Kelas Menulis, pertemuan kedua |
Untuk bisa menulis, syaratnya harus berlatih secara intens dan tidak instan.
Sudah sejak lama saya punya cita-cita dan keinginan untuk membuat sebuah riung rutin mingguan. Perkumpulan itu, tidak dihadiri oleh banyak orang sebagaimana seminar dan diskusi publik. Rutinitas yang saya maksud adalah Kelas Menulis yang dihadiri tidak lebih dari 10 orang.
Bagi saya, melakukan transfer pemahaman kepada sedikit orang akan sangat mudah diterima. Orang-orang yang sedikit itulah kemudian melingkar menjadi satu, membentuk sebuah kesepakatan bahwa menulis di era milenial seperti ini menjadi sangat penting.
Oke, siapa pun bisa menulis. Akan tetapi menulis seperti apa yang enak dan renyah untuk dibaca? Bagi saya, untuk bisa menulis, langkah utamanya adalah banyak membaca terlebih dulu. Ini yang saya tekankan kepada mereka; kader intelektual, demikian saya menyebut mereka.
Kemudian, mengasah keterampilan menulis juga penting. Saya lantas berpikir, bahwa ilmu Jurnalistik yang telah saya pelajari 2-3 tahun silam, sangat berguna untuk melatih agar tulisan menjadi tajam, runcing, dan tentu asyik dibaca.
Ketika itu, saya banyak belajar teori; dan setelahnya, tentu saja praktik. Mulai dari Dasar-Dasar Jurnalistik, Bahasa Jurnalistik, Penulisan Berita dan Opini, Logika Bahasa, dan lain sebagainya. Di luar pelajaran formal pun, saya menggali keilmuan dengan memperbanyak diskusi bersama wartawan kawakan, terutama di Kota Bekasi.
Usai hampir seluruh ilmu itu terserap, saya lantas memberanikan diri untuk menulis. Menulis apa pun. Mulai dari tulisan santai, inspiratif, persuasif, hingga provokatif. Berita, saya juga menulisnya. Kini, berkat kompetensi yang saya punya itu; saya dipercaya memegang Website NU Bekasi atau nubekasi.id.
Selain itu, saya ini adalah Kontributor NU Online (nu.or.id) yang tentu sering menulis berita, artikel, atau opini yang juga banyak dibaca orang. Menulis itu mudah dan asyik. Syaratnya, ada kemauan.
Kelas Menulis Pelajar NU Bekasi adalah jawaban dari kegelisahan saya selama ini dalam mencari kader penerus yang mampu menulis kreatif. Bertempat di Kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bekasi, saya menjadi pengampu ilmu bagi murid yang ingin bisa menulis dengan baik dan terampil.
Waktunya, saban Sabtu bakda zuhur. Jumlah muridnya? Jelas tidak banyak. Hanya sekitar 6-7. Intens dan rutin. Ini baru angkatan pertama. Jika memungkinkan, bakal ada angkatan kedua, ketiga, keempat, bahkan hingga keseratus; barangkali. He he he he.
Kelas Menulis itu tergagas atas saran saya dan disetujui oleh Ketua IPPNU Kabupaten Bekasi. Saya memang senang memberi saran, kalau setuju dijalankan, tapi kalau tidak biar ‘mampus kau dikoyak-koyak hoaks dan tak bisa melawannya’. Begitu saja, pikirku singkat.
Bersyukur, Nur Arfah menyetujui. Awalnya, menurut saya, ia ragu karena memikirkan ‘ongkos’ per pertemuan. Saya tertawa saja, dan kemudian menekankan bahwa saya tidak akan datang lagi kalau dikasih amplop yang isinya uang.
Sebab, inilah yang saya maksud juga sebagai bentuk khidmat kepada organisasi yang telah banyak memberi manfaat dan berkah bagi kehidupan saya sejauh ini. Maka, pemahaman yang saya punya ini biar menjadi amal saleh saja; yang tak bisa terhitung oleh nominal sebesar apa pun. Soal duit, bisa dicari di tempat lain.
Rutinitas ini baru berjalan sejak dua minggu lalu. Berarti baru dua pertemuan. Tanggal 5 Januari 2019, pertemuan pembuka. Rencananya, hingga akhir Maret. Setelah itu, kader-kader unggul, penulis milenial, dan jurnalis hebat kepunyaan Bekasi sudah bisa tampil di muka. Kita lihat nanti.
Di pertemuan pertama, saya buka dengan sesi perkenalan. Menggali sejarah hidup, mengenali diri, dan sejak kapan mulai suka menulis. Saya pun membuka itu, meski dalam tulisan ini tidak mungkin saya kemukakan awal mula menulis dan mencintai pekerjaan yang bakal abadi ini.
Kelas Menulis, pertemuan pertama |
Ya, bagi Pramoedya Ananta Toer, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Bagi saya, sebagaimana yang dijadikan tagline aruelgete.id, bahwa menulislah agar abadi.
Selain itu, saya juga menjelaskan soal minat dan bakat. Keduanya bukanlah satu kesatuan yang utuh, tetapi masing-masing dari keduanya itu memiliki independensi. Minat, bagi saya adalah kemauan yang kuat, sehingga dari tidak bisa menjadi mahir atau ahli. Sementara bakat merupakan keahlian naluriah, yang sudah ada atau terlihat sejak seorang manusia dilahirkan.
Saya, bisa menulis karena minat. Sejak kecil, tidak ada sedikit pun cita-cita untuk menulis. Karena menulis, bagi saya ketika itu, bukan pekerjaan yang menjanjikan. Juga, kedua orang tua saya pun tidak pernah mengarahkan anak bungsunya ini menjadi seorang penulis kelak di kemudian hari.
Di pertemuan kedua, sudah masuk ke materi. Saya jelaskan materi dasar Jurnalistik yang harus mereka ketahui. Seperti misalnya pengertian dan ciri-ciri Jurnalisme, sembilan prinsip Jurnalisme, dan karakteristik Jurnalis serta produk-produk Jurnalistik.
Mereka, dengan antusias, memperhatikan. Seperti berharap ada energi baru yang masuk untuk giat menulis dan kemudian tulisan-tulisan mereka dibaca banyak orang, sehingga menjadi kepuasan batin tersendiri. Setelah itu, mereka mendapat ‘berkah’ dari tulisan yang dibuatnya sendiri.
Saya juga menjelaskan tentang masalah-masalah yang sering dilakukan oleh Jurnalis. Terlebih Jurnalis yang tidak pernah belajar Jurnalisme, atau belajar tapi tidak lama; singkat saja. Seperti pesantren kilat, 2-3 hari kelar. Ilmu kok instan, bisa-bisa penyakitan nanti. Demikian pikirku.
Maka, sering juga kita menemukan penulisan yang acakadul dan semrawut. Bahkan logika bahasa yang tidak teratur kerap tampil, sehingga membuat pembaca jadi harus berpikir dua kali.
Saya jadi ingat dawuh guru Jurnalistik ketika itu. Katanya, penulis yang baik adalah yang tulisannya ketika dibaca bisa dengan sangat mudah dipahami. Tidak membuat pembaca kepusingan, atau membuat mereka membaca dua kali.
Kesalahan-kesalahan (typo) penulisan nama orang dan lokasi, juga tak jarang kita temukan. Jurnalis, banyak juga yang pemalas. Tidak mau melakukan konfirmasi sehingga mendapatkan data yang valid. Tak sedikit pula yang malas untuk mengedit tulisan-tulisan yang typo.
“Makanya, sebelum tulisan itu dikirim atau ditayangkan, haruslah dibaca terlebih dulu secara berulang-ulang sampai yakin tidak ada kesalahan dalam penulisan, sekecil apa pun,” kata saya mendoktrin murid Kelas Menulis, dan mereka mengangguk tanda mengerti.
Kurang lebih seperti itu gambaran Kelas Menulis, sebuah ruang atau wadah kaderisasi intelektual yang intens dan tidak instan, sehingga melahirkan kader unggul yang sangat dibutuhkan dalam suasana perang ideologi seperti sekarang ini.
So, menulislah mulai dari sekarang. Belajar menulis sekarang juga. Jangan ditunda. Menulislah agar abadi. Begitu kata saya kepada setiap orang yang bilang ingin menulis, tapi tidak juga memulainya.
Wallahua’alam.