Sumber: islamlib.com |
Saat banyak kelompok menghujat dan berusaha menyingkirkan
kelompok lain yang dianggap sesat, bahkan dengan cara-cara kekerasan atau penistaan,
seperti yang sering dialami Jamaah Ahmadiyah, Gus Dur tampil sebagai pembela.
Namun demikian, bukan berarti Gus Dur setuju dengan keyakinan
Ahmadiyah, tetapi ia sangat menghormati keyakinan seseorang.
Selain itu, Gus Dur juga ingin menunjukkan cara memahami dan
menghayati agama secara dewasa, penuh kearifan, dan kebijaksanaan. Tidak
semata-mata pemahaman agama yang berdasarkan pengetahuan atau sisi normatifnya
saja.
Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur meyakini bahwa kiai dan
pesantren dengan tradisi keilmuannya yang sudah sangat panjang akan selalu
bersikap arif dalam memahami berbagai jenis masalah.
Salah satu bentuk kearifan itu adalah toleransinya terhadap ‘gerakan
sempalan’ atau gerakan keagamaan yang dianggap sesat karena bertentangan dengan
keyakinan agama masyarakat pada umumnya.
Meskipun toleransi itu ada batasnya, tapi tetap saja terasa
bahwa kiai mengajarkan kepada kita, “Boleh saja memandang keyakinan orang lain
atau agama orang itu sesat, tetapi hal itu tidak dengan sendirinya menjadi
boleh untuk melarangnya atau melenyapkannya”.
Dalam salah satu kolomnya di Koran Tempo berjudul Kiai
Khasbullah dan Musuhnya pada 7 Juni 1980,
Gus Dur bercerita tentang sosok Kiai Khasbullah yang luar biasa.
Ia tipe kiai yang senang dengan keterusterangan sikap dan
ucapan. Lugas dalam berbicara, teguh dalam sikap, dan berani melawan yang
dianggap tidak benar.
Menegakkan hukum agama adalah perjuangan hidupnya yang
diabdikan untuk mengajar orang banyak di kampungnya. Model penyampaian masalahnya
langsung ke pokok persoalan. Tidak selesai dengan adu argumentasi, kalau perlu
adu jotos, sehingga masalah segera tuntas.
Di desa sebelah Kiai Khasbullah ketika itu, muncul gerakan
baru bernama Darul Hadis yang kemudian dikenal dengan Islam Jamaah. Di tahun
limapuluhan, belum ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga tidak ada lembaga
yang membuat fatwa sesat.
Sesuai dengan kelugasan seorang agamawan yang berpegang teguh
pada keyakinan keagamaannya yang dianggap benar, Kiai Khasbullah kemudian
menantang berdebat kelompok Darul Hadis.
Meskipun menang berdebat, Kiai Khasbullah tetap tidak
melarang kelompok Darul Hadis. Namun, toleransi ini ada batasnya.
Yakni selama Darul Hadis tidak tabligh (menyebarkan ajaran) ke desa lain di sekitarnya, Darul
Hadis dibiarkan berkembang. Kiai Khasbullah yang lugas dan keras ternyata
menyimpan kearifan yang mendalam.
Pertentangan pendapat tidak semuanya diselesaikan, dan lebih-lebih
tidak akan diselesaikan dengan melarang atau menyesatkan orang lain. Toleransi
itu, justru bisa lebih membawa hasil sebagai upaya menahan perluasan pengaruh
lawan.
Melalui tulisan itu, Gus Dur memberi contoh cara-cara
berdakwah ala kiai pesantren. Cara-cara dakwah yang santun, elegan, dan dengan
pemahaman yang utuh atas ajaran Islam. Kemudian juga dengan tujuan syariat,
sebagaimana yang telah dirumuskan para ulama saleh terdahulu dan dilestarikan
oleh kiai-kiai NU hingga kini.
Bukan dengan cara dakwah yang arogan dan membabi-buta dengan
mengkafirkan dan menyesatkan kelompok lain, serta menganggap diri sendiri
sebagai pihak yang paling benar dan suci. Sebuah dakwah yang sebenarnya
mencerminkan dangkalnya pemahaman atas ajaran Islam.
(Tulisan di atas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri dan ditulis dalam rangka Haul Gus Dur pada akhir Desember mendatang)