Ilustrasi. Sumber gambar: tribunnews.com |
Biar cerdas dan supaya kita tidak ribut melulu karena membela junjungan atau tokoh-tokoh yang ada di kubu junjungan kita, ada baiknya saya memberikan informasi berikut ini agar sesama rakyat jelata tidak gampang dibegoin.
Begini...
Prabowo Subianto ketika Pilpres 2009 adalah cawapres dari Megawati Soekarnoputri. Ketika itu, presiden dan pemimpin nasional terpilih kita adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono.
Nah, saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012, Fadli Zon (kaki tangannya Prabowo) adalah juru kampanye pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Pasangan itu, yang diusung oleh Partai Gerindra berhasil menang.
Pada 2004, Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah menjadi menteri di pemerintahan Megawati Soekarno Putri - KH Abdurrahman Wahid, juga pernah mencalonkan diri menjadi presiden bersama Jusuf Kalla, didukung Surya Paloh. Sementara penantang mereka adalah pasangan Megawati dan KH Hasyim Muzadi.
Pilpres berikutnya, 2009, Jusuf Kalla mencalonkan diri menjadi presiden dengan wakilnya Wiranto, melawan SBY-Budiono. JK-Wiranto didukung Aburizal Bakrie yang kini lebih dekat dan akrab dengan Prabowo Subianto. Prabowo, menjauh dengan JK dan Wiranto.
Nah, Ratu Hoaks Ratna Sarumpaet di zaman orde baru merupakan sosok yang cukup lantang menentang rezim Soeharto. Aktivis perempuan yang anak teater ini tak kenal lelah untuk terus mendobrak dinding kekuasaan 'pembunuh berdarah dingin' itu. Kini, Ratna digandeng (atau menggandeng) Prabowo yang disokong penuh Keluarga Cendana.
Anies Baswedan, pada 2013, pernah menjadi peserta kandidat calon presiden di konvensi Partai Demokrat.
Kemudian di Pilpres 2014, Anies berperan sebagai tim sukses Jokowi-JK dan sempat pula masuk kabinet, menjabat Menteri Pendidikan RI. Ia juga dikenal sebagai pengritik keras kelompok 'radikal' seperti FPI melalui Gerakan Merajut Kebangsaan. Sekarang, malah mendekat ke Prabowo, PKS, dan FPI.
Amien Rais, pernah menentang Megawati untuk menjadi presiden. Lalu ia membikin manuver poros tengah, menaikkan Gus Dur. Tapi di tengah jalan, Gus Dur malah digulingkan. Megawati justru dinaikkan jadi presiden.
Pada Pilpres 2004, Amien Rais menjadi capres berpasangan dengan Siswono Yudohusodo melawan pasangan SBY-JK dan Prabowo. Tapi sayang, Prabowo gagal nyapres karena kalah lebih dulu di konvensi Partai Golkar yang menelurkan keputusan, Wiranto-Shalahuddin Wahid (Gus Sholah) maju sebagai capres dan cawapres.
Nah lucunya, sekarang Amien Rais malah bergandeng mesra dengan Prabowo. Padahal di zaman reformasi, Amien Rais itu adalah target yang harus diamankan (atau barangkali dimusnahkan) oleh Prabowo.
Ali Muchtar Ngabalin, pada Pilpres 2014 adalah kerabat dekat dan semacam "die-hard" bagi Prabowo yang kemudian paling sengit menyerang Jokowi. Saat ini, Ali justru bergelayut manja di pelukan Jokowi.
Apa kabar PKS?
Saat Pilpres 2009 dan Pigub DKI Jakarta 2012, PKS itu gila-gilaan menyerang Prabowo. Ketika Pilpres, PKS mengusung pasangan SBY-Budiono melawan Megawati-Prabowo (Mega Pro). Sedangkan Pilkada DKI 2012, PKS mengusung Hidayat Nur Wahid berpasangan dengan Didik J Rachbini, Prabowo mengusung Jokowi-Ahok.
Nah sekarang, PKS berasyik-masyuk dengan Gerindra. Walau sebenarnya juga sedang kisruh terkait kekosongan Wakil Gubernur DKI Jakarta, sejak ditinggal Sandiaga Uno.
Selain itu, PDI Perjuangan bersama Partai Gerindra pernah mesra sebagai oposisi terhadap rezim SBY yang disokong Partai Golkar, PKS, dan PAN. Sekarang? Ya begitu itu...
Satu lagi yang lucu, musisi kenamaan tanah air, Ahmad Dhani, pernah menjadi musuh bebuyutan FPI. Apa pasal? Dianggap menginjak-injak lafaz Allah. Dibela oleh Gus Dur. Kemudian Dhani bikin lagu Laskar Cinta untuk menyindir FPI. Hari ini, kita bisa lihat bagaimana tingkahnya.
Dari pemaparan di atas, apa pesan yang bisa kita petik sebagai pembelajaran?
Bahwa sesungguhnya di dalam politik praktis yang orientasinya adalah kekuasaan, tidak ada kawan dan lawan abadi. Karena yang abadi adalah kepentingan. Jika ada kepentingan yang sama, maka kubu yang semula berseberangan menjadi rekat dan akrab.
Kata orang Babelan, everything is just game, enjoy bae ngapah.
Tidak perlu memusuhi kawan dan kerabat kita, atau bahkan kekasih dan keluarga yang berbeda pilihan politiknya.
Para elit politik itu bisa kapan saja, sesuka hati, bergonta-ganti pasangan dan kerabat politik. Mereka yang awalnya musuh, bisa saja menjadi kawan. Begitu, sebaliknya.
Sedangkan kita, sudah terlanjur memutus persahabatan, bahkan persaudaraan demi junjungan politik yang saat ini sedang kita bela dan dukung. Mereka-mereka itu bisa saja, usai Pemilu 2019 ini, sudah kongkow-kongkow bareng di balik panggung.
Kemudian mereka mendapat kekuasaan, sedang kita hilang persahabatan. Hal yang mesti diingat adalah bahwa saat hidup kita susah, maka orang pertama yang menolong kita bukanlah para elit politik di atas sana, tapi justru saudara, tetangga, dan kawan terdekat kita.
Jadi, jangan mau dibegoin sama elit politik!