Akhir pekan lalu, pada Sabtu-Ahad, 15-16 September 2018, Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kota
Bekasi mengadakan kegiatan kaderisasi, yakni Masa Kesetiaan Anggota (Makesta).
Sekitar 48 peserta dari perwakilan sekolah dan pondok pesantren, mengikutinya.
Mereka diberi penguatan ideologi Ahlussunnah
wal Jama’ah, dan juga tentu saja pemahaman tentang ke-NU-an. Selain itu ada
pula materi keindonesiaan sebagai upaya untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap
tanah air.
Semua itu menjadi materi pokok dari pengkaderan tahap awal di tubuh IPNU
dan IPPNU. Sebab, IPNU dan IPPNU adalah gerbang awal menjadi generasi penerus
NU di ranah struktural. Mereka itulah yang nantinya meneruskan perjuangan para
ulama NU di Jam’iyyah Diniyah Ijtima’iyah
Nahdlotil Ulama.
Namun, yang lebih menarik dari kegiatan Makesta adalah diberikannya materi
Jurnalistik dan cara bagaimana berselancar di media sosial dengan baik. Dewasa
ini, di era milenial, dunia maya menjadi ujung tombak dari peperangan yang
sesungguhnya.
Kita sudah tidak lagi berperang secara fisik dengan mengangkat pedang dan
parang. Melainkan berperang melawan pemikiran-pemikiran yang bertentangan
dengan nilai-nilai keagamaan dan keindonesiaan.
NU, sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan terbesar di Indonesia,
senantiasa memberikan pemahaman kepada seluruh kader, bahwa agama dan
nasionalisme adalah dua hal yang saling menguatkan. Demikian-lah yang
diungkapkan oleh KH Hasyim Asy’ari jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka.
Dari situlah kemudian, saya berkeinginan agar para kader NU ini mampu menguasai
media sosial sebagai ruang dakwah yang nyata. Berita bohong (hoaks) dan ujaran
kebencian yang kerap ditemui di dunia maya, harus segera dilawan agar tak
merambah ke dunia nyata.
Karenanya, salah satu hal yang harus menjadi bekal untuk berselancar di
media sosial adalah kemampuan dan keinginan untuk menulis. Kegiatan menulis
harus terus digencarkan untuk kemudian mampu berselancar di media sosial, dengan
membawa pesan kedamaian di sana.
Kunci utama menulis adalah membaca. Di hadapan para pelajar yang menjadi
peserta Makesta, saya mengatakan bahwa perintah utama dalam Islam adalah
membaca. Iqra bismirabbik. Setelah
kalimat iqra, tidak ada kalimat
penjelas perihal apa yang dibaca.
Hal tersebut sebagai tanda bahwa Allah memerintahkan kita semua untuk
membaca apa pun, tidak melulu membaca teks tulisan di buku. Melainkan kita harus
cerdas pula membaca situasi, membaca kondisi, dan membaca peristiwa.
Seperti itulah yang menjadi kerja dari Jurnalis. Mencatat segala macam yang
dilihat dan dirasa. Kemudian disajikan ke media sosial dengan sajian yang baik.
Dengan begitu, maka jauhlah kader NU dari berita bohong maupun ujaran
kebencian. Jauh, berarti tidak menjadi pelaku atau pun sebagai korban.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Begitu kata penulis legendaris,
Pramoedya Ananta Toer. Jika jasad memiliki waktu untuk hidup di dunia, maka
tulisan yang akan mengabadikan umur di keabadian. Raden Ajeng Kartini,
misalnya, meski di dunia ia hanya hidup selama 25 tahun, tapi dengan tulisan-tulisan
perlawanannya, ia mampu abadi dan dikenang sepanjang masa.
Maka sudah sepatutnya, kader NU mampu menulis berbagai kebaikan di dunia,
sehingga bisa dengan bijak berselancar di media sosial. Sebab, media sosial
adalah ruang atau wadah untuk berjuang dan berperang di era milenial. Karenanya,
marilah kita berlomba-lomba dalam kebaikan.
Menulislah agar abadi!
0 komentar: