Gus Dur bersama KH Hasyim Muzadi. Sumber: banyuwangi.nu.or.id |
Sudah bukan rahasia lagi, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dikenal dan diakui secara luas sebagai pejuang demokrasi yang sangat gigih. Indonesia yang dicita-citakan Gus Dur adalah negara demokrasi yang lebih kecil pengaruh militernya dan tidak ada fundamentalisme Islam.
Douglas E Ramage dalam buku Politics Indonesia: Democracy, Islam, and the Ideology of Tolerance mengatakan bahwa Gus Dur lebih memilih negara yang didominasi militer yang setidaknya bisa melindungi hak-hak minoritas keagamaan, kesukuan, dan kesatuan nasional daripada sebuah negara Islam yang tidak santun terhadap pluralitas.
Dalam dunia modern, bagi Gus Dur, demokrasi mampu mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa. Demokrasi dapat mengubah kecerai-beraian arah setiap kelompok menjadi berputar bersama-sama menuju kedewasaan, kemajuan, dan integritas bangsa.
Demokrasi menjadi sedemikian penting dalam sebuah negara yang pluralistik, karena ternyata peri kehidupan kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana yang demokratis.
Karena itulah, Gus Dur bersama para koleganya mendirikan Forum Demokrasi (Fordem), pada Maret 1991. Tujuan utamanya untuk memperjuangkan tegaknya demokrasi di Indonesia, baik pada level kelembagaan maupun kesadaran bermasyarakat.
Namun secara khusus, berdirinya Fordem dilatarbelakangi oleh dua peristiwa penting di Republik ini. Pertama, kasus Monitor pada Oktober 1990. Ketika itu, kantor tabloid tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara sebuah survei yang menyinggung perasaan umat Islam.
Menurut Gus Dur, kasus Monitor menunjukkan bahwa beberapa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi isu-isu agama untuk mengedepankan kepentingan mereka.
Kedua, berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Desember 1990. Gus Dur memandang bahwa ICMI merupakan alat eksploitasi politik terhadap agama yang mengutamakan kepentingan kelompok eksklusif yang sempit di atas kepentingan nasional.
ICMI akan mengalienasi nonmuslim dan memperburum pembelahan serta salah paham yang sudah kuat dalam masyarakat Indonesia selama ini, antara kelompok keagamaan, kesukuan, dan budaya yang berbeda.
Namun demikian, Gus Dur menegaskan bahwa meskipun demokrasi telah menjadi pilihan terbaik dan rasional, sebagaimana juga halnya negara, tidak akan pernah sempurna dan memuaskan.
Kerelaan untuk menerima kenyataan itu justru membangkitkan tekad untuk selalu mengusahakan perbaikan terus-menerus, agar menghampiri kesempurnaan, sekaligus menjaga agar tidak terjadi kemerosotan dan kemacetan, apalagi penyimpangan yang tidak perlu.
Gus Dur dalam Sekali Lagi Tentang Forum Demokrasi mengatakan, penghayatan bahwa demokrasi adalah sebuah proses yang kemudian akan melahirkan kesanggupan bermartabat.
Penghayatan tersebut diejawantahkan dengan tekad atau ikrar yang menyatakan, sekalipun belum atau tidak mampu untuk secara positif memberi sumbangan bagi tegaknya demokrasi, maka pantang untuk terlibat atau melibatkan diri dalam setiap sikap yang menghambat pertumbuhan demokrasi itu sendiri.
Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika Gus Dur diakui sebagai Bapak Demokrasi, karena perjuangannya yang tak kenal takut dan lelah untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia, hingga akhir hayatnya. Wallahua'lam, Lahu Al-Fatihah...
(Tulisan di atas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri, dan ditulis dalam rangka Haul Gus Dur pada akhir Desember mendatang)