Sumber gambar: gusdurfiles.com |
Pada 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa di Klenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang sering
dikenal sebagai Kawasan ‘pecinan’ di Semarang Jawa Tengah, mentahbiskan KH Abdurrahman
Wahid sebagai “Bapak Tionghoa”.
Gus Dur bukan hanya banyak melahirkan pemikiran dan kebijakan
yang menghormati masyarakat Tionghoa, tetapi juga mensejajarkan mereka dengan
semua kelompok yang ada di Indonesia dari berbagai agama, suku, dan adat
istiadat yang berbeda.
Gus Dur adalah tokoh agama yang selalu ‘pasang badan’ atas tindakan
diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dan kelompok nonmuslim lainnya, baik yang
dilakukan oleh kelompok Islam sendiri maupun rezim Orde Baru. Ia merupakan
pembela bagi berbagai kelompok yang termarginalkan.
Tokoh Muhammadiyah, Moeslim Abdurrahman, menyebut Gus Dur sebagai
tokoh yang konsisten memperjuangkan hak-hak minoritas dan korban pelanggaran
hak asasi manusia (Kompas, 5 Agustus
2005).
Pada level praktis dan kebijakan, pembelaan Gus Dur terhadap
kelompok dan etnis Tionghoa dibuktikan secara nyata. Saat ia menjabat presiden,
Imlek bisa dirayakan dan diperingati dengan bebas. Warga Tionghoa tidak perlu
lagi sembunyi-sembunyi jika merayakannya.
Kebebasan itu tak lepas dari keputusan politik Gus Dur yang
pada 17 Januari 2000, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun
2000. Isinya, mencabut Inpres No 14/1967 yang dibuat Soeharto tentang agama,
kepercayaan, dan adat istiadat Cina.
Dengan Inpres No 14/1967, rezim Orde Baru yang represif telah
membuat Imlek terlarang dirayakan depan publik. Barongsai, liang-liong harus
sembunyi-sembunyi, huruf-huruf atau lagu Mandarin tidak boleh diputar di radio.
Selama 32 tahun Orba, tidak pernah ada Imlek yang meriah
seperti tahun-tahun setelah Gus Dur menjadi presiden.
Begitu besar perhatian dan pembelaan Gus Dur terhadap
kelompok Tionghoa, sehingga mereka pun memberi gelar “Bapak Tionghoa” kepadanya.
Bahkan tak hanya itu. Penghargaan dan penghormatan masyarakat Tionghoa kepada
Gus Dur juga selalu ditunjukkan dalam berbagai kesempatan.
Terdapat timbal-balik, saling menghargai, dan saling
menghormati antara Gus Dur dan masyarakat Tionghoa. Hal itu bukan lantaran
motif kekuasaan atau keduniaan, tetapi karena keduanya sama-sama mencintai Indonesia
dan kemanusiaan.
Pada 18 Juli 2005, Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Dr Asvi Warman Adam memberi kesaksian:
"Saya teringat malam kesenian yang diadakan Perhimpunan Inti
(Indonesia-Tionghoa), 17 Agustus 2004, di Graha Sarbini, Jakarta. Ketika acara
dimulai, muncul Salahuddin Wahid yang saat itu cawapres (pasangan Wiranto),
disusul Hasyim Muzadi yang juga cawapres (bersama Megawati). Pertunjukan
berlangsung terus. Ketika Gus Dur masuk ruangan bersama istrinya, tanpa komando
seluruh hadirin berdiri memberi hormat."
(Tulisan di atas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri, dan ditulis dalam rangka Haul Gus Dur pada akhir Desember mendatang)