Ilustrasi. Sumber: merdeka.com |
Negeri ini sempat heboh karena gelombang massa yang cukup besar dari Umat Islam. Isu penista agama membikin tujuh juta manusia bergerombol di pusat kota. Orang-orang di akar rumput merasa tersakiti hatinya oleh ucapan 'si mulut rusak' itu. Tapi, entah para elite. Barangkali, ada permainan. Sepertinya, pasti. Politik selalu begitu. Tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan sejati.
Pasca 2 Desember 2016 atau aksi 212, kemudian peserta aksi dilabeli sebagai alumni dan telah diadakan reuni berkali-kali. Agenda reuni tidak berbeda dari 212, yakni aksi. Menuntut Ahok agar segera dipenjara. Hikmahnya, ukhuwah Islamiyah tercipta karena peristiwa tersebut. Kekuatan Islam dan harmoni internal agama bontot ini mulai terajut. Bahkan, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pun dirangkul sekalipun makar dan khilafah tetap menjadi agenda besar mereka.
"Secara keimanan, HTI itu saudara kita. Tapi, jangan mimpi mereka mau menerima NKRI dan Pancasila sebagai asas tunggal. Secara agama, mereka taat. Secara konstitusi mereka kafir. Sementara konstitusi negara ini juga berasal dari sumber primer masing-masing agama. Terlebih, Al-Quran," kata Amat dalam status facebooknya.
Terlepas dari Ukhuwah Islamiyah yang tercipta berkat aksi 212 itu. Rupanya Amat mencium ada seteru tersembunyi di musala tempat dia beribadah. Awalnya Amat cuek. Tak peduli. Dia tidak ingin terjebak pada perseteruan yang memecah-belah. Amat tidak berada di kubu mana pun. Dia tetap berpegang teguh pada prinsip. Yaitu, sebagai Muslim tanpa embel-embel. Islam, titik!
Di musala itu, terdapat dua kubu. Dia baru ngeh setelah 3 malam berturut-turut salat tarawih di sana. Kubu pertama adalah kelompok yang menjalankan amaliyah Islam Ahlussunnah wa al-Jama'ah ala Nahdliyyah. Sementara kubu yang lain adalah kelompok yang mendaku diri sebagai pecinta sunnah dan penegak tauhid; Allah dan Rasul, kembali ke al-Quran dan Hadits adalah harga mati.
Kubu pertama, salat tarawih 20 rakaat. Sedangkan yang kedua, tarawih 8 rakaat. Mulanya, Amat tidak pernah sedikit pun mempersoalkan jumlah rakaat tarawih. Sebab, dia sudah tahu. Meski hanya tahu dari hasil ngaji kuping dengan ustadz di dekat rumahnya. Masing-masing kubu punya dasar argumentasi yang kuat untuk menjalankan segala sesuatu yang diyakini benar. Soal tarawih, Amat sangat paham sejarahnya.
Amat tidak turut campur dalam seteru dua kubu itu. Dia tidak memihak. Berada di tengah. Sebab baginya Islam itu tidak pernah berpihak pada perpecahan. Islam itu menyatukan. Sebagai pemersatu. Islam itu Islam. Titik.
Usai tarawih malam keempat, Amat ikut melingkar bersama pengurus DKM dan takmir musala setempat. Makanan ringan dan teh manis hangat menjadi bunga dari percakapan para tetua itu. Kapasitas Amat masih sebagai pendengar. Dengan saksama dan sangat serius, dia mencoba menelaah persoalan yang sedang dibicarakan. Walau sedang memperhatikan dengan sungguh-sungguh, Amat tetap harus terlihat santai. Mulutnya terlihat mengunyah gorengan; tahu isi ala ibu-ibu PKK.
"Kita harus rapatkan barisan. Dalam artian, harus tetap solid untuk melawan salafi-wahabi yang bercelana cingkrang, berjenggot, dan berjidat hitam itu. Jangan sampai musala ini dikuasai mereka. Hati-hati. Salat tarawih harus 20 rakaat dan witir 3 rakaat. Jangan sampe diubah jadi 8 rakaat. Sekali lagi, kita harus hati-hati," kata Ketua DKM musala setempat.
Amat masih menyimak. Semakin serius.
"Betul, Pak. Sebenernya mah kita gak pernah rese. Tapi, mereka-mereka itu yang rusuh. Ngaji baru kemaren aja udah belagu. Udah berani nge-judge orang lain kafir, sesat, bid'ah, neraka. Kan, lucu. Cuma menang jenggot sama celana cingkrang aja, berasa paling Islam banget mereka itu. Heran," sahut salah seorang ustadz yang sebelumnya tidak pernah bertatap muka dengan Amat.
