KH Majduddin Busyrol Karim, sumber: akun instagram @buntetpesantren |
Kaget bercampur sedih. Seperti itulah perasaan saya
saat mendapat kabar bahwa KH Majduddin Busyrol Karim, Pengasuh Pondok Al-Hikmah
K-1 Buntet Pesantren Cirebon wafat. Saya mendapat kabar dari Kang Najih
Mubarok, putra beliau yang meneruskan perjuangan mengasuh santri di sana. Kiai
Dud, demikian ulama kharismatik itu disapa, merupakan guru sekaligus orangtua saya
selama empat tahun nyantri.
Ketika mendapat kabar duka tersebut,
saya sedang berasyik-masyuk mendengar ceramah Kiai Muhammad Ainun Najib di Kenduri
Cinta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Beberapa saat setelah itu, saya bergegas kembali
ke Bekasi, ke Sekretariat IPNU Kota Bekasi untuk menuliskan kenangan berharga yang saya alami bersama Pak Kiai Dud.
Saya memang dikenal sebagai santri mbeling kala mondok di Buntet. Berbagai
permasalahan kerap datang, bahkan saya hampiri, hingga kemelut batin seringkali
hadir. Namun, tak jarang pula kelembutan Pak Kiai melunturkan hati saya yang
hampir membeku. Kalimat yang dikemukakan beliau adalah nasihat yang penuh
kelembutan, hingga siapa saja yang mendengarnya tak mungkin tidak luluh.
Saya nyantri di Buntet sejak 2009 hingga 2013. Sekitar tahun 2011,
kenakalan saya memuncak. Pembaca yang santri, tentu paham bagaimana kenakalan-kenakalan
santri semasa di pondok, maka saya tak perlu banyak ceritakan itu di dalam tulisan ini.
Ketika kenakalan saya tak terbendung,
usai mengaji Al-Qur’an bakda magrib, Pak Kiai dengan suara yang sangat lembut,
sebagai ciri khasnya, memanggil saya untuk masuk ke dalam kamarnya yang ada di
pondok. Jujur, ada perasaan takut yang membatin. Namun, keyakinan saya terhadap
kelembutan dan kesantuanan Pak Kiai, meruntuhkan berbagai rasa takut itu.
Saya duduk di lantai (seperti duduk
diantara dua sujud) dengan wajah menunduk, sedangkan Pak Kiai lungguh di bangku yang ada di hadapan
saya. Sedetik pun saya tak berani menatap wajah beliau yang bercahaya itu.
Barangkali, seperti itu budaya takzim santri kepada kiai atau gurunya.
Satu hal yang menjadi ciri khas Pak
Kiai setiap kali hendak mendudukkan tubuh adalah mengucap ‘Allahuakbar’ dengan sangat lirih, hampir tak terdengar. Dari situ
kemudian saya berpikir bahwa Pak Kiai sesungguhnya sedang mengajarkan kepada
santri betapa besarnya Allah dibanding kuasa manusia. ‘Allahuakbar’ berarti kalimat yang harus diucapkan sebagai bentuk
pengakuan bahwa manusia kecil di hadapan Allah, bahwa manusia tak berdaya,
hanya Allah-lah yang Maha Besar.
Di dalam ruangan itu, Pak Kiai memberi
nasihat kepada saya. Beliau katakan, bahwa santri bakal memiliki tanggung jawab
besar terhadap perkembangan zaman, saat telah turun ke masyarakat. Maka,
memperbaiki diri sejak dini harus dilakukan agar mampu menjadi orang yang
memiliki derajat tinggi di tengah kehidupan di luar pesantren.
Pak Kiai kemudian mengelaborasi makna
ayat Al-Qur’an, bahwa hanya ada dua golongan yang dijanjikan oleh Allah akan
diangkat derajatnya. Yakni yang beriman kepada Allah dan orang-orang yang
memiliki ilmu. Saya hanya mengangguk sembari mengucap ‘enggih’ sebagai pembenaran atas kalimat menyejukkan yang
dilontarkan Pak Kiai.
Dari komunikasi, baik verbal maupun
nonverbal, yang dilakukan Pak Kiai itulah, hati saya tersentuh. Jiwa yang
semula hampir kering, terbasahi kembali. Alam bawah sadar saya berkali-kali
memerintahkan bibir untuk bergerak, dan lirih saya mengucap: astaghfirullah al-‘adzhim. Pak Kiai
serupa malaikat yang sedang berupaya mempengaruhi pikiran untuk segera
memperbaiki diri.
Sejak itu, saya seperti mendapat angin
segar untuk menginsyafi diri, mengubah lelaku ke arah yang lebih baik. Minadzh-dzhulumati ilannur. Pak Kiai
adalah cahaya kebaikan yang tetap terpatri dalam jiwa. Selamanya. Dan semenjak
saya boyong dari Buntet, cahaya
kelembutan itu seperti menjadi karib di sepanjang langkah yang berderap.
Kini, cahaya yang menjadi pelecut
semangat untuk tetap melakukan peningkatan kebaikan itu, menjadi ruang tak
terbatas. Cahaya itu menyatu dengan cahaya yang berada di atas cahaya. Ia bercampur,
menyinari jiwa-jiwa yang juga tak memiliki batas.
Pak Kiai Dud, jasadnya telah diistirahatkan.
Akan tetapi, lembut tutur katanya senantiasa melekat di telinga siapa saja yang
pernah mendengar. Fisik Pak Kiai telah tiada, tapi ruhnya justru akan selalu
setia menemani para santri. Kita mungkin merasa kehilangan sosok yang penuh
dengan kesantunan, kala bersikap dan bertutur itu, tapi sungguh kita takkan
pernah kehilangan. Bahkan justru akan semakin dekat dan lekat dengannya.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Pak Kiai itu milik Allah, kini beliau telah kembali; berpulang dengan
teriring doa yang tak berbatas. Allahuakbar,
kalimat yang seringkali diperdengarkan Pak Kiai itulah yang saat ini telah
mewujud. Bahwa kuasa dan kemahabesaran Allah melampaui segala hal.
Selamat jalan, Pak Kiai. Jasa besarmu sungguh
tak bisa terhitung. Pak Kiai telah menjadi bagian dari perjuangan perubahan yang
tetap terkenang selamanya di dalam hidup ini, menjadi pelita yang terus bersinar; menyinari kegelapan dan kepekatan dunia.
Al-Fatihah...
0 komentar: