Foto keluarga, Ahad (1/10/1438).
|
Lebaran sudah tiba. Idulfitri yang dinanti selama sebulan, sudah datang ke muka. Berbagai adegan dan peristiwa menarik muncul dengan kemasan yang sedemikian rupa. Salah satunya mengenai keterbukaan komunikasi dan informasi yang seolah membuat ramai seisi jagad, bahkan cenderung gaduh.
Media sosial dijadikan sebagai alat. Apa pun. Alat untuk menghibur diri, mencari informasi, membuat berita, mengekspresikan diri, bahkan mencibir, menebar, dan menabur api permusuhan. Sebagaimana pisau; pemakaiannya tergantung pada nalar dan kebutuhan seseorang.
Momen Idulfitri memang sangat keji bila dijadikan sebagai ajang permusuhan. Hanya orang-orang sakit jiwa yang menginginkan perpecahan. Idulfitri merupakan titik balik seseorang pada asal kejadiannya. Selama sebulan penuh kemarin, kita dilatih untuk melakukan kontemplasi agar mampu merefleksikan diri. Sehingga kita dapat menemukan keadaan jiwa yang lebih bugar nan sehat di hari nan fitri.
Beberapa hari sebelum Idulfitri, setiap tahunnya, masyarakat Indonesia disibukkan dengan aktivitas mudik. Kembali ke kampung halaman. Peristiwa yang satu ini seperti menjadi sebuah kewajiban bagi para pekerja di kota agar kembali ke rumah; menengok orangtua, atau menziarahi makam leluhur yang sudah lebih dulu menghadap Ilahi.
Baca juga: Mudik, Antara Tradisi dan Gengsi
Entah diartikan sebagai tradisi atau gengsi, yang jelas Idulfitri, dengan mudiknya, mengingatkan seseorang pada muasal kejadian. Berkunjung ke awal kehidupan. Sehingga masing-masing diri memiliki kesejatian. Memahami identitas dan personalitasnya sendiri.
Saya, karena tidak punya kampung halaman, terpaksa tidak mudik. Namun, waktu bersama keluarga tentu lebih banyak. Kenikmatan dapat dirasakan setelah sekian lama, karena kesibukan, masing-masing anggota keluarga hanya memiliki kesempatan tatap muka sepersekian menit dalam sehari. Idulfitri tahun ini, saya lebih banyak di rumah. Karena tak ingin melewati waktu istirahat dengan hal-hal yang justru kembali menjauhkan diri dari kebermanfaatan.
Hari pertama Idulfitri, saya disuguhi oleh khutbah salat Ied yang sangat menyejukkan. Pertama, tema khutbah di Masjid Jami' Al-Ikhlas, Perwirasari, Bekasi Utara, yang bertema "Spirit Ramadan dalam menciptakan persatuan bangsa." Kedua, khutbah di Masjid Istiqlal yang dibawakan oleh mufassir kenamaan, Al-Habib Muhammad Quraish Shihab. Saya pikir, khutbah yang kedua ini, bisa dikonsumsi secara mudah di internet.
Kedua khutbah di atas berusaha mengelaborasikan makna persatuan yang terlatih dalam ramadan selama sebulan penuh. Kemudian, dalam rangka menciptakan harmoni kebangsaan, diharapkan kepada umat Islam agar menjadi teladan yang baik kepada orang lain.
Karenanya, dalam khutbah di Masjid Istiqlal, Habib Quraish mengatakan bahwa Islam dan agama-agama lain, tidak melarang kita berkelompok. Sebab yang dilarang adalah berkelompok dan berselisih. Sebagaimana yang termaktub dalam QS Ali-Imran ayat 105.
Karena itulah, kembali saya tegaskan, perlunya kita paham mengenai asal kejadian. Mengerti tentang bagaimana kita diciptakan, fungsi, dan untuk apa kita dihidupkan di dunia. Bahwa kesadaran tentang asal kejadian itu harus mampu mengantarkan kita untuk memahami jati diri.
Manusia dari tanah, berbeda dengan api yang merupakan asal Iblis. Tanah menumbuhkan, tidak membakar, dan tidak membuat perpecahan. Tanah dibutuhkan oleh tetumbuhan dan binatang. Sementara api, tidak demikian. Manusia seharusnya stabil dan konsisten, selalu bermanfaat untuk semua. Demikian Habib Quraish dalam khutbahnya, menerangkan QS Thaha ayat 55.
Foto keluarga. Senin (2/10/1438) |
Kembali ke soal keluarga. Bahwa keberadaan keluarga merupakan faktor pendukung dari keberhasilan seseorang. Mereka, anggota keluarga, bertugas untuk menumbuhkan; tidak melakukan provokasi dan fitnah (hoax) sehingga anggota keluarga yang lain merasa terbakar emosinya, dan akhirnya timbul benih-benih permusuhan. Mereka adalah tanah. Memberikan apa pun yang kita butuhkan. Tidak pernah marah, meski diinjak, dicampakkan, dan tidak dianggap. Tanah akan memberikan harum kesejukan saat terbasahi oleh air. Kemudian menyuburkan tanaman dan bermanfaat bagi semua.
Karenanya, kita biasa menamai Indonesia dengan sebutan Tanah Air.
Keluarga dan Tanah Air adalah kebutuhan kita. Dua hal yang harus ada dalam kehidupan. Secara naluriah, kita tentu tidak bisa tanpa keduanya. Kecuali orang-orang yang terganggu kejiwaan dan nalarnya. Tanpa disuruh atau dikomando, kita tentu rela menyerahkan segala yang dimiliki untuk menjunjung tinggi martabat, kehormatan, dan harga diri keluarga serta Tanah Air tercinta.
Habib Quraish, dalam khutbahnya menjelaskan mengenai Nasionalisme, Patriotisme, dan cinta Tanah Air yang merupakan fitrah, yakni naluri manusia. Sebab, Allah menyandingkan iman dengan Tanah Air. Sebagaimana yang tertera dalam QS Al-Hasyr ayat 9. Kemudian, Allah juga menyejajarkan pembelaan agama dengan Tanah Air pada QS Al-Mumtahanah ayat 8.
Karena itu, sangat disayangkan ketika akhir-akhir ini kita seperti diadu-domba. Kalau membela negara berarti tidak membela agama. Dan, sebaliknya. Padahal, kedua pembelaan itu harus sejajar. Tidak boleh ada yang berlebihan. Karena Allah tidak suka dengan orang-orang yang berlebihan dalam segala hal.
Maka, dalam menjalankan libur lebaran diharapkan juga agar tidak berlebihan. Sebab akan percuma pelatihan yang sudah kita jalani selama sebulan, kalau saat ini seperti sapi yang talinya lepas. Merasa bebas tanpa kendali. Pelatihan kita kemarin adalah mengenai kesederhanaan, keprihatinan, kepedulian, dan kebersamaan yang didasarkan pada kesabaran serta kasih sayang. Jangan sampai hal-hal yang seperti itu hilang seketika saat kenikmatan menghampiri diri.
Untuk itu, saya mengucapkan selamat menikmati sisa libur lebaran. Tetap cintai keluarga, tanah air, dan agama. Namun, jangan berlebihan. Karena cinta adalah naluriah. Naluri akan menempatkan diri sesuai fungsi dan kadarnya. Sebab, naluri tak pernah berbohong.
Terakhir, tetap jaga persatuan. Siapa pun yang sengaja memecah persatuan adalah orang-orang keji yang sakit jiwa dan nalarnya.
Wallahu A'lam
Bekasi, 4 Syawal 1438/28 Juni 2017
Aru Elgete
Putra Bungsu Bapak Saryono bin Suwarno bin Mangkudimedjo
0 komentar: