menjauhnya kita dari rahmat Allah. Semuanya perlu dibatasi. Termasuk dalam penggunaan media sosial.
Dakwah Ramadhan di Media Sosial
Hati-hati. Setan selalu masuk dari arah yang tidak pernah diketahui. Ia selalu menggoda anak manusia hingga akhir zaman. Tak terkecuali pada Bulan Suci. Cerita masa kecil yang mengatakan bahwa setan dikerangkeng dan manusia bisa bebas dari godaan adalah mitos. Setan selalu menjelma menjadi apa pun. Bahkan, kini setan sudah berubah bentuk menjadi digital. Sesungguhnya, media sosial adalah tempat baru bagi setan kekinian bersemayam. Menggoda manusia untuk menampilkan segala citra. Menggoda agar bermalas-malasan dalam beribadah, padahal tiap kali memosting perihal ibadah. Kemunafikan kerapkali muncul di sana.
Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap?
Ramadhan adalah momentum pendekatan diri kepada Allah. Menjadi bekal untuk sebelas bulan setelahnya. Ramadhan tidak seperti event tahunan. Ia serupa batu loncatan agar diri tidak terjerembab ke lembah kemunafikan dan pemunafikan. Juga, agar jiwa dapat terselematkan dari jurang kesombongan dan keangkuhan. Ramadhan merupakan tempat untuk saling berlomba, tapi bukan kompetisi yang berujung pada kalah dan menang. Usai Ramadhan nanti, siapa yang kalah dan menang, jawabannya tersimpan di lubuk hati terdalam. Sementara itu, media sosial menjadi ruang dakwah baru.
Bersihkan hati dan luruskan niat sebelum memosting sesuatu ke salah satu akun media sosial milik pribadi. Karena bisa jadi, setan dalam wujud kesombongan sedang menyelimuti tubuh. Sekalipun hati sudah bersih dan niat telah lurus, setan beralih ke orang lain. Timbul ujaran yang tidak mengenakkan dari orang lain terhadap kita. Maka, berhati-hatilah dalam memublikasikan hal-hal ke media sosial saat Ramadhan walaupun dengan niat yang baik.
Media sosial, kalau kita tidak hati-hati, akan senantiasa membunuh gerak. Ramadhan menjadi percuma karena hanya diisi dengan kesibukan dalam media sosial yang hampir tidak memiliki manfaat. Sila isi Ramadhan dengan berbagai ibadah, tapi jangan sampai ibadah-ibadah itu terpublikasi melalui media sosial yang justru akan berdampak pada kesombongan. Sebab, Ramadhan adalah proses untuk menuju sebelas bulan setelahnya. Jangan cepat merasa suci, hilang rasa nanti.
Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan kepura-puraan. Maka, masihkah kita akan senantiasa membohongi diri? Sungguh, hal tersebut justru mencoreng kemuliaan Ramadhan, sekalipun Ramadhan tak pernah merasa tercoreng.
Selamat menjalani ibadah kesungguhan di Bulan Suci. Semoga kita tidak merasa (sok) suci.
Tabik,
Aru Elgete
Pengelola Media NU Kota Bekasi