Presiden SBY saat pimpin upacara pemakaman Gus Dur, Desember 2009. Foto: antarafoto.com |
Saat memimpin upacara pemakaman KH Abdurrahman Wahid (Gus
Dur), di Komplek Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, pada 31 Desember 2009,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara terbuka mengakui Gus Dur sebagai
‘Bapak Pluralisme’.
Jauh sebelum itu, yakni pada 24 Agustus 2005, sejumlah tokoh
lintas agama, Jaringan Doa Nasional Tionghoa Indonesia, dan warga Ahmadiyah
menganugerahi Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Penganugerahan ini
kemudian disampaikan di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat.
Ideologi pluralisme yang dibawa Gus Dur dan penghormatannya
kepada pluralitas, sepenuhnya berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap
ajaran Islam, serta tradisi keilmuan yang ada dalam lingkungan Nahdlatul Ulama.
Pertama, prinsip
pluralisme diakui di dalam kitab suci. Al-Qur’an secara tegas mendeklarasikan
bahwa pluralitas masyarakat, dari segi agama, etnis, warna kulit, bangsa, dan
lain sebagainya itu merupakan keharusan sejarah yang menjadi kehendak Allah.
Karenanya, upaya penyeragaman dan berbagai bentuk
homogenisasi yang lain, termasuk dalam hal pemahaman dan implementasi ajaran
agama, adalah sesuatu yang bertentangan dengan semangat dasar Al-Qur’an. (Baca:
QS Al-Maidah: 48).
Pluralitas agama dan masyarakat menjadi alat uji atau
parameter kualitas keberagamaan umat. Dengan pluralitas itu, bisakah setiap kelompok
atau umat beragama bisa hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama
lain, dengan semangat saling belajar dan saling menghormati.
Atau, justru sebaliknya. Pluralitas itu malah menjadi alasan
untuk membangun klaim-klaim kebenaran yang bersifat sectarian.
Kedua, nalar keagamaan
NU sepenuhnya dibangun di atas spirit pluralisme. NU mengikuti tradisi
pemikiran madzhab yang menjadi pilar tegaknya peradaban fiqih. Sebab, ajaran Islam tidak digali secara
langsung dari sumbernya, tapi melalui pemikiran ulama madzhab.
Dengan demikian, maka pemikiran NU terhindar dari pendekatan
tekstual dan interpretasi tunggal terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
Fiqih dirumuskan sebagai hukum atau kumpulan hukum yang
ditarik dalil-dalil syar’i, yakni Al-Qur’an dan Hadits. Definisi ini, menurut
Gus Dur dalam Pengembangan Fiqih secara
Kontekstual, jelas menampakkan adanya proses untuk memahami situasi yang di
situ ayat Al-Qur’an dan Hadits memperoleh pengolahan untuk disimpulkan
berdasarkan kebutuhan manusia.
Kalau pemikiran radikal berusaha memberikan ajaran Islam dari
tradisi masyarakat yang dianggap tidak murni, menyimpang dan sesat, maka fiqih
sebagai teori-teori hukum (ushul fiqh)
dan kaidah-kaidah hukum (qawaid fiqhiyyah)
memungkinkan agama menyatu dengan tradisi masyarakat setempat.
Dengan sentuhan tradisi, agama menjadi lebih membumi,
dinamis, dan tanggap dengan kepentingan kemanusiaan yang bersifat lokal dan aktual.
Fiqih adalah produk kreativitas intelektual ulama. Karenanya,
maka muncul berbagai madzhab fiqih. NU menganut empat madzhab, yakni madzhab
Hanafi, Maliki, asy-Syafi’i, dan Hanbali.
Kesediaan untuk bermadzhab kepada lebih dari satu aliran
pemikiran dengan sendirinya merupakan kesadaran total untuk menerima
pluralitas. Maka tak heran jika ulama NU seperti ditunjukkan dalam sejarah
bangsa ini yang sangat menghargai pluralitas dan tidak mudah untuk membuat
fatwa yang menyesatkan kelompok lain.
Di sinilah, nyata terlihat bahwa pluralisme yang dikembangkan
Gus Dur adalah revitalisasi dari ajaran Islam dan tradisi berpikir pesantren yang
telah berkembang selama berabad-abad.
(Tulisan diatas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri. Ditulis dalam rangka Haul Gus Dur ke-9 pada akhir Desember mendatang)
(Tulisan diatas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri. Ditulis dalam rangka Haul Gus Dur ke-9 pada akhir Desember mendatang)