Sumber gambar: mui-jakartatimur.or.id |
Di Bekasi, terdapat sejumlah deretan ulama kenamaan. Diantaranya, KH Noer Ali, KH R Ma’mun Nawawi Cibarusah, dan KH Muhammad Muhajirin. Nama terakhir merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam ala pesantren di Bumi Patriot. Ia sangat produktif menulis.
Sebanyak lebih dari 30 kitab, telah ditetaskan dari ilmunya yang menyamudera. Salah satu masterpiece-nya adalah Kitab Misbah Az-zhulam (Syarah Bulughul Maram), sebanyak 4 jilid. Karyanya tersebut telah diterbitkan di Penerbit Darul Hadits. Seluruh karyanya, ditulis dengan menggunakan bahasa arab.
Putra dari pasangan H Amsar dan Hj Zuhriah itu lahir di Kampung Baru, Cakung, Jakarta Timur, pada 10 November 1924. Ayahnya, seorang pedagang telor di Pasar Jatinegara. Jirin (sapaan akrab semasa kecil), merupakan seorang yang selalu semangat mencari dan menggali ilmu.
Baginya, menuntut ilmu seperti sudah mendarah-daging di tubuh. Sebagaimana termaktub dalam manaqib singkat yang sering disampaikan putranya, KH Dhiya Muhajirin dan KH M Aiz Muhajirin; Jirin kecil senantiasa mengayuh sepeda untuk sampai ke majelis-majelis ilmu para gurunya.
Suatu ketika, ia pernah dihadang seekor buaya saat hendak menyeberangi Kali Cipinang. Namun, dengan kebesaran hati dan kemantapan tekat yang bulat, rintangan itu akhirnya pupus. Spirit menuntut ilmu rupanya tak lemah hanya karena seekor hewan buas. Barangkali, hal tersebut menjadi bagian dari jihad fi sabilillah.
Saat kecil, ia belajar agama dari kedua orangtua dan orang-orang terdekatnya. Selesai mengkhatamkan Al-Quran, ayah dan ibunya mengirim Jirin kepada beberapa ulama agar dapat mempelajari berbagai dasar ilmu keagamaan.
Guru pertama yang dikunjungi adalah Habib Ahmad bin Kuncung bin Ringgit atau yang akrab disapa Guru Asmat. Seorang pemimpin Islam di daerah Cakung Barat, Jakarta Timur. Kepadanya, Jirin belajar banyak selama kurang lebih 6 tahun. Ilmu Nahwu, Sharaf, Fiqih, Mantiq, Ushul Fiqih, Ilmu Kalam, dan Tasawwuf menjadi lahapan utamanya.
Sembari belajar dengan Guru Asmat, ia juga menyempatkan diri untuk mempelajari Ilmu Tajwid kepada H Mukhayyar. Salah seorang pemuka agama Islam ternama dan terkaya di Kampung Kebon Kelapa, Palmerah, Jakarta.
Kemudian, dengan semangat yang tak kenal lelah, Jirin menggali ilmu dari As-Syaikh Ahmad Marzuqi bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Sa’ad bin Abdurrahman bin Sulthon yang diberi gelar dengan sebutan Laksmana Malayang.
Gelar itu didapat dari salah seorang sultan tanah melayu yang berasal dari negeri Fatani, Thailand Selatan. KH Ahmad Marzuqi adalah seorang Ulama Betawi kelahiran Rawabangke, Jatinegara, Jakarta. Selama 4 tahun, Jirin yang tengah beranjak remaja itu memperdalam Ilmu Nahwu, Arudh (Ilmu tentang Syair), Fiqih, dan Hadits.
Selanjutnya, ia menuntut ilmu dari KH Hasbiyallah. Seorang pendiri Yayasan Al-Wathoniyah, Klender, Jakarta. Ulama Betawi yang satu itu murid dari KH Abbas, Buntet Pesantren Cirebon. Kemudian, Jirin juga menggali pengetahuan Ilmu Nahwu dan Fiqih dari Ulam Betawi lainnya, KH Anwar. Juga, mengaji Ilmu Mantiq dan Balaghah dari KH Ahmad Mursyidi.
Selain itu, Jirin mengkaji Ilmu Nahwu, Balaghah, Muthalah Hadits (Ilmu tentang peristilahan hadits), Ushul Fiqih, Adabul Bahts wal Munazharah (Ilmu tentang adab dan diskusi) bersama KH Hasan Murtaha, Cawang, Jakarta.
Tak hanya itu, Jirin juga berguru kepada KH Muhammad Tohir Muara. Seorang Ulama Betawi yang sezaman dengan KH Abdullah Syafi’i, Jakarta. Kali ini, Jirin belajar cukup lama. Yakni, Sembilan tahun. Ia mempelajari Ilmu Nahwu, Fiqih, Tafsir, Mantiq, Balaghah, Tasawwuf, Hadits, Adabul Bahts wal Munazharah, dan juga Ilmu Falak.
Setelah itu, ia kembali memperluas wawasan keilmuan dengan belajar Ilmu Gerhana Bulan dan Matahari kepada Syaikh Ahmad bin Muhammad, murid dari Syaikh Mansyur Al-Falaqy; Ulama ahli Falak terkemuka pada zamannya.
Guru terakhir, di Jakarta, adalah Sayyid Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau yang lebih dikenal Habib Ali Kwitang. Seorang penyebar agama Islam ternama di Jakarta sekaligus pendiri Majelis Ta’lim Kwitang yang merupakan cikal-bakal berdirinya berbagai organisasi keagamaan di Ibu Kota.
Dari semua guru yang disambangi, Jirin telah memiliki bekal yang sangat cukup untuk menjadi seorang ulama. Namun rupanya, ia belum merasa puas dari berbagai ilmu yang telah didapat. Hal tersebut menjadi pemicu utama untuk senantiasa menggali ilmu pengetahuan.
Ia semakin haus akan ilmu. Akhirnya, Jirin memantapkan hatinya untuk bertolak ke Mekah dan Madinah, dengan maksud agar intelektualitasnya kian luas dan tajam. Sekitar pertengahan tahun 1947, ia berangkat menuju Jeddah. Kemudian, tidak lama, dirinya melaksanakan ibadah umrah.
Menuntut Ilmu di Tanah Suci
Selama di Mekah, Jirin tinggal di rumah Syaikh Abdul Ghoni Jamal. Lalu, ia pindah ke asrama Jailani. Di sana, pertama kali dirinya belajar kepada Syaikh Muhammad Ahyad; yang mengajar di Masjidil Haram. Kitab-kitab yang dipelajari adalah Fathil Wahhab, Al-Mahalli ‘ala Al-Qalyubi, Riyadhas-Shalihin, Minhaj Al-Abidin, Umdah Al-Abrar, dan beberapa kitab lainnya.
Selain itu, selama di Mekah, Jirin juga belajar kepada Syaikh Hasan Muhammad Al-Masysyath, Syaikh Zaini Bawean, Syaikh Muhammad Ali bin Husein Al-Maliki, Syaikh Mukhtar Ampetan, Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Ibrahim Fathani, Syaikh Muhammad Amin Al-Khutbi, dan Syaikh Ismail Fathani.
Selang dua tahun, Jirin melanjutkan studi di Darul Ulum Ad-Diniyah yang didirikan pada tahun 1323 Hijriah oleh Sayyid Muhsin bin Ali bin Abdurrahman Al-Musawa Al-Falimbani; ulama ternama asal Palembang, Sumatera Selatan.
Selama belajar di sana, ulama yang paling mempengaruhi pemikiran Jirin adalah Syaikh Ahmad Mansuri dan Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani Al-Jawi. Kurang lebih dua tahun, berbagai kitab telah dilahapnya. Yakni, Syarah Ibnu ‘Agil ‘ala Alfiyah, Mukhtashar Ma’ani ‘ala At-Talkhish (Nahwu), Al-Mahalli ‘ala Al-Qalyubi (Fiqih), Muwaththa’ Imam Malik Sunan Abi Dawud (Hadits), Jam’ul Jawami (Ushul Fiqih), Tafsir Ibnu Katsir, dan At-Thahbiq Baina Al-Madzahib Al-Mudawwanah (Kitab tentang persesuaian antara beberapa madzhab).
Kehausan akan ilmu pengetahuan, membuat Jirin yang kini sudah pantas mendapat gelar ulama tidak lantas menjadikannya angkuh dan sombong. Ia tetap rendah hati dan selalu merasa ada ilmu yang belum dipahami secara baik dan benar.
Pada Agustus 1951, ia berhasil menyelesaikan pendididikannya di Darul Ulum dan mendapat gelar sebagai lulusan terbaik. Selang beberapa lama, ia diminta untuk mengajar di almamaternya. Meski telah lulus, Jirin tetap belajar kepada Syaikh Muhammad Yasin; baik di rumah maupun di sekolah tempat mengajarnya.
Akhirnya, ia mendapat ijazah dari Syaikh Muhammad Yasin yang dinamakan Maslak Al-Jali fi Asanid min Asanid Asy-Syaikh Umar Hamdan. Kemudian, ia juga diberi ijazah oleh Syaikh Muhammad Abdul Baqi setelah selesai membaca Al-Manahil As-Silsilah fi Al-Ahadits Al-Musalsalah; baik secara fi’liyah (perbuatan), maupun qauliyah (ucapan).
Pulang ke Tanah Air
Kamis, 6 Agustus 1955 KH Muhammad Muhajirin tiba di tanah air. Dua tahun berselang, ia menikahi Hj Hannah, putri dari KH Abdurrahman Sodri. Ia dianugerahi delapan putra dan empat putri.
Pada 3 April 1963, KH Muhajirin mendirikan Pondok Pesantren bernama Annida Islamy, Jl Ir H Juanda 124, Bekasi, Jawa Barat. Semasa hidup, di penghujung usianya, ia hanya menghabiskan waktu dengan mengajar dan mendidik para santri.
KH Muhajirin, dikenal sebagai ulama yang alim dan ahli dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya llmu Falak. Menurut penuturan salah seorang santrinya, KH Muhajirin merupakan ulama yang pertama kali mengemukakan pendapat bahwa bulan atau hilal dapat dilihat dengan ukuran 2,5 derajat secara langsung atau menggunakan alat tradisional. Namun, dalam hal ini, tidak sembarang orang dapat melihat hilal pada derajat tertentu. Semua itu, memerlukan tahapan waktu yang sangat lama.
KH Muhajirin, seorang ulama kenamaan di Kota Bekasi terkenal dengan kegigihan, ketegasan, dan kesabarannya. Karenanya, ia telah banyak melahirkan ulama besar yang juga mumpuni dalam mengkaji kitab dan mengamalkan berbagai kitab yang telah diajarkan. Seorang ulama yang menaruh tonggak keislaman di Bumi Patriot itu, wafat pada 31 Januari 2003.
Kini, Pondok Pesantren Annida Al-Islamy dikembangkan oleh putra-putrinya. Berbagai ilmu yang telah dilahap semasa hidup, terus mengalir bak air di Sungai Kalimalang yang melintang dan melintasi Bekasi; dari Purwakarta hingga Jakarta.
Wallahu A’lam
(Tulisan di atas, didapat dari berbagai sumber)
Bandung, 13 Januari 2018
Aru Elgete
Pelajar dan Pemuda NU
0 komentar: