Bukan Indonesia
namanya jika tak gaduh. Akhir-akhir ini, energi pikir dan celoteh kita habis oleh
berbagai fenomena yang menarik jika diambil hikmahnya. Hikmah, berarti
kebijaksanaan. Bisa juga diartikan sebagai manfaat atau makna terdalam dari
setiap peristiwa yang terjadi.
Adegan yang
hingga kini masih bergulir dan kian panas adalah kasus berita bohong yang
dilakukan Ratna Sarumpaet. Entah rekayasa atau tidak, ada skenario di balik kejadian
itu atau tidak, saya tak ambil pusing.
Sebagai masyarakat
awam, saya melihat ada yang tidak beres dari para elit negeri ini mempermainkan
lakon dagelan di layar kaca. Bagaimana mungkin, sosok aktivis yang suaranya
cukup vokal, bisa membohongi seorang Prabowo Subianto dan orang-orang terdekatnya.
Tapi sudahlah.
Tak perlu dibahas. Semuanya sudah melakukan klarifikasi versi masing-masing.
Meski selalu ada babak baru dari berbagai argumentasi yang dikemukakan. Banyak
anggapan bahwa Ratna merupakan sosok yang memiliki rasa tanggung jawab atas kebohongannya
di depan publik.
Ada pula yang
mengatakan, Prabowo pun bersikap ksatria. Memaafkan Ratna, meski proses hukum
harus terus dijalankan, sekalipun dirinya pun juga terlibat dalam proses hukum
itu. Walau demikian, ada saja yang berasumsi bahwa Prabowo cuci tangan terhadap
kasus berita bohong tersebut.
Amien Rais pun
demikian. Ia dipanggil aparat kepolisian untuk diperiksa dan memberikan
kesaksian terkait kasus Ratna Sarumpaet itu. Amien, merupakan orang dekat
Ratna, karena sama-sama menjadi bagian dari Tim Pemenangan Prabowo-Sandi.
Namun, rupanya
ia pernah mangkir karena ada kesalahan penulisan nama. Kemudian, akhirnya ia
datang ke Polda Metro Jaya dengan membawa 300 pengacara yang siap mendampingi.
Begitu pula simpatisan setianya. Saat diwawancara, apa yang mereka katakan:
kriminalisasi terhadap tokoh agama (atau katakanlah ulama).
Akar rumput
jadi tegang. Riuh. Sesama warga masyarakat pun bahkan ada yang saling bersilang
pendapat, hingga akhirnya terpercik aroma kebencian. Ini yang tak sehat. Lantas,
apa yang mesti kita ambil sebagai hikmah dari kejadian tersebut?
Jelas,
menyebarkan berita bohong itu adalah perbuatan yang tidak baik. Secara tidak
langsung, Ratna mengajarkan kepada masyarakat bahwa hoaks menjadi musuh bersama
bangsa ini. Perlahan, masyarakat awam jadi cerdas.
Berhati-hati
dalam mencerna pemberitaan yang datang dan berseliweran di media sosial. Uji
validitas dan mencari kebenaran sebelum menyebarkannya kembali. Kalau ternyata,
kebenaran dari sebuah berita yang didapat itu meragukan, maka alangkah lebih
baiknya untuk tidak melanjutkan penyebarannya.
Menjadi bijak,
memang sulit. Tetapi berusaha untuk menjadi bijak, terutama dalam berselancar
di media sosial, harus dimulai sejak dini. Pelajaran berharga yang telah
diajarkan oleh Ratna Sarumpaet itu mestilah jadi pencerdasan bagi kita.
Terlepas para
elit politik negeri ini kian gencar menggulirkan bola panas, yang ditujukan
kepada lawannya, masyarakat sebaiknya tak turut dalam perguliran bola panas
itu. Sebab jika akar rumput terbakar, maka takkan ada lagi penyeimbang
kebenaran atas moralitas di negeri ini.
Itu Ratna
Sarumpaet...
Kemudian, ada
atlet Judo di ajang Asian Para Games 2018 bernama Miftahul Jannah. Ia wanita
muslim dengan balutan jilbab di kepalanya. Namun, ia rupanya diminta untuk
membuka ‘mahkota’nya jika ingin melanjutkan kontestasi di kompetisi bergengsi kaum
difabel se-Asia itu.
Penghargaan dan
apresiasi berdatangan dari mana-mana saat ia memutuskan untuk mundur dari pertarungan.
Alasannya karena mempertahankan ajaran agama, akidah, dan syari’at Islam. Sesaat
setelah pertandingan itu dimulai, Jannah harus menerima diskualifikasi dari
wasit.
Berbondong-bondong
masyarakat Indonesia tersulut emosinya. Berasumsi bahwa wasit pertandingan kala
itu tengah melakukan diskriminasi terhadap agama Islam. Parahnya, barangkali
karena ketidaktahuan, banyak yang menyangka bahwa rezim di bawah Jokowi
benar-benar anti-Islam.
Namun rupanya,
aturan tentang pelarangan mengenakan penutup kepala termasuk jilbab telah
diberlakukan sejak lama. Alasannya demi keamanan sang atlet. Sebab, jilbab
dinilai dapat membahayakan atlet judo, seperti leher tercekik atau cedera
lainnya di bagian kepala.
Direktur
Olahraga Panitia Penyelenggara Asian Para Games 2018 (Inapgoc), Fanny Irawan membenarkan
bahwa aturan tersebut telah berlaku secara internasional. Menurutnya, dalam
aturan Federasi Judo Internasional (IJF), artikel empat poin empat disebutkan
kepala tidak boleh ditutup kecuali untuk membalut yang bersifat medis.
