Sumber: radarmadiun.co.id |
Puasa sudah memasuki hari keenam. Namun suasana perbincangan wacana politik-keagamaan di media sosial tak habis-habisnya bergulat pada amarah dan kebencian. Satu kubu dengan kubu lainnya saling melancarkan serangan, bertahan sesaat saja, selebihnya menyerang lagi.
Serangan-serangan itu kian serampangan dan tak jelas arahnya. Siapa saja bisa terkena serangan yang membabi-buta itu. Sudah babi, buta pulak. Alamaaak!
Dualisme dan politik pecah belah semakin jelas terlihat. Bahkan, orang yang kerap memposisikan dirinya berada di tengah atau netral, ikut juga menjadi bulan-bulanan dari serangan yang tidak jelas itu. Tidak ada lagi rasa welas asih kepada "wong liyan". Nilai-nilai keindonesiaan yang sejak lama dipupuk, yakni Pancasila yang jika diperas menjadi Trisila dan diperas lagi menjadi Ekasila (gotong-royong) itu telah hilang sama sekali.
Entahlah, saya bicara ke teman-teman diskusi tongkrongan di warung kopi, barangkali perseteruan dan perkelahian wacana di media sosial itu hanya terjadi di Jakarta dan daerah-daerah penyangganya saja? Bagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya? Hmmmmmm, rencana pemindahan ibu kota mungkin saja itu langkah yang baik untuk memeratakan konflik di negeri ini.
Selain itu, saya merasa bahwa Ramadan tahun ini --di Jakarta dan sekitarnya, entah di daerah lain-- tidak seperti Ramadan sebagai bulan yang ideal, yang selama ini kita wacanakan persis dengan apa yang difirmankan Tuhan dalam Qur'an dan digambarkan Nabi dalam Hadits. Entahlah.
Terlebih jika kita melihat di media sosial. Ah, sudahlah. Pokoknya begitu. Semrawut.
Nah menariknya, saat suasana sedang panas karena saling serang itu, ada pemandangan indah yang ditampilkan melalui berita online radarmadiun.co.id, Jumat (10/5) kemarin.
Yakni suasana dimana anak-anak TK yang berbeda keyakinan saling berpelukan. Itulah pelukan cinta. Kejadian tersebut terjadi saat momentum anak-anak TK Katolik Santo Bernadus mengunjungi TK Islam ABA Aisyiah di Madiun. Banyak teman saya di facebook yang kemudian mengunggah ulang foto tersebut menjadi postingannya sendiri. Ada rasa haru yang diciptakan.
Mereka, anak-anak kecil itu --yang belum mengerti persoalan orang-orang dewasa yang mengotak-kotakkan pergaulan, kubu-kubuan, dan saling bersitegang karena perbedaan pandangan-- berani menembus dinding penyekat yang oleh orang dewasa kekinian dianggap tabu.
Anak Katolik dan Muhammadiyah itu rupanya telah mengingatkan orang-orang dewasa tentang sesuatu yang sangat berharga, yang sulit ditemukan di zaman serba konflik seperti sekarang ini. Apa itu? Rekonsiliasi. Hal yang pasti tidak dipahami anak kecil.
Selain mengingatkan soal betapa pentingnya rekonsiliasi di kalangan elit negeri ini, bahasa tubuh anak-anak TK itu juga menyiratkan bahwa Ramadan merupakan bulan yang mulia. Sedangkan kemuliaan itu lahir bukan atas dasar permintaan agar dimuliakan oleh "wong liyan", tetapi kemuliaan justru bisa tercipta jika masing-masing kubu saling mengapresiasi satu sama lain.
Teman saya juga ada saja yang nyeletuk. Katanya, benarkah pelukan anak kecil lintas iman itu merupakan sinyal bahwa FPI akan segera menyusul HTI menjadi almarhum --secara harakah dan siyasah tapi tidak secara fikrah-- di negeri ini? Entahlah, mungkin benar tapi bisa saja tidak tepat.
Kalau saya justru bertanya-tanya, bisakah FPI belajar dari anak TK di Madiun itu? Sepertinya tidak. Karena sudah tidak ada waktu lagi untuk belajar, karena insyaallah pada Juli mendatang, FPI sudah tidak ada di Bumi Pertiwi.
Btw apa kabar Habib Rizieq Shihab, Sang provokator ulung dari Arab Saudi? Semoga selalu diberikan kesehatan, agar provokasi dan propaganda kebencian senantiasa diperdengarkan oleh masyarakat FPI di Indonesia. Itulah yang menjadi salah satu cahaya yang sangat terang benderang bahwa FPI akan segera dibubarkan.
Namun FPI dibubarkan atau tidak, semuanya ada di tangan Wiranto. Lho?