Masjid Raya Kota Bandung, Jumat (12/1/2018). |
Kota Bandung, beberapa tahun ke belakang; mulai menyedot perhatian banyak orang. Pengelolaan kota yang rapi dan menarik, membuat siapa pun tertarik untuk mengunjungi. Terlebih, ada alun-alun yang beralaskan rumput sintetis. Terletak tepat di depan Masjid Raya Bandung yang megah. Keduanya, alun-alun rumput sintetis dan masjid itu menjadi pusat keramaian.
Tak jauh dari lokasi itu,
di Jl Asia Afrika terdapat sebuah tulisan yang tak kalah menarik. Tulisan itu
milik Pidi Baiq. Seorang seniman asal Bandung; personil grup musik The Panasdalam. Sejak April 2015, tulisan
puitis itu terpampang. Menjadi objek dari lensa kamera siapa pun yang baru pertama
menjejakkan kaki ke Bandung.
Tidak hanya itu, di
setiap tempat sejauh mata memandang terdapat tulisan-tulisan ala remaja yang
tengah dimabuk asmara. Bandung, seperti menjadi pusat dari segala juara. Di
halte bus, ada pula tulisan Bandung Juara. Kini, kota kembang itu berubah
bentuk menjadi kota metropolitan. Hampir sama dengan Ibu Kota Jakarta dan daerah
penyangganya. Kendaraan tumpah ruah saban sore. Macet. Kendaraan bermotor berjejalan.
Jumat (12/1/2018),
beberapa menit sebelum azan asar berkumandang, saya tiba di Stasiun Bandung.
Sepanjang perjalanan dari Stasiun Bekasi, di atas Kereta Api Argo Parahyangan,
mata saya dimanjakan oleh pemandangan yang indah. Sebuah karya cipta Tuhan yang
tidak bisa ditemukan di tempat tinggal saya. Entah bukit atau gunung, menjadi kenikmatan
tersendiri bagi siapa pun yang baru pertama menumpang kereta ke Kota Bandung.
Tepat azan asar, saya
bergegas ke alun-alun. Menumpang ojek online yang menyamar. Sebab, kehidupan pengemudi
ojek dan taksi online di Kota Bandung masih sangat terancam. Terdapat beberapa
zona merah yang tidak memungkinkan bagi pengemudi moda transportasi online
mengangkut penumpang. Kalau nekat, resiko yang bakal diterima cukup berbahaya.
Di jalan menuju
alun-alun, saya ditakjubkan dengan tata kelola kota yang kontras dengan daerah
tempat saya tinggal. Hawa sejuk turut serta menjadi kenikmatan yang menyentuh
dan kemudian menembus sela-sela pori tubuh yang tak tertutup kain tebal.
Kebetulan, cuaca sedang mendung. Saya pikir, hal itulah yang barangkali membuat sebagian
besar warga Kota Bandung memiliki watak yang tidak keras. Karena kata Brouwer,
Bumi Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.
Sesuatu itu, saya
dapatkan ketika dibonceng oleh supir ojek online di sepanjang jalan menuju
alun-alun. Ia ramah. Tutur katanya yang selalu rendah dan bersedia menjawab
segala pertanyaan yang lahir dari mulut seorang awam seperti saya. Andri Yudo, namanya.
Dirinya tak segan-segan menjelaskan setiap titik bangunan bersejarah sekaligus
nama jalan yang terlewati.
Setibanya di lokasi, di
alun-alun Kota Bandung, saya dikagetkan dengan keriuhan orang-orang yang merayakan
kebahagiaannya. Mulai dari anak-anak, ibu-ibu muda, dua sejoli yang saling
berdekatan tanda cinta, juga pedagang asongan yang melawan larangan. Pasalnya,
beberapa kali bahkan hampir setiap 10 menit sekali, saya mendengar pengumuman dari pengeras suara di masjid, bahwa
pedagang asongan sebenarnya terlarang. Para pengunjung diarahkan untuk ke
bagian basement alun-alun kalau ingin
belanja dan makan.
Anehnya, sama sekali tidak
ada hukuman bagi para pedagang asongan yang melanggar. Entahlah,
barangkali karena pengelola masjid memiliki rasa cinta dan kasih sayang kepada
para pencari nafkah itu. Atau, mungkin juga sudah bosan untuk memberi hukuman
kepada pedagang asongan yang nakal.
Lepas salat asar, saya
duduk santai di serambi masjid. Menikmati sore sembari memandangi arsitektur dan
tata kelola alun-alun yang menyedot perhatian banyak orang. Sehingga, selalu
ramai oleh pengunjung yang datang dari berbagai kota. Saya melihat banyak
adegan yang terjadi. Anak-anak berlarian di atas rumput sintetis. Sepasang
kekasih juga terlihat sedang bermesra-ria di hadapan bangunan masjid. Juga, pasangan suami
istri muda yang berbahagia menyaksikan anak-anaknya bahagia. Tak kalah juga,
gerombolan pemudi berbusana mini yang asik berswafoto dengan teman-temannya.
Sampai lampu di menara
masjid menyala, tanda magrib segera tiba; pedagang asongan masih saja
menjajakan dagangannya. Anak-anak dan ibu-ibu muda masih berasyik-masyuk dengan
canda-ria. Lebih-lebih dua sejoli yang semakin merapatkan tubuhnya tanda cinta.
Mereka seolah tak peduli di hadapannya ada masjid yang menjadi simbol juara. Bangunan
itu seperti tak punya makna, kecuali berfungsi untuk rebah dan ibadah.
Tak lama kemudian,
salawat tarhim menggema. Orang-orang di atas rumput sintesis itu belum juga
menyudahi aktivitasnya. Sampai azan magrib berkumandang, hanya sebagian kecil
saja yang bergegas ke dalam masjid. Saya pun turut masuk. Berjamaah. Saf terisi
hanya sampai baris keenam. Jamaah salat magrib tidak kalah banyak dengan kepala
dan kaki yang sedari siang bergerak di luar masjid.
Usai salat, saya
penasaran dengan kondisi di basement yang
katanya dijadikan sebagai pusat kuliner dan oleh-oleh khas Bandung. Dengan
tanpa pikir panjang, saya ke sana. Menapaki beberapa anak tangga hingga tiba di
bawah. Saya melihat ada banyak lapak orang berjualan. Mulai dari makanan, warung
kopi, pedagang oleh-oleh, hingga tempat untuk men-charge handphone. Dari sekian banyak lapak, saya memilih lapak yang
sepi pengunjung.
Selesai makan, saya kembali
ke atas. Ke jalan raya, berjalan di sepanjang Jl Asia Afrika. Kemudian, memesan
ojek online yang ternyata dikemudi oleh Mojang
Bandung bernama Rosi Oktavia. Saya menuju ke Kantor Pengurus Wilayah (PW)
Nahdlatul Ulama (NU) di Jl Terusan Galunggung. Bersilaturrahim dengan
rekan-rekan Pengurus PW Ikatan Pelajar NU (IPNU) Provinsi Jawa Barat. Bermalam.
Karena pada Sabtu dan Minggu (13-14/1/2018), saya mesti menghadiri sebuah forum
pertemuan penulis NU zona Jawa Barat yang diadakan oleh NU Online, di Hotel
Mercure, Jl Lengkong Besar, Kota Bandung.
Pertemuan itu merupakan
sebuah forum yang dirancang sebagai penguatan konten keislaman. Juga, sebagai
bagian dari upaya untuk mengarusutamakan konten Islam Moderat di media.
Sehingga, yang diharapkan dari pertemuan itu adalah agar para penulis NU dapat
melahirkan cara pandang dan kesadaran bersama tentang Islam yang damai dan
toleran. Serta mampu membuat informasi yang positif di dunia maya.
Kemudian, menghasilkan output yang bersifat operasional dalam
penulisan konten keislaman di berbagai media.
Terlepas dari kegiatan
akhir pekan yang saya lakukan, Kota Bandung selain menjadi pusat perhatian
banyak orang, ternyata juga mampu menyedot kerinduan bagi sebagian besar
pecandu asmara. Mulai dari anak remaja, orangtua muda, hingga kakek dan nenek.
Bandung, memang benar yang
dikatakan Pidi Baiq, bukan cuma masalah geografis. Tetapi, lebih jauh dari itu,
karena melibatkan perasaan yang bersamanya ketika sunyi.
Bandung, dulu popular dengan
kalimat lautan api. Kini, mungkin berubah
dengan sebutan Bandung lautan asmara
karena sejauh mata memandang ada sangat banyak tulisan yang bernuansa cinta.
Bandung, Juara!
Wallahu A’lam
Kantor PWNU Jawa Barat,
12 Januari 2018
Aru Elgete
(Orang yang baru pertama
melihat Kota Bandung dari kedekatan)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus