KH Subhan Hafidz (kiri) |
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia. Karenanya, NU menembus di berbagai lini kehidupan. Pengaruh dan kontribusi yang diberikan merasuk hingga ke lapisan paling bawah.
Di negeri ini, peran NU tak bisa terbantahkan. Walau demikian, NU sebagai organisasi tidak menutup diri terhadap berbagai kemungkinan, seperti misalnya istilah struktural dan kultural.
Di tataran struktural, bisa dikatakan NU sudah matang. Mulai dari level tertinggi kepengurusan hingga ke paling bawah satu komado, tak bisa tidak.
Pengkaderan dan pengorganisasian telah dilakukan dengan sebaik mungkin demi menciptakan iklim organisasi yang baik, sehingga dapat terkristalisasi dengan sangat indah dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai organisasi Islam yang sudah berskala nasional, tentu ujung tombak pergerakan NU adalah masyarakat di akar rumput. Di sana terdapat berbagai pemikiran, amalan-amalan, dan ajaran yang jika tidak dipagari akan liar seperti tak bertuan.
Maka tak jarang, sering kita dengar istilah NU dengan banyak varian rasa. NU rasa FPI, NU rasa Wahabi, hingga NU rasa PKS pun ada. Ini yang seharusnya menjadi fokus utama NU. Bahwa jangan sampai NU terkontaminasi oleh paham-paham yang tak berkesesuaian dengan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Selasa (28/8) siang menjelang sore, beberapa saat sebelum azan asar berkumandang, saya tiba di sebuah bangunan pondok pesantren yang di dalamnya juga terdapat sekolah dari SD hingga SMK.
Bangunan itu dilabeli Pondok Pesantren Tahfidz Daru Tartila, di bawah naungan Yayasan Nur Jamilah yang juga menjadi nama sekolah di sana.
KH Subhan Hafidz adalah seorang pimpinan tertinggi dari lembaga pendidikan Islam yang berlokasi di Jalan Bintara Raya, Kelurahan Kranji, Kecamatan Bekasi Barat. Ia merupakan sosok kiai muda jebolan Pesantren Modern Gontor di Ponorogo, Jawa Timur.
Usai menamatkan pengembaraan ilmu di Gontor, ia terbang ke Mesir. Tepatnya di Universitas Al-Azhar, di Kota Kairo. Sebuah perguruan tinggi tertua di dunia, yang mulanya hanya bangunan masjid yang didirikan pada puncak kejayaan Dinasti Fatimiyah sekitar tahun 970-972 Masehi.
Kiai Subhan, demikian ia akrab disapa, menceritakan bahwa sepulangnya dari Al-Azhar, sekitar tahun 2003, ia mendirikan Pondok Pesantren Tahfidz Daru Tartila. Kemudian pada 2010, pesantren itu berkembang menjadi dwifungsi: ada sekolah, ada pula pesantren.
Kini, sudah ada sekitar 300 santri yang bermukim dan 800 siswa-siswi yang memilih untuk bersekolah di sana. Selama ini, ia hanya mengurusi santri dan muridnya, sehingga kurang aktif di dalam jaringan ke-NU-an. Namun, jiwa dan karakter, bahkan pemikirannya, tidak bisa diragukan lagi. Ia adalah warga Nahdliyin yang peduli terhadap NU.
“Saya selama ini kurang aktif di NU. Tapi Alhamdulillah amaliyah tetap NU. Bahkan untuk mengcounter wahabi, saya adakan kegiatan Nur Jamila Bertahlil. Semua ikut tahlilan. Santri, murid, hingga guru dan para ustadz, ikut tahlilan. Gesekan NU-Wahabi di sini cukup kencang," katanya.
Ia bersyukur, pesantren miliknya tetap berdiri kokoh. Bahkan, disambut baik oleh masyarakat luas. Beberapa ulama pernah berdatangan ke sana. Diantaranya KH Abdullah Syafi'i dan KH Noer Ali. Selain itu, sudah banyak orangtua yang mempercayakan anak-anaknya bersekolah di sana.
"Jadi, walaupun saya tidak punya Kartu Tanda Anggota NU (Kartanu), saya ini tetap NU," tuturnya dengan santai dan sesekali berseloroh.
Beberapa tahun terakhir, ada dua orang santri yang telah diwisuda usai mengkhatamkan dan menghafalkan Al-Qur’an 30 juz. Keduanya berangkat umroh.
Uniknya, pemberangkatan umroh tersebut bukan dilakukan atau dibiayai oleh pihak pesantren. Kiai Subhan mengaku hanya punya modal do’a untuk menyemangati para santri agar memiliki kemauan menghafal kitab suci.
“Sejak mereka baru masuk ke sini, saya sudah bilang bahwa kalau hafal 30 Juz, maka akan saya berangkatkan umroh. Di situ saya nekat saja, hanya mengharap ada keberkahan dari Al-Qur’an dan cita-cita saya terwujud," jelasnya, dalam suasana hiruk-pikuk para siswa bermain bola di lapangan sekolah, tepat di depan rumah, tempat kami mengobrol.
Bahkan, ia melanjutkan, "Almarhumah ibu saya terheran-heran, karena memang tidak punya biaya untuk memberangkatkan santri ke tanah suci".
Tiba-tiba, lanjutnya, beberapa hari kemudian setelah santri tersebut diwisuda, ada pihak yang memberikan biaya untuk santri yang hafal Al-Qur’an 30 Juz ke tanah suci.
Saat mendengar kabar itu, Kiai Subhan bahagia bukan main. Ia kian yakin bahwa Al-Qur’an menjadi washilah dari perjuangan dan cita-cita yang dimiliki. Bahkan menurutnya, seperti itulah cara merawat NU agar tetap lestari.
“Saya memilih untuk memperjuangkan NU melalui jalur kultural. Karena perjuangan dan pengorbanan lebih terasa di dalam posisi ini,” katanya, seraya mempersilakan saya meminum air mineral kemasan yang disuguhi di atas meja.
Sebelum menutup perbincangan, ia menegaskan bahwa "Seperti itulah cara saya merawat NU di tataran kultural. Membendung pemahaman anak-anak dari kontaminasi pemikiran radikal ala wahabi".
Setelah itu, saya mengecup punggung tangan Kiai Subhan sebagai tanda penghormatan kepada orang-orang yang berilmu, dan kemudian pamit pulang.
Hari sudah sore, sementara saya tetap berjibaku pada imajinasi tentang bagaimana merawat tradisi ke-NU-an agar tidak pernah luntur, sekalipun di era modern dan di tengah kehidupan perkotaan.
“Seperti itu rupanya suara dari para kiai kultur, yang barangkali selama ini tidak pernah terdengar dan mungkin saja tak pernah terangkat ke media mainstream maupun media sosial. Suara-suara itu, sungguh menyejukkan dan mengetuk pintu hati untuk senantiasa mencintai NU lahir batin,” kata saya dalam hati, sembari mengendarai motor, menuju Sekretariat IPNU Kota Bekasi, di Jalan Veteran 22, Margajaya, Bekasi Selatan.
0 komentar: