Rico, seorang pria penyayang yang sering bertandang ke rumah kekasihnya, Nila. Perempuan cantik yang tercinta ini, kerap menyajikan masakan untuk seorang yang beberapa bulan lagi menjadi suaminya.
"Mau dimasakin apa nanti malam, Mas?" kata Nila, pada Sabtu siang, melalui pesan singkat aplikasi WhatsApp.
"Terserah kamu aja deh," jawab Rico singkat.
"Jangan bilang terserah dong. Bikin bingung yang mau masak aja."
"Ya sudah opor ayam, gimana?"
"Ih, tapi ayam lagi mahal banget."
Agak lama, Rico berpikir. Memberikan saran perihal masakan apa yang bakal disajikan Nila untuknya.
"Oreg tempe deh kalau gitu," kata Rico setelah beberapa menit.
"Sayang, tempe di Mang Soleh yang biasa aku beli itu lagi kurang enak. Kedelainya hancur."
"Atau sambel sama telor dadar juga aku udah seneng, kok."
"Cabe sekarang harganya lagi gila-gilaan," kata Nila hampir kesal.
"Oh, kalau begitu beli makan di warung padang aja. Atau kita makan di alun-alun."
Dengan nada sensi dan menulis dengan huruf kapital, Nila merajuk.
"KAMU TUH GAK MENGHARGAI AKU BANGET, SIH. AKU PENGIN MASAKAN BUAT CALON SUAMI SENDIRI MALAH MAU BILANG SEOLAH-OLAH MASAKANKU GAK ENAK. IYA KAN?"
*********
Rico dan Nila sudah menikah. Sudah berjalan sekitar dua minggu. Untuk menu makan siang yang sangat panas, Nila ingin menyajikan masakan yang pedas-pedas.
"Ayam ungkep enaknya pakai sambal nih. Mau dibikinin sambal apa kamu?"
Belajar dari pengalaman, Rico pantang bilang terserah. Dengan singkat ia katakan, "Sambal tomat aja".
"Tomatnya ijo-ijo, nih. Asem."
"Sambel terasi deh kalau begitu."
"Yah terasinya lagi habis."
"Ya sudah sambal mentah aja," kata Rico, santai.
"Ah kamu mah, bikin sakit perut aja itu. Sambal teri aja gimana? Enak kayaknya."
"Kamu pasti lupa ya kalau aku alergi teri? Coba yang lain deh."
"Susah banget, sih. Mau dibikinin sambal aja protes terus."
********
"Sayang, besok libur panjang nih. Enaknya ke mana ya?"
Tetap pada prinsip awal, Rico anti bilang terserah. Ia bilang, "ke pantai aja yuk".
"Jangan ah, banyak ubur-ubur. Aku jijik," kata Nila menolak.
"Atau kita sewa villa di puncak?"
"Musim hujan jalanan licin. Bahaya," lagi-lagi Nila menolak.
"Ke kebun binatang?"
"Ah, capek muternya. Panas kan."
"Gimana kalau kita liburan di rumah aja? Sekalian coba-coba resep baru yang kamu punya," kata Rico seraya mengelus rambut istrinya dengan lembut penuh kasih sayang.
"Tuh kan. Kalau diajak liburan pasti ujungnya di rumah aja. Enggak modal banget sih!"
Kepala Rico seperti akan tumbuh tanduk, tapi tertahan oleh rasa takutnya kepada istri. Takut dan sayang, beda-beda tipis, sih.
*********
Di commuter line tujuan Stasiun Jakarta Kota, Nila melihat seorang pasangan, entah masih pacaran atau sudah suami istri, hampir tak bisa terdeteksi.
"Sayang, lihat deh pasangan itu. Jomplang banget."
"Mana?" tanya Rico antusias, sembari matanya menyapu segala hal yang ada di depan tatapnya.
"Itu yang berdiri di dekat pintu. Si cewek cantik banget, tinggi, seksi kayak model. Cowoknya kok kuntet (pendek banget) begitu ya? Kalau menurut kamu, si cowok beruntung gak?"
"Ya jelas dong, beruntung."
Nila memulai dramanya. Bersyukur, commuter line sedang tidak terlalu ramai. Lagi-lagi ia merajuk.
"Kamu kok kayaknya gak beruntung banget punya istri aku. Gak tinggi, gak putih, gak cantik pula. Iya kan? Bilang aja gitu."
"Ya enggak dong, sayang. Aku beruntung banget kok punya pendamping hidup yang kayak kamu begini," kata Rico lirih, membisik di telinga Nila.
"Kalau beruntung, kenapa kamu liatin cewek itu mulu?"
Rico nahan kesel sembari membatin: Mahabenar cewek dengan segala bacotnya.