Orang Madura dan Tradisi Karapan Sapi. Sumber: bobo.grid.id |
Mohamad Kifid, seorang pemuda Bangkalan, Madura, Jawa Timur baru saja tamat dari Madrasah Aliyah ternama di kampungnya. Kini, ia sudah dewasa. Mau tidak mau, harus bekerja.
Hari demi hari, ia mencari pekerjaan. Apa pun, akan dilakukan asalkan tidak menganggur. Sebab kalau tidak punya penghasilan, ia merasa malu kepada kedua orang tuanya yang hanya bekerja sebagai nelayan. Penghasilan bapak dan ibunya, tidak seberapa.
Karena jenuh, akhirnya ia memutuskan untuk merantau ke Ibukota DKI Jakarta. Teman-teman dekatnya, banyak yang mengatakan kalau Jakarta adalah tempat yang paling menjanjikan untuk mencari pekerjaan dan mendapatkan penghasilan. Kifid, mengamininya.
Namun, setelah beberapa bulan ia di Jakarta, tak kunjung pula mendapat kerja. Karena jenuh, sangat jenuh, terbersit di pikirannya untuk membuka sebuah klinik pengobatan. Sekalipun Kifid bukan dokter atau pun pernah belajar ilmu kedokteran, ia tak peduli.
Kifid berpikir bagaimana caranya agar orang-orang mau berobat ke kliniknya. Ia pun membuat iklan menarik. Sebuah brosur dibagi-bagikan ke setiap rumah yang ada di lingkungan sekitar tempat ia tinggal.
Di depan kontrakannya, ia juga memasang spanduk berukuran besar. Tulisannya, "Bisa Menyembuhkan Segala Penyakit. Ayo berobat ke mari. Kalau sembuh cukup bayar Rp100 ribu, kalau tidak sembuh kami bayar anda Rp1 juta".
Belum ada seminggu buka praktik, seorang dokter kebetulan lewat dan membaca iklan yang dibuat Kifid. Penasaran, dokter itu pun ingin mencobanya.
"Sakit apa sampeyan, Pak?" tanya Kifid dengan logat Madura yang khas.
"Mulut hambar. Kalau makan tidak berasa apa-apa," jawab dokter.
"Oh itu hilang perasa namanya. Baiklah, itu cukup diberi obat nomor 22 sebanyak tiga tetes ke dalam mulut."
"Wah! Ini minyak rem. Bukan obat!"
"Nah, bapak sudah bisa merasakan lagi. Itu sudah sembuh namanya. Silakan bayar Rp100 ribu."
*****
Merasa dikerjain, dokter sungguhan itu jengkel. Beberapa minggu kemudian, ia datang lagi ke kediaman Kifid.
"Duh, sampeyan lagi. Sakit apa lagi, Pak?" tanya Kifid santai.
Dokter menjawab dengan pura-pura mengeluh, "Saya hilang ingatan."
"Baik, saya akan memberi bapak obat nomor 22 dan gunakan sebanyak tiga tetes saja ke dalam mulut."
Tapi dokter itu malah menolak.
"Ah, gak mau. Ini kan minyak rem yang kemarin."
Dengan sangat santai dan rileks Kifid bilang, "Alhamdulillah bapak sudah bisa mengingat lagi. Berarti bapak sudah sembuh. Tolong bayar Rp100 ribu."
*****
Dokter kian jengkel. Ia merasa dikerjain lagi. Selang beberapa minggu, ia datang lagi dan berniat untuk balas dendam. Namun kali ini, ia pura-pura sakit yang sangat parah agar dokter gadungan bernama Kifid itu tidak mampu menyembuhkan.
"Eeeehhh, sampeyan lagi. Sakit apa lagi, Pak?"
"Mata saya rabun tidak bisa melihat apa-apa dengan jelas."
Dengan cerdik, Kifid berulah.
"Mohon maaf, Pak. Kalau sakit seperti itu saya tidak bisa menyembuhkan. Ini silakan ambil Rp1 juta (seraya menyerahkan sepuluh lembar uang dua ribuan)."
"Loh, ini kan cuma dua puluh ribu rupiah?" kata dokter terheran-heran.
Kifid bahagia. Katanya, "Alhamdulillah. Selamat, Pak. Bapak sudah sembuh karena sudah bisa melihat dengan jelas. Silakan bayar Rp100 ribu."
Hidup, Madura!
(Disadur dari buku 30 Kisah Teladan karya Abdurrahman Arroisi)
(Disadur dari buku 30 Kisah Teladan karya Abdurrahman Arroisi)