Saya dan Ammar saat merayakan kebahagiaan Syakir diwisuda |
Sejak awal perencanaan manusia diciptakan, beberapa kalangan malaikat banyak yang tak suka dengan keputusan Tuhan. Pasalnya, manusia kerap berbuat kerusakan di bumi. Meskipun, pada akhirnya mereka yang menolak itu mati kutu ketika Tuhan mengatakan; "Aku lebih tahu terhadap segala yang tidak kalian tahu".
Benar saja, terjadi pertumpahan darah yang dilakukan kedua putra Nabi Adam. Barangkali hal tersebut dipicu karena urusan sepele. Soal cinta. Kita seperti diingatkan, bahwa fanatisme cenderung berpotensi membuat siapa pun berperilaku anarkis dan radikalis. Semua orang menjadi galak, kala berhadapan dengan cinta.
Jauh-jauh hari, seluruh umat manusia mesti belajar dari kejadian itu. Maka saat perseteruan terjadi kekinian, saya merasa ada yang kurang dalam mengaji dan mengkaji. Mungkin, manusia zaman now hanya senang mempelajari segala hal dari kulit luarnya saja. Semua berebut definisi, tanpa memikirkan bagaimana substansi. Terlebih, efek yang ditimbulkan dari sebuah pengkultusan definisi.
Di era digital, seolah kita semua adalah pakar. Mempelajari agama, misalnya, tak perlu berlama-lama menelan ilmu pengetahuan di pesantren. Mengkaji sepak bola, tidak mesti susah-payah belajar di organisasi kesepakbolaan. Lebih-lebih, banyak yang enggan belajar poltik tapi seolah merasa paling paham dengan kontestasi politik yang akan dan sedang terjadi.
Tiga hal itu, menurut saya, menjadi pemicu perseteruan yang tak pernah menemui kesepahaman. Agama, Sepak Bola, dan Politik. Di linimasa atau beranda media sosial, semua saling serang komentar. Tanpa tatap muka, siapa pun menjadi pemberani. Rupanya, kemajuan teknologi berbanding lurus dengan kemunduran mental penggunanya. Mencibir, mencaci, dan memaki seenaknya sudah menjadi hal yang sangat wajar.
Akhirnya, kita berpecah-belah. Menjadi antah-berantah. Hancur berkeping karena kepentingan yang berbeda. Syair Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma, "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa" menjadi barang usang yang tak perlu diingat, apalagi dihafal. Dasar negara Pancasila yang dirujuk langsung dari karya besar Nabi Muhammad hanya menjadi pengulangan-pengulangan saja saat upacara dilaksanakan.
Politik ala Belanda masih sangat kentara. Devide et Impera, namanya. Identitas saling ditonjolkan, tanpa mempedulikan pentingnya sebuah personalitas. Orang-orang di era digital saat ini seperti berebut kebenaran. Bahkan tak jarang, ada pula yang bangga memamerkan kebodohan di hadapan publik. Semua itu, karena ketidaktahuan; bahasa pembelaannya adalah wajar dan pemakluman.
Pengetahuan dan pengalaman yang minim, menjadi senjata untuk menyerang siapa pun demi melancarkan kepentingannya. Hal tersebut, saya tegaskan kembali, adalah karena pengejawantahan cinta yang berlebihan. Potensi permusuhan, pergolakan, dan perseteruan akan muncul belakangan. Politik, Agama, dan Sepak Bola misalnya. Ketiga itulah, mari kita kaji bersama.
Saya, Ammar, dan Syakir
Saya, Ammar, dan Syakir
Sewaktu Aliyah, saya adalah anak nakal nan bodoh. Tidak tahu apa-apa. Ilmu tak seberapa. Menjadi bulan-bulanan caci-maki siapa pun. Keterpurukan saya rasakan. Saat itu, hidup seperti telah tidak bermakna. Rapuh. Saya memasang muka tembok tahan malu ke mana pun langkah kaki bergerak. Dengan begitu, bukan berarti saat ini saya merasa sudah pintar atau cerdas. Pengalaman pengetahuan lah yang membuat siapa pun mengalami perluasan cakrawala di lingkar otaknya.
Saat sedang terpuruk itu, saya bertemu dua orang kerabat yang mampu membawa perubahan dalam diri. Muhammad Ammar dan Muhammad Syakir Ni'amillah Fiza. Pertemuan dan keakraban kian tercipta saat kami sama-sama menjadi Penyiar Radio Komunitas Buntet Pesantren Cirebon 107,7 Best FM. Mengudara saban hari, menjadikan kami mengenal kepribadian masing-masing; satu sama lain.
Syakir penyuka bola. Maksudnya, ia sering saya lihat sangat lihai memainkan si kulit bundar di lapangan futsal sekolah. Ammar juga penyuka bola, tapi bukan pemain. Ia lebih senang menjadi pendukung atau simpatisan Persija Jakarta. Saya pun, demikian. Sebelum menginjakkan kaki di Buntet, saya adalah NJ (North-Jakarta) Mania, loyalis Persitara Jakarta Utara. Ke mana pun Laskar si Pitung tanding, saya selalu hadir. Hampir sama dengan Ammar, tidak suka bermain bola.
Namun, untuk tetap mempererat jalinan silaturrahim dan persaudaraan, kami selalu mencari titik kesamaan yang pas. Yakni, sama-sama penyuka bola meski tidak fanatik. Bagi kami, sepak bola adalah olahraga rakyat yang mesti lestari sampai kapan pun.
Kemudian, meski agama (Islam) dan jalan keberagamaan (Nahdlatul Ulama) kami sama, tapi cara berpikir dan gaya pandang tentu berbeda. Hal ini saya dapat dan bisa disimpulkan saat kami telah memboyong diri ke luar dari arena pesantren.
Syakir, cara atau pandangan keagamaannya sangat luas. Ia punya banyak literatur, baik kitab klasik maupun modern. Kuning dan putih. Tradisi pesantren sangat erat di tubuh, jiwa, dan kepalanya. Saya belajar banyak darinya. Terakhir, saya banyak mencontoh gaya penulisan dan nilai yang terkandung dalam tulisannya di Website NU Online.
Sementara Ammar, menurut pembacaan saya tentu memiliki perbedaan dengan Syakir. Ia lebih modern dalam berpikir. Ketua Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jakarta Pusat ini, selalu mengkaji pengalaman yang dirasakan. Ia kurang suka membaca buku. Lebih senang mendengar, merasa, dan memperhatikan keadaan yang ditangkap indera.
Sementara saya, juga punya perbedaan dari mereka. Saya pernah beragama dengan sangat liberal. Keluar dari jalur dan tradisi kepesantrenan. Identitas dan personalitas santri, tak lagi melekat dalam diri. Semua yang haram menjadi halal, segala yang halal seolah terharamkan.
Namun, hal tersebut saya jadikan sebuah anugerah. Karena dengan begitu, saya seperti menemukan gerbang untuk lebih bisa berpikir secara sistemik dan universal. Dalam beberapa hal, saya lebih suka mengkaji sesuatu dengan memecah-pisah konteks. Budaya, agama, sosial, politik, dan ekonomi misalnya. Untuk mengetahui bagaimana kondisi yang terjadi dan pemecahan solusi, kita mesti paham dan kaji peristiwa dari berbagai perspektif.
Selain itu, kami punya pandangan politik yang berbeda meski ada beberapa kemiripan dan kesamaan juga. Ammar menyukai gaya politik strategis. Ia punya segudang cara untuk menata diri agar bisa menempati puncak kekuasaan. Ammar punya kemampuan gaya komunikasi yang baik.
Lain lubuk, lain ikannya. Syakir, tak suka dengan apa yang Ammar suka. Pria berkacamata yang satu ini, lebih suka berada di balik layar. Ia konseptor. Merancang strategi dan kemudian melancarkan sesuatu melalui mulut atau tangan orang lain. Ia menjadi admin dari beberapa media online keislaman. Salah satunya Website Buntet Pesantren. Beberapa tokoh diwawancarai dan tulisan yang dihasilkan adalah sesuatu yang juga ia sepakati. Kira-kira seperti itu kerja jurnalis atau wartawan.
Syakir dan Ammar punya pandangan dan gaya politik sendiri. Saya pun demikian. Cara dan gaya politik Ammar kerap saya gunakan. Begitu pun yang dilakukan Syakir, saya lakukan juga. Terkadang, saya berperan sebagai konseptor. Namun tak jarang, saya pula yang menjadi eksekutor. Saya tak suka berpura-pura. Siapa pun yang tertindas, asal masih bergaris lurus dengan nilai kerakyatan, saya akan membelanya.
Ah, saya tak perlu berlama-lama menerjemahkan siapa saya. Silakan, anda lakukan dan buat kerangka berpikir sendiri bagaimana saya bertindak dan berperilaku. Saya tak berkeberatan diklaim, dituduh, dan dituding macam-macam.
Politik, agama, dan sepak bola terkadang menjauhkan kita. Namun, ketiganya itulah yang juga berperan untuk mengeratkan persaudaraan. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Salah satunya dengan tidak berlebih dalam memperlakukannya.
Terpecah
Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia dihebohkan karena Piala Presiden 2018. Di final, Persija Jakarta keluar sebagai juara karena menang telak 3-0 melawan Bali United. Opini dan pendapat simpang siur tak berdasar, hadir di media sosial. Semuanya beranggapan bahwa argumentasi yang dikeluarkan adalah kebenaran sejati yang tak bisa diganggu-gugat.
Ada yang bilang, Persija Jakarta bisa juara karena gubernurnya seorang yang beragama Islam. Korelasi antara sepak bola sebagai olahraga yang kompetitif dan Islam sebagai agama dipersandingkan. Aneh, memang. Tapi seperti itulah opini yang sudah terlanjur berkembang di tengah otak masyarakat.
Kemudian, perseteruan tercipta dan menjadikan media sosial gaduh adalah ketika Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) melarang Gubernur Anies Baswedan turun ke lapangan untuk turut serta mengapresiasi kemenangan Persija. Namun, opini dan argumentasi yang berkembang sungguh mengganggu daya nalar berpikir saya.
Kait-mengait dilakukan. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama sebelumnya dipersilakan turun dan memberi apresiasi kepada Persija. Sementara Gubernur Anies saat ini, dilarang. Ada apa? Semua mengaitkannya dengan kontestasi Pilpres 2019. Semua orang bicara politik. Seolah pakar yang punya kapasitas untuk berbicara.
Kalau memang tidak mengerti titik permasalahannya, silakan tanya kepada orang atau pakar yang lebih paham. Tidak membuat opini sehingga masyarakat terpengaruh dan ikut serta menebar kebencian. Sepak bola yang mestinya menjadi simbol kegembiraan rakyat, dikaitkan dengan politik yang penuh intrik untuk mengelabui masyarakat. Hal tersebut sungguh merupakan pelanggaran serius.
Maka jangan mencampur-baurkan agama, politik, dan sepak bola. Dikombinasikan sebagai bagian dari harmoni dan keselarasan, silakan saja. Tapi kalau dicampur-campur demi kepentingan dan kekuasaan, itu yang salah.
Jadi, sebenarnya bisakah ketiga itu menjadi titik temu untuk menciptakan kemaslahatan dan kegembiraan bersama? Bisa. Cari kesamaannya. Jangan memperkeruh keadaan dengan membaurkan kepentingan sendiri atau kelompok.
Wallahu A'lam
Rawasari, 19 Februari 2018
Aru Elgete
Bukan Politisi
0 komentar: