Ilustrasi. Sumber: merdeka.com |
Azan subuh menggema. Membangunkan kehidupan kota untuk kembali beraktivitas di awal pekan. Lafaz syahadat yang dikumandangkan muazin dengan suara khasnya, mengingatkanku pada sebuah pertemuan dengan sosok yang kusebut: Gadis.
Malam itu, sudah lama sekali sampai-sampai tak rinci aku mencoba menerawang ingatan.
Di ujung selatan kota, pertamakali parasnya terekam dalam benak. Matanya yang agak bulat, bibir tipis yang membuatnya manis, serta kerudung sederhana yang dikenakannya ketika itu, bagiku cukup untuk menghiasi keramaian. Senyumnya tak kalah indah dari langit yang bertebaran bintang.
Angin-angin bertiup kencang dengan teriring lantunan salawat para pecinta nabi, bersaut-sautan dengan bising klakson dan mesin kendaraan yang ramai melintasi jalan raya. Tubuhku dan orang-orang yang ada di sekitar tak sengaja tergerak mengikuti irama rebana yang mengiringi kisah perjalanan manusia suci.
Kalimat-kalimat tayyibah disenandungkan sebagai identitas dari keberimanan manusia di negeri ini. Orang-orang, pada malam itu, bersukacita memperingati penghulu alam raya yang diutus ke bumi untuk memperhalus budi dan mempertajam intelektual bagi peradaban.
Gadis itu berdiri tegap, sorot matanya tajam memperhatikan setiap orang yang melangkah di hadapannya. Meskipun begitu, senyum dari bibir tipisnya tak pernah lelah diberikan sebagai bagian dari ajaran kemanusiaan yang dibawa nabi.
Aku pun begitu. Juga tak luput dari pandangannya yang memukau. Bahagia, tentu saja. Ada perasaan bahagia bercampur bangga, bahkan sekaligus rasa penasaran yang berlebih untuk–setidaknya—mencari tahu identitas dirinya.
Dalam jarak sekira lima belas langkah dari tempatku berdiri, Gadis menjadi objek penglihatanku seraya meniadakan pandangan yang lain. Seperti syahadat, saat itu aku bersaksi bahwa tiada objek yang pantas dipandang selain paras manis miliknya. Barangkali, inilah yang disebut sebagai pandangan pertama. Takjub.
Akan tetapi, berulang kali di dalam hati, aku mencoba menepis perasaan itu. Tapi semakin diupayakan agar rasa itu pergi, justru kian kuat rasa penasaran menggelora dalam dada. Karena itu, pandanganku sengaja kualihkan ke atas; ke langit yang sedang cerah-cerahnya.
Aku menyendiri, mensunyikan diri di dalam keramaian, memandang langit yang hening. Sembari membayangkan paras manis Gadis itu bergelayut manja di awan, beriring-iring dengan sekumpulan bintang yang melengkapi keindahannya
“Ah bodoh! Bukannya membuang justru malah membayang,” umpatku dalam hati.
Usai berdialog dengan diri, rupanya aku terkalahkan oleh bujuk rayu—entah siapa—untuk mendekat atau bahkan membincang walau hanya sekadar dua kadar. Aku beranjak, memutar arah sepasang sandalku ke depan dan memakainya, kemudian melangkah perlahan penuh ragu dan malu; mendekati Gadis.
Entah siapa yang lebih dulu, tangan kami berjabat, saling menggait satu sama lain. Masing-masing dari kami, secara bergantian, menyebut identitas diri yang paling fundamen; nama. Setelah itu, ada tekad dalam hati bahwa sekalipun sudah kutahu siapa biasa ia disapa, aku tetap menamainya Gadis
Tak lupa, kami berswafoto sebagai pengingat jika kelak di kemudian hari kembali bertemu. Senyumnya kini sudah abadi, baik di dalam ingatan atau pun pada gambar digital di gawai milikku
Sungguh, malam itu, bahagiaku membuncah. Gadis dan sebuah pertemuan di malam yang dianugerahi banyak berkah. Harapku, rajutan pertemuan akan senantiasa terangkai hingga batas waktu yang tak bisa ditentukan, kecuali jika semesta sudah berkehendak.
Gadis…