Sumber foto: suaranasional.com |
Pertama-tama, kita mesti maknai terma aktivis sebagai seorang atau kelompok yang bertindak secara bersama untuk sebuah perubahan; perumusan; dan penetapan tujuan bersama.
Hannah Arendt membedakannya dengan manusia pekerja dan seniman. Manusia tindakan (aktivis) merupakan konsep manusia paling otentik, yakni ketika perilaku mereka hanya tertuju pada keutamaan hidup: kebebasan.
Sebagai manusia otentik, aktivis sangat diharapkan sumbangsih gagasan dan gerakannya. Sebab, ada banyak realitas menjadi bobrok dan kemudian memicu kemunduran berpikir serta berperilaku.
Karenanya, mau tidak mau, aktivis harus terlibat dalam berbagai upaya pengentasan berbagai permasalahan krusial. Sedangkan salah satu masalah yang hingga kini menuai pertentangan adalah isu pertautan antara Islam dan Negara.
Mengapa harus aktivis politik?
Lagi-lagi meminjam pernyataan Arendt, politik itu adalah kebebasan. Politik memungkinkan manusia untuk bertindak dan berpikir secara otonom.
Politik memicu hal-hal baru dengan menerobos standar atau mode perilaku, pemikiran, serta penilaian yang telah sedemikian rupa mengalami pembakuan. Itulah politik secara esensi.
Lebih jauh, karena isu Islam dan Negara sebagai sentral pembahasan, maka tentu tidak keliru jika politik dijadikan sebagai alat bantu bagi aktivis politik Islam dalam memposisikan diri.
Dengan demikian, menjadi aktivis politik Islam mendapati relevansinya yang sangat cocok dalam bahasan ini.
Islam Politik
Dewasa ini, perbincangan seputar Islam dan Negara memang tak henti menuai perdebatan. Sebagaimana disebutkan di awal, fokus tentang bagaimana pertautan keduanya menjadi bahan garapan yang terus dipoles sedemikian rupa.
Salah satu inti pertanyaan mendasar dalam persoalan tersebut adalah bagaimana pola pertautan antara Islam dan Negara dalam konteks Indonesia?
Masih mungkinkah mempertahankan pola legal atau formal, sebagaimana generasi muslim awal seperti Natsir menyerukannya? Apakah pola yang lebih substansial sebagaimana Cak Nur, Gus Dur, dan pemikir muslim generasi baru lainnya serukan?
Tidakkah pola yang disebut belakangan itu lebih mencerminkan nilai-nilai Islam? Perdebatan yang tak kunjung kelar inilah yang kemudian mengharuskan kita untuk bicara mengenai Islam Politik.
Ya, antagonisme dalam tubuh umat Islam, baik dalam aspek gagasan atau prakteknya, hanya mungkin diretas melalui jalur politik.
Islam Politik niscaya harus kita pandang sebagai alat paling memungkinkan untuk menebar keharmonisan. Paling tidak, meredam antagonisme yang seharusnya bukan sebagai keutamaan.
Namun jika tidak, disintegrasi di antara umat Islam sendiri hanya akan menjadi wabah penyakit yang mengerikan sekaligus mematikan.
Terinspirasi dari Leonard Binder, Islam akan mampu dipertahankan sebagai kekuatan politik hanya jika seseorang atau kelompok mau memainkan peran sebagai perantara kultural antara Islam dengan kebudayaan. Itulah mengapa Islam politik dalam hal ini dipandang relevan sebagai bahan diskusi bersama.
Bahtiar Effendi dalam Islam dan Negara (2009), memberi peta pemikiran politik yang terbilang relevan untuk terus dipertahankan, bila perlu diperluas.
Dalam bab 'Tumbuhnya Intelektualisme Islam Baru', ia mengulas secara historis tentang Tiga Aliran Pemikiran; Pembaharuan Teologis/Religius, Reformasi Politik/Birokrasi, dan Transformasi Sosial.
Meski upayanya tersebut dalam rangka memperbaiki keretakan hubungan antara Islam dan Negara, tetapi di sini kita bisa tempatkan sebagai gagasan pemikiran politik yang harus dirambah oleh masing-masing aktivis politik Islam.
Bersambung... (Maman Suratman)