Sumber gambar: jogja.tribunnews.com |
Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia (RI) KH Lukman Hakim Saifuddin
mengungkapkan bahwa kesalehan santri tidak dilihat dari penampilan sok suci dan
tanda-tanda fisik ahli ibadah. Melainkan dari pengaruhnya terhadap perbaikan
masyarakat.
“Dalam pergaulan santri, kedalaman ilmu dan kebijaksanaan
diri seringkali digambarkan dengan secangkir kopi,” katanya saat orasi
kebudayaan pada acara Malam Kebudayaan
Pesantren, di Panggung Krapyak, Yogyakarta, Rabu (10/10) malam.
Ia mengamati bahwa dunia kehidupan pesantren, santri yang
punya kebiasaan malas dan kurang produktif dianggap kurang minum kopi. Santri
yang emosional dan mudah dibohongi adalah tanda kalau minum kopinya kurang
pahit.
“Santri yang kuper dan kudet, berarti ngopinya kurang
jauh. Santri yang suka ngeyel dan mudah menyalahkan orang lain, itu tandanya belum
pernah menyeduh kopi,” kata Kiai Lukman di hadapan ribuan orang yang saat itu
hadir sembari duduk bersila dan sebagian ada pula yang berdiri.
Selain itu, ia menilai santri yang hanya mementingkan
diri sendiri, jelas suka kopi yang gratisan. “Tapi kalau ada santri jam segini
tak kunjung ngopi, itu cuma perkara belum dapat rejeki,” kelakarnya disambut
gelak tawa hadirin yang sebagian besar adalah santri Krapyak.
Kiai Lukman menerangkan bahwa ada seorang ulama bernama
Syekh Ihsan dari Jampes, Kediri, Jawa Timur yang mengarang kitab berjudul Irsyadul Ikhwan fi Bayaani Qahwah wad Dukhon
(Petunjuk Umum untuk Kopi dan Rokok). Dalam kitab itu disebutkan, kopi
adalah minuman para ulama karena bisa meningkatkan dan mempertajam intuisi.
Di dalamnya, diulas pula soal perdebatan tentang hukum
menyeruput kopi. Hal tersebut menjadi maklum, karena kopi sudah terlalu jauh
masuk ke wilayah pesantren. Bahkan, terdapat adagium bahwa penggerak utama
pesantren itu sesungguhnya terdiri dari kiai, santri, ngaji, dan kopi.
“Saya tidak hendak mengajak anda semua untuk ngopi. Tapi
saya justru ingin mengingatkan, pesantren bukanlah warung kopi. Pesantren
adalah tempat menuntut ilmu dan menimba pengalaman,” tambahnya.
Ia memandang bahwa pesantren merupakan tempat untuk
menyadari tentang menjalani hidup yang diibaratkan seperti menikmati kopi. Ada
pahit-pahit manis yang bikin melek hati. Sebagai majelis pengetahuan, kopi pun
jadi bahasan ulama dalam karya tulisnya.
“Ini berarti, ilmunya para kiai tidak sebatas perkara
salat hingga haji, tak cuma soal membasuh muka sampai menata hati, tetapi juga
urusan menyeruput kopi,” pandang Kiai Lukman.
Baginya, hal yang harus digarisbawahi adalah betapa kuat
budaya literasi kaum santri hingga sempat-sempatnya menulis kitab tentang kopi.
“Boleh jadi lantaran mereka tak pernah lupa bahwa
literasi adalah tradisi asli para ulama dan kiai,” pungkasnya.
(Sumber: NU Online)
0 komentar: