Kiai Ma'ruf Amin. Sumber foto: tempo.co |
Beberapa saat setelah Joko Widodo menetapkan KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden, pada Kamis, 20 September 2018, publik masih bertanya-tanya, “Kenapa Kiai Ma’ruf Amin?”
Kiai kelahiran Kresek, Tangerang 11 Maret 1943 itu, tak pernah menyiapkan tim sukses agar dirinya dipilih Jokowi. Ia juga tak punya tim cyber yang terus-menerus mengangkat namanya di dunia maya. Kalaupun namanya selalu tampil di dalam media, hal itu lantaran kegiatannya di PBNU dan MUI yang dipimpinnya.
Akan tetapi, diam-diam, jauh sebelum penetapan tersebut, Kiai Ma’ruf mulai aktif berziarah ke makam leluhurnya. Pada 25 April 2017, ia sowan ke Dayeuh Luhur, tempat Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya dimakamkan.
Prabu Geusan Ulun adalah penerima mahkota Binokasih sebagai tanda beralihnya kekuasaan Pajajaran ke Sumedang Larang pada 1597.
Rupanya, Kiai Ma’ruf sudah mendapatkan firasat akan datangnya sebuah mandat kekuasaan untuk memimpin Indonesia. Karenanya, ia merasa perlu menziarahi para leluhurnya yang pernah menjadi raja dan ratu di berbagai tempat.
Ia perlu ber-tawassul, agar diberi kekuatan dan ketabahan ketika tugas mulia itu diraihnya. Kiai Ma’ruf Amin memang berdarah ningrat dari Sumedang.
Jalan Tengah
Pola terpilihnya Kiai Ma’ruf sebagai cawapres hampir sama dengan terpilihnya KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1999) menjadi Presiden RI ketiga dan terpilihnya Djuanda Kartawidjaja menjadi Perdana Menteri (1957-1969). Pola ‘jalan tengah’ namanya.
Nama Djuanda diajukan oleh Presiden Soekarno, karena partai-partai saling kunci dengan tidak menerima calon dari partai lain. Kabinet silih berganti dalam hitungan bulan, sehingga pembangunan tidak dapat berjalan. Karena itu, kehadiran Djuanda sebagai birokrat nonpartai diterima sebagai jalan tengah.
Begitu pula Gus Dur. Ia diusung oleh partai-partai ‘poros tengah’ atau koalisi partai-partai Islam untuk menjadi salah satu kandidat presiden yang akan dipilih dalam sidang umum MPR. Selain dianggap merepresentasikan aspirasi partai-partai Islam dan masyarakat muslim, Gus Dur juga dapat diterima partai-partai nasionalis dan masyarakat berideologi nasionalis.
Kiai Ma’ruf pun menjadi jalan tengah diantara partai-partai pendukug capres petahana, Joko Widodo. Ia dapat diterima kelompok Islam dan nasionalis. Ia juga dianggap tidak ‘berbahaya’ untuk pilpres berikutnya pada 2024.
Terpilihnya Kiai Ma’ruf sebagai cawapres tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Akan tetapi secara umum, masyarakat menaruh optimisme bahwa Pilpres 2019 akan kembali memperkuat ikatan dan lebih menatap ke depan.
Ancaman terjadinya perang berita palsu (hoaks) dengan isu-isu agama menjadi reda, terlebih setelah Capres Prabowo Subianto memilih Cawapres Sandiaga Uno yang berlatar belakang pengusaha.
Anggapan bahwa Jokowi tidak berpihak pada kepentingan umat Islam, menjadi terbantahkan. Kiai Ma’ruf adalah Rais ‘Aam PBNU (mundur, digantikan KH Miftachul Akhyar) sekaligus Ketua Umum MUI Pusat.
Berdasarkan ‘fatwa’ pada kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), lahirlah gelombang demonstrasi yang dimotori Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI).
Fatwa yang dimaksud pada saat kejadian adalah fatwa yang ditandatangani oleh Kiai Ma’ruf. Meskipun yang ditetapkan MUI pada 11 Oktober 2016 itu berupa pendapat dan sifat keagamaan MUI Pusat, tetapi publik cenderung menganggap bahwa semua produk MUI adalah fatwa. Maka, lahirlah GNPF-MUI tersebut.
Setelah itu, lahir juga Gerakan Bela Ulama yang dilatarbelakangi karena adanya kesan tindakan tidak hormat yang dilakukan Ahok terhadap Kiai Ma’ruf yang tampil sebagai saksi dalam persidangan kasus Ahok, pada 31 Januari 2017.
Oleh karena momen tersebut, kelompok Islam-kiri (baca: liberal) menilai bahwa Kiai Ma’ruf adalah ulama yang cenderung ke kanan atau termasuk kelompok Islam politik yang cenderung fundamentalis. Namun di sisi lain, tak jarang, oleh kelompok Islam-kanan, Kiai Ma’ruf dinilai sebagai ulama yang cenderung ke kiri atau liberal.
“Ada yang menganggap saya itu intoleran, ketika saya menjalankan fungsi-fungsi membangun umat dalam rangka membangun ukhuwah Islamiyah. Tapi ketika saya berusaha menjaga bangsa dan menyatukan ukhuwah wathoniyah, saya dianggap tidak konsekuen, bahkan tidak jarang saya dianggap murtad,” demikian ia sampaikan dalam acara Mata Najwa ‘Politik Sarung Ma’ruf Amin’ pada 30 Januari 2019 lalu.
Menurutnya, untuk meluruskan penilaian keliru mereka tentang dirinya, merupakan pekerjaan yang tidak mudah. “Tetapi pada akhirnya semua orang akan tahu bahwa saya tidak terlalu di kanan dan tidak terlalu di kiri, tapi ada di tengah (tawassuth),” tegasnya.
Terlepas dari itu, tidak dipungkiri bahwa ada keinginan besar di tengah masyarakat untuk menempatkan ulama sebagai pemersatu aspirasi. Jokowi menangkap itu dan memilih Kiai Ma’ruf.
Oleh karena itu, terpilihnya Kiai Ma’ruf sebagai cawapres sudah selayaknya disambut baik dan disyukuri. Inilah kesempatan terbaik bagi umat Islam dari berbagai madzhab yang ada di Indonesia, untuk menitipkan aspirasi kepadanya.
Kiai Ma’ruf merupakan sosok paling representatif mewakili aspirasi umat Islam. Sebagai (seorang yang pernah menjabat) Rais Aam PBNU (saat ini Mustasyar PBNU), ia telah ikut mengawal paradigma berpikir (fikrah), beramal (amaliyah), dan bergerak (harakah), sehingga menjadi organisasi moderat terbesar di dunia.
Sebagai Ketua Umum MUI Pusat, ia telah terbukti mampu mengakomodasi tokoh-tokoh dari berbagai kelompok dan gerakan Islam di Indonesia.
(Tulisan di atas disarikan dari buku 'KH Ma'ruf Amin: Santri Kelana Ulama Paripurna' karya Iip D Yahya)