Calon Presiden RI Nomor Urut 02 |
Saya mantap memilih Prabowo Subianto sebagai calon presiden.
Tapi, setelah melihat video Prabowo merayakan Natal 25 Desember 2018, sembari berjoged dan bernyanyi, saya jadi ragu memilihnya. Lebih baik saya golput ketimbang memilih orang yang kadang Islam kadang Kristen (Prabowo, red).
Namun saya pastikan, bukan karena saya ragu ke Bapak Prabowo, lantas mendukung Jokowi. Saya tidak akan beralih dan memilih rezim yang didukung partai penista agama. Bagi saya: Pilih Prabowo atau Golput. Titik.
Kembali kepada kekecewaan saya atas Pak Prabowo yang merayakan natal. Bagi saya merayakan natal ini sudah melewati batas toleransi.
Saya harus akui terlebih dulu, bahwa saya menjadikan Natal sebagai salah satu ukuran dalam ber-Islam, minimal bagi diri saya sendiri. Awalnya, saya termasuk muslim yang meyakini mengucapkan natal adalah haram. Mengucap saja haram apalagi ikut merayakan.
Pandangan ini berubah seiring bertambahnya usia dan juga mendengarkan pandangan beberapa ulama. Jujur saja, dalam hal Natal, saya lebih condong ke pandangan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) ketimbang ulama lain. Saya menilai mengucapkan selamat natal tidak membatalkan akidah sebagai muslim.
Pandangan ini berbeda dengan saudara saya di Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan sebagian besar teman-teman dari Tarbiyah atau PKS. Ustadz-ustadz HTI masih istiqomah. Mereka memvonis haram ucapan selamat natal atau selamat hari raya kepada agama lain selain Islam.
Adapun di Tarbiyah atau PKS, sebagian besar masih mengharamkan mengucap selamat natal. Namun belakangan ini mulai muncul kader PKS yang membolehkan mengucap “selamat natal” meski ragu-ragu dan atau mungkin takut.
Keragu-raguannya itu terlihat dari keengganan menulis kata “natal”. Mereka akan memilih menuliskan: “Selamat Berhari Raya untuk sodaraku Umat Nasrani” daripada “Selamat Natal untuk Umat Nasrani”.
Bagi mereka menuliskan Natal berarti sama saja mengakui kelahiran Yesus sebagai Anak Tuhan sehingga bisa membatalkan akidah. Inilah yang membuat kader PKS takut.
Meski berbeda pandangan, saya tetap menghormati teman-teman di HTI dan PKS. Apalagi akhir-akhir ini, dengan suasana politik rezim yang kurang adil kepada beberapa ulama, umat Islam bersatu.
Lihat saja Gerakan Aksi Bela Islam 212 pada 2016 juga Reuni 212 pada 2018 yang bertambah besar. Gerakan 212 membuktikan bahwa perbedaan pandangan diantara umat Islam, tidak membuat umat ini terpecah belah, malah bertambah solid.
Gerakan 212 tidak terlampau tajam mempersoalkan boleh atau tidak mengucap selamat natal.
Lalu, bagaimana terkait merayakan natal bersama, seperti yang ditunjukkan Pak Prabowo, calon presiden favorit saya?
Sudah jelas pandangan-pandangan yang saya tulis sebelumnya. Merayakan natal bersama, adalah haram atau dilarang keras. Ini akidah. Sikap kita tidak bisa bergeser sedikitpun. Tetap haram.
Awalnya, saya tidak percaya dengan video Prabowo merayakan natal. Saya berprasangka video tersebut sengaja diembuskan relawan Jokowi buat mendiskreditkan Pak Prabowo.
Saya meyakini bahwa ulama-ulama 212 sudah memverifikasi keislaman Pak Prabowo. Saya meyakini Pak Prabowo memang pantas menyandang wakil umat Islam dalam pentas politik nasional.
Ketika ada yang mempertanyakan Pak Prabowo, tidak bisa membaca surat Al-Fatihah dan tidak bisa menjadi imam salat, saya masih mafhum dan tetap berprasangka baik; mungkin beliau, Pak Prabowo, tengah belajar Islam yang benar dan syumul, serta tidak mau riya'.
Namun semakin hari, prasangka baik saya mulai memudar. Kalau urusan salat, beliau tidak mau mempublikasi agar tidak riya', kenapa saat Pak Prabowo ikut ibadah agama lain malah tidak melarang untuk dipublikasi, agar tidak riya' juga? Di sini saya mulai sedih dan berpikir keras.
Puncak keraguan saya terjadi pada Natal 25 Desember 2018. Melihat Pak Prabowo merayakan natal bersama keluarga.
Saya tahu betul adik Pak Prabowo, Bapak Hashim Djojohadikusumo, Wakil Ketua Umum Gerindra, adalah seorang Nasrani taat. Ketaatan Pak Hashim pada kristennya bahkan pernah bersinggungan dengan PKS di era Presiden SBY.
Pak Hashim pernah menuding PKS, yang kadernya menjabat sebagai Menteri Pertanian, melakukan diskriminasi karena memecat pegawai Kementerian Pertanian yang beragama Kristen. Tudingan Pak Hashim beredar luas di youtube.
Tapi kekristenan Pak Hashim tak membuat saya luntur mendukung Pak Prabowo. Saya berasumsi kedekatan Pak Prabowo dengan ulama-ulama 212 akan membuat Pak Prabowo bisa mengislamkan Pak Hashim dan keluarganya. Saya yakin itu.
Namun keyakinan saya itu buyar. Saya mulai meragu karena makin ke sini Pak Prabowo ini terlihat kadang Islam kadang Kristen.
Glory-Glory Haleluya, Mars Prabowo-Sandi
Apalagi baru-baru ini tersiar kabar mars kemenangan Prabowo-Sandi yang lirik awal berbunyi “Solidarity Forever” melodinya menjiplak persis lagu rohani umat Kristen “Glory-Glory Haleluya”.
Awalnya, saya menilai mars itu menjiplak official anthem-nya klub bola Manchester United. Untuk menebalkan keyakinan saya mulai meriset. Saya memang gemar meriset hal apapun. Jadi menelusuri sejarah lagu “Glory-Glory” bukan pekerjaan sulit.
Hasil riset saya bikin terperangah. Kata “Glory-Glory” berasal dari lirik lagu Battle Hymn of the Republic yang ditulis oleh penulis asal Amerika Serikat, Julia Ward Howe pada 1861. Liriknya pertama kali muncul dalam tulisan Howe di majalah The Atlantic Monthly pada 1862.
Lagu tersebut menceritakan mengenai pertolongan dan keagungan Tuhan Yesus kepada umatnya dengan reff berbunyi “Glory Glory Hallelujah.”
Tambahan informasi juga saya dapatkan dari ceramah seorang pendeta wanita Indonesia; Jacqline Celosse di youtube. Ia menjelaskan sejarah lagu Glory-Glory Haleluya.
Pendeta itu mengatakan lagu ini menceritakan kisah Tentara (Kristen) yang mau maju berperang. Para tentara ini belum berperang dan belum menang. Namun dengan lagu ini, mereka sudah menyanyikan lagu kemenangan.
Dari dua informasi ini saya mengambil kesimpulan bahwa Glory-Glory Haleluya adalah lagu rohani umat Nasrani. Banyak umat Nasrani, fans sepak bola di Inggris Raya, mengambil semangat lagu ini digubah menjadi anthemnya klub bola favorit mereka.
Fans bola yang pernah menggubah Glory-Glory Haleluya adalah pendukung Tottenham Hotspur dan Manchester United.
Setali tiga uang, rupanya para elit Tim Pemenangan Prabowo – Sandi mengikuti jejak umat Nasrani pendukung klub bola di Inggris Raya.
Para Elit Tim Pemenangan Prabowo terinspirasi Glory-Glory Haleluya lalu menggubahnya menjadi Mars Pemenangan Prabowo Sandi.
Pertanyaan saya: Apakah para elit Tim Kampanye Prabowo-Sandi ini lupa kacang sama kulitnya?
Siapa yang habis-habisan mendukung Prabowo, yang berperang melawan penista agama?
Mereka lupa bahwa kita, umat Islam, yang berjuang. Tentu tanpa menyombongkan diri bahwa ini semua Takdir Allah. Tapi menggunakan lagu rohani kristiani untuk mars capres yang didukung Umat Islam, bagi saya, meminjam lagu Cita Citata: “Sakitnya, tuh, di sini.”
Mbok, ya, tahu diri, kalau mau bikin lagu kemenangan Prabowo Sandi sebaiknya terinspirasi dari lagu-lagu perjuangan Islam: Ada “Merah Saga” milik group nasyid Shoutul Harokah, atau “Hai Mujahid Muda” milik group nasyid Izzatul Islam.
Kedua lagu nasyid itu sesuai kondisi umat Islam Indonesia saat ini. Saya yakin jika dua lagu itu digubah menjadi Mars Kemenangan Prabowo, gairah umat Islam yang berjihad di jalur politik Pilpres 2019 akan semakin menggelora. Allahu Akbar!!!
Tapi apa lacur, Tim Pemenangan Prabowo lebih memilih Glory-Glory Haleluya. Apa maksud Anda?
Saya berjam-jam bermuhasabah memikirkan ini dalam setiap kesendirian. Saya terus terang kecewa. Akhirnya saya mendapatkan firasat dalam hati: Mungkin ini (video Mars Prabowo) adalah cara Allah menunjukkan kelompok yang ingin memanfaatkan dan menunggangi Umat Islam.
Saya tak akan sudi membiarkan kemenangan agama lain dengan memanfaatkan umat islam, apalagi memanfaatkan suara saya. Biarlah saya mengambil sikap berbeda dengan saudara-saudara umat Islam, khususnya 212.
Bagi saya, lebih baik golput ketimbang memilih Prabowo. Kemenangan politik praktis bukan tujuan akhir politik Islam.
Saya teringat nasihat Habib Salim Segaf, Ketua Majelis Syuro PKS, bahwa aktivitas atau dakwah politik kita hanya bertujuan untuk mendatangkan barakah Allah bukan kemenangan suara semata. Maka, anjuran-anjuran agar tidak golput tidak berlaku bagi saya.
“Lebih baik golput ketimbang memenangkan calon yang membawa misi agama lain.”
Saya tidak mengajak yang lain golput, saya menunjukkan sikap dan keyakinan bahwa kebarakahan Allah tidak diukur lewat kemenangan demokrasi semata. Lebih baik lama berjuang dan berdakwah ketimbang menyesal dan kecewa lebih cepat.
(AF, Kader PKS yang golput)