Teh manis hangat sudah tak lagi hangat. Justru, hati Amat yang terbakar. Panas. Dia bertanya-tanya, apakah Islam harus terpecah belah sejak dalam pikiran? Karena penasaran, dia harus melakukan tabayyun ke pihak yang disebut-sebut sebagai kaum yang merasa paling islami. Dia pamit pulang. Karena obrolan sudah tidak sehat.
Bagi Amat, yang mencoreng kemuliaan Ramadhan bukanlah orang-orang yang makan dan minum di siang bolong, tetapi mereka yang memantik api permusuhan sesama Muslim. Sepanjang perjalanan pulang, dia terus mengolah pikir. Melakukan analisa dan prediksi. Salah satunya adalah mengenai ukhuwah Islamiyah yang digaungkan pada 12 Desember 2016 lalu. Amat gelisah. Bertanya-tanya, "Jangan-jangan, aksi 212 itu benar-benar ditunggangi oleh kepentingan politik?"
Baru saja tiba di depan gerbang rumahnya, Amat dipanggil seseorang. Tetangga. Dikenal dengan sebutan Abdurrahman. Dipanggil Habib. Karena memiliki wajah kearab-araban, tapi orangtuanya bukan asli Arab. Dia pria Jawa. Berperawakan tinggi, gemuk, dan berbadan gelap. Dia punya jenggot yang tidak begitu lebat. Sehari-hari memakai baju koko yang panjangnya hingga betis. Celana cingkrang.
"Pulang, Mat? Ane mau ngobrol, nih. Masih sore, nih."
"Boleh, Bib. Dimari aja deh."
Mereka berdua membincang soal keumatan di halaman rumah Amat. Malam itu terasa hangat karena obrolan yang ringan dan bersahabat. Bahwa, menurut Habib, umat saat ini sudah banyak yang menyeleweng dari al-Quran dan Hadits. Banyak melakukan bid'ah. Salah satunya soal salat tarawih 20 rakaat.
Amat pusing.
Dia izin masuk rumah. Selain karena waktu sudah tengah malam, Amat juga sudah tidak sanggup mendengarnya. Mendengar kalimat-kalimat permusuhan sesama saudara seiman. Benar dugaan dia selama ini, perseteruan dua kubu itu akan selalu ada. Sementara ukhuwah Islamiyah hanya sebatas retorika elite politik demi memuluskan tujuan dan kepentingannya.
Amat justru berpikir bahwa seteru itu menjadi bumbu penghangat. Sebagai perekat bukan peretak. Sebagai penyadaran diri kalau Allah memang sangat kuasa; menciptakan manusia beragam; termasuk beragam pemikirannya. Dia sudah tidak percaya dengan omongan-omongan busuk para politisi. Intinya, ukhuwah Islamiyah tidak terletak pada kerja kata-kata alias retorik. Melainkan akan tercipta saat perbincangan mengenai perbedaan terus dilestarikan.
Singkatnya, Amat menyimpulkan, seteru tak apa asal bangsa dan negara tetap kokoh. Perdebatan biar menjadi anugerah, asal sering-sering duduk bareng. Membahas perbedaan dengan cinta dan kasih sayang.
Dengan niat tulus, Amat berencana akan mengumpulkan dua kubu itu. Duduk bareng dan mencipta perdamaian. Minimal, damai untuk lingkungannya terlebih dulu.
Sekian.
Wallahu A'lam
Senin, 3 Ramadhan 1438
Aru Elgete
Bilal di Musala al-Manaar, Perwirasari, Bekasi Utara.
Di musala itu, terdapat dua kubu. Dia baru ngeh setelah 3 malam berturut-turut salat tarawih di sana. Kubu pertama adalah kelompok yang menjalankan amaliyah Islam Ahlussunnah wa al-Jama'ah ala Nahdliyyah. Sementara kubu yang lain adalah kelompok yang mendaku diri sebagai pecinta sunnah dan penegak tauhid; Allah dan Rasul, kembali ke al-Quran dan Hadits adalah harga mati.
Kubu pertama, salat tarawih 20 rakaat. Sedangkan yang kedua, tarawih 8 rakaat. Mulanya, Amat tidak pernah sedikit pun mempersoalkan jumlah rakaat tarawih. Sebab, dia sudah tahu. Meski hanya tahu dari hasil ngaji kuping dengan ustadz di dekat rumahnya. Masing-masing kubu punya dasar argumentasi yang kuat untuk menjalankan segala sesuatu yang diyakini benar. Soal tarawih, Amat sangat paham sejarahnya.
Amat tidak turut campur dalam seteru dua kubu itu. Dia tidak memihak. Berada di tengah. Sebab baginya Islam itu tidak pernah berpihak pada perpecahan. Islam itu menyatukan. Sebagai pemersatu. Islam itu Islam. Titik.
Usai tarawih malam keempat, Amat ikut melingkar bersama pengurus DKM dan takmir musala setempat. Makanan ringan dan teh manis hangat menjadi bunga dari percakapan para tetua itu. Kapasitas Amat masih sebagai pendengar. Dengan saksama dan sangat serius, dia mencoba menelaah persoalan yang sedang dibicarakan. Walau sedang memperhatikan dengan sungguh-sungguh, Amat tetap harus terlihat santai. Mulutnya terlihat mengunyah gorengan; tahu isi ala ibu-ibu PKK.
"Kita harus rapatkan barisan. Dalam artian, harus tetap solid untuk melawan salafi-wahabi yang bercelana cingkrang, berjenggot, dan berjidat hitam itu. Jangan sampai musala ini dikuasai mereka. Hati-hati. Salat tarawih harus 20 rakaat dan witir 3 rakaat. Jangan sampe diubah jadi 8 rakaat. Sekali lagi, kita harus hati-hati," kata Ketua DKM musala setempat.
Amat masih menyimak. Semakin serius.
"Betul, Pak. Sebenernya mah kita gak pernah rese. Tapi, mereka-mereka itu yang rusuh. Ngaji baru kemaren aja udah belagu. Udah berani nge-judge orang lain kafir, sesat, bid'ah, neraka. Kan, lucu. Cuma menang jenggot sama celana cingkrang aja, berasa paling Islam banget mereka itu. Heran," sahut salah seorang ustadz yang sebelumnya tidak pernah bertatap muka dengan Amat.
Teh manis hangat sudah tak lagi hangat. Justru, hati Amat yang terbakar. Panas. Dia bertanya-tanya, apakah Islam harus terpecah belah sejak dalam pikiran? Karena penasaran, dia harus melakukan tabayyun ke pihak yang disebut-sebut sebagai kaum yang merasa paling islami. Dia pamit pulang. Karena obrolan sudah tidak sehat.
Bagi Amat, yang mencoreng kemuliaan Ramadhan bukanlah orang-orang yang makan dan minum di siang bolong, tetapi mereka yang memantik api permusuhan sesama Muslim. Sepanjang perjalanan pulang, dia terus mengolah pikir. Melakukan analisa dan prediksi. Salah satunya adalah mengenai ukhuwah Islamiyah yang digaungkan pada 12 Desember 2016 lalu. Amat gelisah. Bertanya-tanya, "Jangan-jangan, aksi 212 itu benar-benar ditunggangi oleh kepentingan politik?"
Baru saja tiba di depan gerbang rumahnya, Amat dipanggil seseorang. Tetangga. Dikenal dengan sebutan Abdurrahman. Dipanggil Habib. Karena memiliki wajah kearab-araban, tapi orangtuanya bukan asli Arab. Dia pria Jawa. Berperawakan tinggi, gemuk, dan berbadan gelap. Dia punya jenggot yang tidak begitu lebat. Sehari-hari memakai baju koko yang panjangnya hingga betis. Celana cingkrang.
"Pulang, Mat? Ane mau ngobrol, nih. Masih sore, nih."
"Boleh, Bib. Dimari aja deh."
Mereka berdua membincang soal keumatan di halaman rumah Amat. Malam itu terasa hangat karena obrolan yang ringan dan bersahabat. Bahwa, menurut Habib, umat saat ini sudah banyak yang menyeleweng dari al-Quran dan Hadits. Banyak melakukan bid'ah. Salah satunya soal salat tarawih 20 rakaat.
Amat pusing.
Dia izin masuk rumah. Selain karena waktu sudah tengah malam, Amat juga sudah tidak sanggup mendengarnya. Mendengar kalimat-kalimat permusuhan sesama saudara seiman. Benar dugaan dia selama ini, perseteruan dua kubu itu akan selalu ada. Sementara ukhuwah Islamiyah hanya sebatas retorika elite politik demi memuluskan tujuan dan kepentingannya.
Amat justru berpikir bahwa seteru itu menjadi bumbu penghangat. Sebagai perekat bukan peretak. Sebagai penyadaran diri kalau Allah memang sangat kuasa; menciptakan manusia beragam; termasuk beragam pemikirannya. Dia sudah tidak percaya dengan omongan-omongan busuk para politisi. Intinya, ukhuwah Islamiyah tidak terletak pada kerja kata-kata alias retorik. Melainkan akan tercipta saat perbincangan mengenai perbedaan terus dilestarikan.
Singkatnya, Amat menyimpulkan, seteru tak apa asal bangsa dan negara tetap kokoh. Perdebatan biar menjadi anugerah, asal sering-sering duduk bareng. Membahas perbedaan dengan cinta dan kasih sayang.
Dengan niat tulus, Amat berencana akan mengumpulkan dua kubu itu. Duduk bareng dan mencipta perdamaian. Minimal, damai untuk lingkungannya terlebih dulu.
Sekian.
Wallahu A'lam
Senin, 3 Ramadhan 1438
Aru Elgete
Bilal di Musala al-Manaar, Perwirasari, Bekasi Utara.
0 komentar: