Sumber gambar: jabarnews.com |
Tahun politik kali ini sangat seru,
sekaligus menyedihkan. Seru, karena kita dapat melihat anak-anak muda dengan wajah
baru tampil di muka untuk mendapatkan kursi legislatif. Menjadi anggota dewan,
nampaknya merupakan sebuah prestise yang patut dibanggakan. Mengangkat status
sosial di lingkungan masyarakat seraya dengan pongah mengangkat kepala tanda
jemawa.
Sedangkan hal yang menjadi kesedihan
adalah karena banyaknya kader muda Nahdlatul Ulama (NU) yang mencoba
peruntungan di ranah politik. Belakangan ini, NU memang sedang naik daun
lantaran pimpinan tertingginya, KH Ma’ruf Amin, menjadi pendamping dari
presiden petahana di Pilpres 2019.
Karena dirasa mendapat tugas yang lebih
besar lagi, Kiai Ma’ruf akhirnya mundur dari jabatannya sebagai Rais ‘Aam PBNU.
Kita sudah selayaknya mengapresiasi langkah bijak cicit dari Syaikh Nawawi
Al-Bantani itu. Ia rela mundur dari jabatan tertinggi ormas Islam terbesar di
Indonesia, demi mewakafkan diri untuk negeri ini.
Namun, langkah Kiai Ma’ruf terjun ke politik
praktis membuat seluruh generasi muda NU menjadi centil dan ganjen. Terutama
organisasi badan otonom NU yang paling bawah, yakni Ikatan Pelajar Nahdlatul
Ulama (IPNU). Banyak kader IPNU yang “ikut-ikutan” mencemplungkan diri ke kubangan
politik praktis.
Kalau Kiai Ma’ruf bersedia menjadi
cawapres karena semata-mata karena kecintaannya pada negeri, lantas apa yang melatarbelakangi
kader atau bahkan pengurus IPNU yang terjun payung ke gedung DPRD masing-masing
daerahnya? Jawabannya pasti hanya untuk keren-kerenan. Iya kan?
Dari mulai Pimpinan Pusat (PP) hingga
Pimpinan Cabang (PC) di kabupaten/kota, saya yakin banyak caleg karbitan yang
unyu-unyu. Menurut saya, mereka jelas bangga karena merasa akan menjadi elit
yang bakal dihormati banyak orang. Ini sungguh menggelikan.
Padahal cita-cita IPNU didirikan bukan
sebagai wadah pembentukan calon kasta elit dalam masyarakat. Melainkan untuk
membentuk manusia berilmu yang dekat dengan masyarakat. Kurang lebih seperti
itu yang diungkapkan Pendiri IPNU, KH Tholhah Mansur dalam Muktamar IV IPNU di
Yogyakarta tahun 1961.
Jika para pengurus dan kader IPNU yang
menjadi caleg itu beranggapan bahwa dirinya merupakan manusia berilmu dan akan
dekat dengan masyarakat setelah menjadi anggota dewan nanti, maka asumsi itu sangat
jelas tak berdasar.
IPNU semestinya membentuk karakter
pelajar agar menjadi generasi yang cemerlang di kemudian hari, menjadi generasi
yang tidak haus kekuasaan, tidak centil dan ganjen untuk bersyahwat di dalam
lingkaran politik praktis.
Lagi pula, berilmukah sebagai pengurus
organisasi jika melanggar konstitusi organisasi yang telah disepakati bersama? Mari
kita bedah Peraturan Rumah Tangga (PRT) hasil dari Kongres IPNU XVIII di
Boyolali, Jawa Tengah.
PRT IPNU. Silakan baca dan pahami. |
Di dalam PRT BAB XI dimaktubkan aturan
main soal rangkap jabatan. Khususnya di Pasal 25 yang berbunyi: (1) Pengurus dilarang melibatkan diri dan/atau
melibatkan organisasi dalam kegiatan politik praktis. (2) Bagi pengurus yang
mengikuti kegiatan politik atau mencalonkan diri untuk menduduki jabatan
politik, diwajibkan untuk mundur. (3) Jika ayat (2) tidak terpenuhi, maka
pengurus tersebut dapat diberhentikan oleh pengurus yang bersangkutan atau
tingkat kepengurusan diatasnya. (4) Pengisian kekosongan jabatan akibat
pemberlakuan ayat (3) dilakukan dengan mekanisme yang berlaku.
Semuanya sudah jelas. Mulai dari
tingkatan pusat hingga cabang, jika kedapatan pengurus yang melibatkan diri ke
dalam kegiatan politik praktis, maka diwajibkan mundur. Apabila tidak mundur, maka
harus diberhentikan. Kalau tidak mau mundur dan tidak bersedia diberhentikan,
lantas untuk apa ada organisasi bernama IPNU dengan peraturan-peraturannya yang
telah ditetapkan secara musyawarah mufakat?
Kalau tidak suka dengan tulisan ini,
sila siapkan waktu dan tempat untuk kopdar dengan kesediannya diangkat
pembicaraannya di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Atau minimal,
kalau tidak suka dengan tulisan ini, bikin tulisan tandingan.
Gitu saja kok repot. Mau mundur atau
diberhentikan? Pilih salah satu dong. Biar marwah IPNU tetap terjaga. Kalau tidak
pilih keduanya, maka sekali lagi saya tanya: untuk apa ada organisasi bernama
IPNU? Atau jangan-jangan hanya untuk batu loncatan menuju berbagai hal yang
lain, yang lebih menarik, dan lebih menguntungkan diri secara praktis? KH Ma'ruf Amin saja mundur dari jabatan di NU. Ini kok pengurus IPNU tidak mencontoh.
Kalau begitu, mari bersama-sama kita doakan KH
Tholhah Mansur agar tenang di alam sana. Al-Fatihah...
Aru Elgete
Wakil Ketua Lembaga Pers dan Penerbitan PC IPNU Kota Bekasi
0 komentar: