Demi kebutuhan perut dan kekayaan, lawan bisa jadi kawan atau sebaliknya. Bahkan, menjadi munafik pun seperti wajib dilakukan. Lantas, di mana letak idealisme? Jawabannya: terletak di permukaan bibir, menjadi diksi-diksi yang rumit dimengerti.
*****
Akhir-akhir ini, di linimasa media sosial milik pribadi, saya memosting berbagai kutipan atau 'untaian kata bijak' soal idealisme. Saya yakin, di luar sana, ada banyak orang yang membicarakan soal pernyataan saya yang diabadikan oleh admin instagram @katabangaru.
Jujur, kalimat-kalimat itu muncul dari obrolan-obrolan santai atau celetukan ringan kala sedang membincang berbagai hal dengan teman diskusi, baik yang sebaya maupun lebih tua, mulai dari rakyat jelata hingga pejabat pemerintah kota.
Soal bagaimana makna idealisme, saya rasa tidak sulit untuk mencarinya di internet. Tinggal googling saja. Terlebih di zaman yang serba digital ini, segala sesuatunya tersedia di mesin pencari google. Termasuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang akan memberikan makna terkait kata-kata yang dicari, dan sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), sebelumnya EYD.
Saya pun demikian, mencari bentuk dan makna kata tidak hanya dari satu sumber. Jujur saja, saya tahu 'idealisme' itu dari Tan Malaka. Siapa dia? Sila cari tahu sendiri. Secara umum, dia adalah Bapak Bangsa Indonesia yang mati di tangan saudaranya sendiri.
Kata-kata Tan Malaka yang sering digaungkan, terutama oleh mahasiswa pergerakan atau aktivis mahasiswa adalah, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki seorang pemuda".
Oleh sebab ketertarikan saya dengan kalimat tersebut, suatu ketika, bersama dengan salah seorang teman diskusi, saya mengeluh: "Jangan-jangan anak-anak muda yang maunya serba instan itu tidak kenal dengan sosok Tan Malaka?"
Seorang teman yang ada di hadapan, saya tanya. Apakah dia tahu tentang idealisme dan sosok Tan Malaka? Jawabnya lucu. Sungguh, lucu.
"Siapa sih itu Tan Malaka? Sok banget ngomongin idealisme, belum tahu aja sih kalau hidup pragmatis itu, enak."
Seketika itu saya tertawa terbahak-bahak. Bukan maksud menghina karena menertawakan dengan sangat berlebihan, tapi jujur itu adalah spontanitas. Tak lama kemudian, saya jelaskan semampunya, juga disesuaikan dengan kadar intelektualitas lawan bicara saya itu.
Jadi, kemudian saya membuat status WA berupa kalimat Tan Malaka dipadukan dengan jawaban pemuda zaman now, teman diskusi saya itu. Begini jadinya:
Tan Malaka bilang, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki seorang pemuda".
Dijawab oleh pemuda zaman now, "Siapa itu Tan Malaka? Sok banget ngomongin idealisme, belum tahu aja sih kalau hidup pragmatis itu, enak".
Nah, baiklah. Saya jelaskan, bahwa orang-orang yang memiliki karakter idealis, di muka bumi, hanya segelintir saja. Tidak banyak. Merekalah yang biasanya memiliki pandangan berlainan dengan orang-orang yang ada di sekitar, punya konsep diri yang berbeda, dan cara yang tidak sama dalam menanggapi setiap langkah kehidupan.
Seseorang yang merasa diri sebagai sosok idealis, pasti ada rasa bangga tersendiri, karena telah menjadi beda dari kondisi pemikiran, cara pandang, dan gaya hidup orang-orang pada umumnya. Bahkan, sosok yang idealis itu terkadang diasingkan (atau mengasingkan diri) karena tidak suka (atau tidak disukai) dengan (atau oleh) orang-orang yang ada di sekitarnya.
"Lebih baik diasingkan daripada harus menyerah pada kemunafikan," kata Soe Hok Gie. Tau? Pasti kagak. Hahahahaha...
Berikut adalah ciri dari orang-orang yang memiliki karakter idealis. Saya dapatkan dari berbagai sumber terpercaya di internet, juga buku (digital dan cetak).
Pertama, berani berargumentasi dengan sangat kontras atau berbeda dari pandangan umum.
Di saat suatu kebijakan atau peraturan ditetapkan, sementara orang-orang secara gambaran umum ada yang mengangguk, tidak setuju tapi diam, dan senang selama itu menguntungkan; berbeda dengan seorang idealis, karena dia pasti gerah melihatnya.
Dia akan berargumentasi dengan kontras dan keras, tak peduli terhadap resiko yang akan dihadapi. Dia bakal menyuarakan suara yang berasal dari lubuk hati terdalam, agar muncul ke permukaan sehingga menjadi 'ancaman' bagi orang atau kelompok yang tidak disukainya.
Kedua, dianggap berbeda dan dijauhi banyak orang.
Seorang idealis akan banyak dibicarakan karena gelagat frontal dan tidak peduli dengan budaya yang telah berjalan sebagaimana biasa. Sebab, menurut seorang idealis, seseorang itu direkrut ke dalam bagian sebuah kelompok adalah karena sebagai (atau membawa) pribadi, yang bukan hanya untuk mengekor tanpa tahu arah yang akan dilalui di depan.
Dan, menurutnya, bukan hal yang salah juga jika melakukan kritik dengan lantang dan keras. Toh, kritik merupakan bagian dari pengejawantahan kata-kata tulus untuk menuntut sebuah perubahan menjadi lebih baik, walaupun itu menyakitkan untuk didengar.
"Qulil haq walau kaana murron!" demikian kata Nabi Muhammad, panutan dan sosok muslim sedunia yang sangat idealis.
Ketiga, tidak pernah punya niat untuk mengubah diri (menjadi tidak idealis).
Seorang idealis, akan sangat sering berasyik-masyuk dalam pemikiran pribadi yang kritis nan ideal, tapi bukan dimaksudkan sebagai sebuah sifat yang egois atau keras kepala.
Dia juga terkadang bercermin diri, berdialog pada diri, bermuhasabah, introspeksi, serta memperbaiki diri (bukan mengubah karakter). Namun, sungguh, dia tetap akan berada di jalur 'kebenaran', menyuarakan kenyataan yang sering ditutup-tutupi.
Sekalipun resiko dimusuhi, misalnya, atau jabatan terancam, bahkan menjadi miskin karena tidak kebagian 'kue', seorang idealis akan tetap teguh pada pendiriannya.
Dia berkeyakinan bahwa rezeki dan takdir di dunia ini, sudah ada yang mengatur. Sebab yang terpenting adalah menjadi pribadi yang benar dan membenarkan berbagai sesuatu yang dianggapnya sebagai sebuah kekeliruan.
Keempat, idealisme dilembutkan (tapi tidak bisa diubah) oleh cinta.
Sebab cinta juga bisa bersemi pada pribadi yang idealis. Susah menerima pendapat yang normatif dan budaya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip idealisme, tidak menutup kemungkinkan untuk cinta itu dibangun dan bersemi dalam sisi ideal.
Seorang idealis tidak pernah bermaksud atau berkeinginan untuk mencari pasangan yang sempurna, tetapi justru pasangan yang bisa mengerti serta memberi pengertian dari sudut pandang lain; dengan bahasa cinta.
Dia suka dengan kata cinta, tapi dia pasti paham betul bahwa cinta bukan hanya sekadar kata-kata, dan yakin kalau cinta akan datang karena implementasi yang memikat.
Seorang idealis, di mana pun berada, siapa pun orangnya, pasti merupakan seorang yang cerdas dan memiliki kadar intelektualitas di atas orang-orang yang ada di sekelilingnya. Ini sudah rahasia umum. Silakan saja, dicari dan dibuktikan sendiri.
Maka, karena kecerdasan itulah, sosok yang berkarakter idealis memiliki daya pikat tersendiri, yang tidak dipunya oleh kebanyakan orang; pada umumnya.
Maka, jangan pernah takut kepadanya. Sebab, dia tidak akan membuat hal-hal yang kriminal atau membuat masalah yang berkenaan dengan hukum, terlebih masalah cinta. Hahahahahaha.
Sebab, sebagaimana wataknya, dia akan berkata dengan sebenar-benarnya perkataan. Kalau sedang rindu dan cinta, akan disampaikan pula dengan bahasa frontal dan apa adanya. Tidak canggung, jaga wibawa (jaim), dan berpura-pura manis padahal busuk.
Kelima, dikenal sebagai sosok yang menjadi diri sendiri.
Idealis itu merupakan karakter yang seringkali dicap, hampir mirip, dengan tindakan provokatif. Betul. Hanya bedanya tidak dalam makna negatif, tetapi mengajak orang lain berpikir agar tak termakan oleh keadaan; sekalipun menguntungkan.
Orang-orang seperti itu, dikenal dan dinilai sebagai sosok yang mampu menjadi diri sendiri, dan berbeda atau berani berbeda (dalam kebaikan). Sementara hal tersebut, sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Iya, kan? Dari sisi mana pula, seorang idealis itu dapat merugikan?
Pertanyaan kemudian yang muncul adalah, "Bukankah seorang yang luar biasa itu dilahirkan dari sesuatu yang tidak biasa?"
Namun, perlu diingat, bahwa seorang yang punya karakter idealis itu, tidak angkuh terhadap siapa pun. Dia tetap membumi, karena yakin tidak akan tertelan bumi sekalipun tak dapat mengikuti arus.
"Ingatlah, bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi," kata Tan Malaka.
Kebanyakan, secara umum, orang-orang yang bersuara lantang menyuarakan kebenaran itu adalah seorang pemimpin pada zamannya. Sebab, barangkali bagi mereka, dasar awal menjadi pemimpin adalah saat mampu bertahan walau banyak ocehan dan komentar yang menggoncang.
Seorang idealis akan senantiasa melangkahkan kaki untuk terus mendaki dengan tetap menghadap ke bawah dan ke depan sesekali, secara bergantian. Dia tidak akan menoleh sedikit pun ke belakang, walau sebenarnya tahu bahwa ada banyak pisau yang siap membunuh.
Menjadi idealis itu berat, orang-orang pragmatis, pengecut, penakut, dan selalu mementingkan hal-hal yang bersifat duniawi pasti tidak akan kuat.
Sebab harus siap menerima resiko; diasingkan, hidup miskin, bahkan berbagai ancaman pembunuhan (seperti Nabi Isa 'Alaihissalam), atau bahkan dibunuh seperti diantaranya Tan Malaka, Otto Iskandar Di Nata, dan Khulafaur-Rasyidin.
Kalau kamu, hanya karena tidak kebagian kue, pasti ngedumel. Iya, kan? Hahahahaha...
"Idealisme adalah nasi dan garam, pisau dan darah," kata sahabat saya, mahasiswa tingkat akhir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tidak khawatir kalau-kalau dosennya terciduk KPK lantaran kasus yang menjerat Ketua Umum PPP berlambang ka'bah, Romahurmuziy. Hahahahahaha.
So, di mana letak idealisme itu? Di permukaan bibir, menjadi diksi-diksi yang rumit dimengerti. Halah, kebanyakan alasan!
Sekian dan terima kasih~