“Balutan medis
itu pun harus mengikuti aturan kerapian kepala,” kata Fanny, demikian saya
lansir dari kompas.com.
Lebih lengkap aturan
itu berbunyi:
Rambut panjang harus diikat dengan pita
rambut yang terbuat dari karet atau bahan sejenis dan tidak ada komponen kaku
atau logam. Kepala tidak boleh ditutupi kecuali untuk pembalutan yang bersifat
medis yang harus mematuhi aturan kerapian kepala.
Sedangkan Penanggung
Jawab Judo Asian Para Games 2018, Ahmad Bahar, larangan itu juga sudah diatur
dalam aturan wasit di Federasi Olahraga Buta Internasional (IBSA).
Selain itu,
Ketua National Paralympic Committee (NPC), Senny Marbun mengaku bersalah dan
meminta maaf. “NPC sangat malu dan tidak mengharapkan ini terjadi. Saya akui
NPC bersalah karena ini keteledoran kami juga,” kata Senny.
Namun, Deputi
IV Bidang Peningkatan Prestasi Kemenpora, Mulyana, mengatakan perubahan peraturan
dalam cabang olahraga Judo terkait penggunaan jilbab yang sesuai harus
mendapatkan dukungan internasional, termasuk dari Komite Olimpiade
Internasional (IOC).
“Rekomendasi atlet
berjilbab dapat mengikuti pertandingan dalam cabang olahraga Judo butuh kajian
dan harus datang dari seluruh federasi. Namun, aturan dalam Judo itu mengacu
pada prinsip keselamatan bagi seluruh atlet dan tidak ada diskriminasi dalam olahraga,”
kata Mulyana.
Lantas, sebagai
masyarakat awam yang tak tahu regulasi olahraga Judo apa yang bisa kita ambil
sebagai hikmah dari kejadian yang menimpa Miftahul Jannah itu?
Pertama, jelas
soal pengetahuan baru tentang peraturan yang berdasarkan pada prinsip
keselamatan itu. Peraturan dibuat tentu atas kajian-kajian mendalam terlebih
dulu. Terlebih, aturan tersebut berlaku untuk skala internasional.
Kedua, NPC
telah mengakui kesalahan atas keteledoran yang telah diperbuat. Maka, dalam
segala aspek kehidupan hendaklah kita mengetahui berbagai aturan yang sudah
terterap untuk dilaksanakan. Melanggar peraturan, terlebih mengingkari keputusan
yang telah disepakati bersama merupakan bentuk pengkhianatan. Paham ya?
Ketiga, mari kita
dorong IJF untuk segera mengkaji ulang peraturan tentang pelarangan terhadap atlet
Judo mengenakan penutup kepala. Sebab, ada banyak negara muslim di dunia yang
atlet-atletnya berjilbab. Tentu, peraturan itu juga harus berasaskan pada prinsip
keselamatan.
Keempat, kejadian
Miftahul Jannah itu mengajarkan kepada kita agar tidak berkomentar tentang
segala sesuatu yang tidak menjadi kompetensi diri. Serahkan semua kepada ahlinya.
Sebab, pepatah mengatakan: “tong kosong nyaring bunyinya”.
Kelima, sudahi bersikap
playing victim!
Selain Judo dan
berita hoaks, kita juga dihebohkan oleh aksi heroik yang dilakukan Khabib
Nurmagomedov melawan Conor McGregor dalam gelaran Ultimate Fighting Championship
229 di T-Mobile Arena, Las Vegas, Amerika Serikat, pada Sabtu (6/10) malam
waktu setempat.
Sebelum
pertandingan, si penantang (McGregor) berkali-kali melakukan provokasi sebelum
pertandingan dengan melempari bus. Bahkan urusan-urusan pribadi Khabib kerap
direcoki. Termasuk ayah dan agama Islam yang dianut Khabib kerap dihina dengan
cercaan yang menyakitkan.
Namun, semuanya
dibalas dan terlampiaskan di arena pertandingan. Petarung muslim asal negeri
Komunis itu akhirnya keluar sebagai juara. Ia mampu membuat McGregor KO hanya
dalam empat ronde.
Lalu, apa yang
harus kita ambil hikmah dari peristiwa heroik itu? Sebagai muslim, kita tentu
akan mengatakan bahwa jangan sembarangan dengan agama penyempurna itu. Sebab
ada hadits yang berbunyi: al-islam ya’lu
wa laa yu’la alaih.
Substansi Islam
akan senantiasa tertampak, sekalipun bertubi-tubi banyak pihak yang ingin
melemahkannya. Ada pula peribahasa yang berbunyi bahwa mutiara akan tetap
berkilau meski terkubur dalam lumpur.
Kemudian, kita
mendapat pelajaran berharga bahwa di banyak pertandingan atau kontestasi,
penantang memang akan agresif melakukan provokasi. Lebih-lebih, jika mengetahui
kualitas lawan lebih unggul.
Hal tersebut mirip
dengan situasi politik Indonesia akhir-akhir ini. Sekali lagi, penantang akan lebih
provokatif jika melihat kubu lawan lebih punya kualitas tinggi.
Itu UCF...
Selain itu, ada
juga Kontes Gay di Pulau Para Dewa, Bali. Syukurnya sudah dibatalkan. Namun,
satu yang ingin saya katakan: Tuhan tidak pernah
ikut campur ke dalam persoalan teknis.
Allah dalam Al-Qur'an seringkali berfirman: afalaa tatafakkaruun, afalaa tatadabbaruun, afalaa ta'qiluun. Itu bahasa Allah, halus. Bahasa Cak Lontong: mikir!
0 komentar: