Sumber foto: matcha-jp.com |
Ini adalah cerita tentang dua orang dengan kondisi yang kontras. Yakni seorang laki-laki kaya raya dan perempuan papa. Dalam keseharian pun, keduanya tampak begitu berbeda.
Sang lelaki hidupnya padat oleh kesibukan duniawi, sementara wanita yang miskin itu justru menghabiskan waktunya untuk senantiasa beribadah.
Kesungguhan dan kerja keras lelaki itu membawanya pada kemapanan ekonomi yang diidamkan. Kekayaan yang diperoleh tak ia nikmati sendiri. Keluarga yang menjadi tanggung jawabnya, merasakan dampak ketercukupan karena jerih payah yang dilakukan. Lelaki ini memang sedang berkerja untuk kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak-anaknya.
Nasib lain dialami si perempuan miskin. Para tetangganya tak menemukan harta apapun di rumahnya. Kecuali sebuah bejana dengan persediaan air wudhu. Sebab bagi wanita taat ini, air wudhu menjadi kekayaan yang membanggakan meski hidup masih pas-pasan.
Bukankah kesucian menjadikan ibadah kita lebih diterima dan khidmat? Karenanya, ibadah menjanjikan balasan yang jauh lebih agung dari sekadar kekayaan duniawi yang fana ini.
Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dalam kitab al-Minahus Saniyyah mengisahkan, suatu ketika ada seorang yang mengambil wudhu dari bejana milik perempuan itu. Melihat hal demikian, si perempuan berbisik dalam hati, “Kalau air itu habis, lalu bagaimana aku akan berwudhu untuk menunaikan sembahyang sunnah nanti malam?”
Apa yang tampak secara lahir tak selalu menunjukkan keadaan sebenarnya. Diceritakan, setelah meniggal dunia, keadaan keduanya jauh berbeda.
Sang lelaki kaya raya itu mendapat kenikmatan surga, sementara si perempuan papa yang taat beribadah itu justru masuk neraka.
Apa pasal?
Lelaki hartawan tersebut menerima kemuliaan lantaran sikap zuhudnya dari gemerlap duniawi. Kekayaannya yang banyak tak lantas membuatnya larut dalam kemewahan, cinta dunia, serta kebakhilan. Apa yang dimilikinya semata untuk kebutuhan hidup, menunjang keadaan untuk mencari ridho Allah.
Pandangan hidup semacam ini tak dimiliki si perempuan. Hidupnya yang serba kekurangan itu justru menjerumuskan hatinya pada cinta kebendaan.
Ia tak mampu merelakan orang lain berwudhu dengan airnya, meski dengan alasan untuk beribadah. Ketidakikhlasannya adalah petunjuk bahwa ia miskin bukan karena terlepas dari cinta kebendaan melainkan “dipaksa” oleh keadaan.
Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani menjelaskan dalam kitab yang sama bahwa zuhud adalah meninggalkan kecenderungan hati pada kesenangan duniawi, tapi bukan berarti mengosongkan tangan dari harta sama sekali.
Segenap kekayaan dunia direngkuh untuk memenuhi kadar kebutuhan dan memaksimalkan keadaan untuk beribadah kepada-Nya.
Nasihat ulama sufi ini juga berlaku kebalikannya. Untuk cinta dunia, seseorang tak mesti menjadi kaya raya terlebih dahulu. Karena zuhud memang berurusan dengan hati, bukan secara langsung dengan alam bendawi.
(NU Online)