Aksi bela bendera Hizbut Tahrir, beberapa waktu lalu |
Mumpung belum masuk Ramadan, saya mau nyinyir. Jujur, sebenarnya saya malas bahas politik kekinian yang serba pecah-belah. Ditambah dengan elit-elit politik di atas yang kekanak-kanakan. Jelas saja jika akar rumput menjadi terbakar. Kalau tidak segera dipadamkan, bisa hangus dan menjadi abu.
Begini. Soal pemilu, sesungguhnya sudah selesai sejak 17 April 2019 lalu. Penyelenggaraan pemilu yang damai, tertib, dan sejuk menjadi nilai lebih karena sebelum pelaksanaan terdapat banyak kekhawatiran yang berlebih. Tapi toh, aman-aman saja kan? Alhamdulillah.
Kemudian, para relawan demokrasi tersorot oleh publik. Mereka bekerja demi terciptanya pemilu yang bersih, adil, dan tentu saja demokratis. Bahkan, hingga banyak yang tewas saat sedang menjalankan tugas. Kita mesti menaruh apresiasi dan tentu saja rasa belasungkawa kepada para pejuang demokrasi yang gugur itu.
Selain itu, pihak penyelenggara pun sudah bekerja sangat maksimal dan luar biasa. Walaupun ternyata ada banyak kekurangan, itu hal lain.
Selain itu, pihak penyelenggara pun sudah bekerja sangat maksimal dan luar biasa. Walaupun ternyata ada banyak kekurangan, itu hal lain.
KPU, dalam hal penghitungan suara sudah sangat transparan. Mereka juga membuka diri. Kalau ternyata ada yang dirasa janggal, seperti kecurangan atau kesalahan yang merugikan salah satu pihak, sila dilaporkan saja ke pihak yang berwenang untuk menindak. Sederhana sekali.
Tidak kemudian menyebar isu bahwa seolah KPU telah berbuat curang, sehingga apa pun hasilnya tidak akan diterima. Hmmmmm, maksud saya tidak akan diterima kalau kalah. Kalau menang, ya pasti diterima. Lucu sekali. Ini mirip saat saya masih kecil; inginnya menang. Kalau kalah, pasti ngamuk. Ya namanya juga anak kecil, belum dewasa. Kita tentu bisa memaklumi itu.
Ancaman-ancaman mulai dikemukakan. Termasuk juga ungkapan-ungkapan kebohongan. Ada pihak yang menuduh semua lembaga telah berlaku curang karena tidak ada yang memenangkan pihaknya. Sampai-sampai tidak mau ikuti aturan yang berlaku. Inginnya mengerahkan massa, yang mereka sebut people powder. Eh, people power. Mengepung KPU dan Bawaslu.
Padahal, people power dalam arti sesungguhnya, yang tepat dengan konteks politik keindonesiaan sudah kita laksanakan pada 17 April lalu. Kenapa harus menggunakan kekuatan massa untuk memaksakan kehendak? Jawabannya tak lain, karena gila kuasa dan ambisius. Ya Allaaaaah, bisa gilak kalau tidak kesampaian. Saya prihatin (pakai gaya Pak SBY).
Kalau toh, mereka mengerahkan massa untuk mengepung ini-itu, atau bahkan membuat kerusuhan sehingga sesama anak bangsa menjadi saling tumpah darah, saya pastikan bahwa dalang dari semuanya adalah pihak-pihak yang memang menginginkan Indonesia hancur. Sudah sangat terang-benderang itu. Pihak-pihak itu merupakan penumpang gelap demokrasi, yang sesungguhnya menolak demokrasi.
Penggiringan opini kerap terjadi. Sejak kampanye hingga kini. Mulai dari isu-isu (hoaks) yang dilemparkan ke kubu lawan, sampai tidak percaya terhadap hasil apa pun. Ujung-ujungnya, saya yakin, mereka akan menggiring opini masyarakat untuk tidak percaya terhadap sistem demokrasi yang dianggap syirik, kecuali menggunakan hukum Allah yang sudah pasti. Duh, dulu pondok mereka di mana sih? Pondok Bambu, Pondok Kopi, atau Pondok Ungu? Hmmmm...
Kemarin, di Tayangan Mata Najwa, Egi Sudjana bilang tidak akan menempuh jalur hukum kalau memang jagoannya yang jomblo itu kalah. Hal tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya pada tahun 2014 saat menjadi pengacara capres jomblo menuntut 'keadilan' ke Mahkamah Konstitusi. Katanya, percuma. Karena pengalamannya pahit. Maka, saat ini mereka akan mengandalkan kekuatan massa. Dasar pecundang! Heheheee. Memangnya kami takut? Disalawatin pakai salawat asyhgil, baru tahu rasa kalian!
Mereka itu lucu, mengajak yang masih unyu-unyu untuk teriak-teriak di media sosial. Walau ajakan itu tentu saja tidak secara langsung. Anehnya, banyak pendukung mereka yang sudah pasang baliho ucapan kemenangan, padahal pengumuman saja belum. Lebih lucu, mereka merasa menang, tapi menganggap ada kecurangan sehingga seolah-olah mereka itu kalah.
Deklarasi berkali-kali ditambah dengan sujud syukur, tapi tetap saja menganggap pihak penyelenggara dan petahana sudah melakukan kecurangan, sehingga sebenarnya mereka merasa bahwa sejak awal mereka sudah kalah. Tahu gitu, sih, mending kagak usah ikut dari awal. Ngeribetin aja!
"Ada kecurangan? Laporkan saja dengan bukti berupa data dan fakta!" kata pihak penyelenggara pemilu. Tapi apa jawab mereka? Entahlah selalu berkelit.
Nah kemudian, mereka selalu saja mengaburkan hal-hal makro menjadi mikro. Untuk bisa menjadi pemenang pemilu, tentu saja harus menunggu pengumuman KPU berdasarkan penghitungan dari seluruh wilayah se-Indonesia. Tetapi mereka tidak akan mempercayai itu. Mereka sudah merasa menang karena di Bengkulu dan Sumatera Barat, mereka menang.
Kan lucu...
Kemudian, kalau toh ingin pemilu itu diulang, maka keseluruhan harus diulang, termasuk Pemilihan Calon Anggota Legislatif, dari DPR-RI hingga DPRD Kota/Kabupaten. Itu tidak mungkin, karena akan menghabiskan banyak waktu dan biaya. Maka tak heran, kalau mereka ingin melakukan cara-cara instan, seperti rusuh dan turun ke jalan.
Bulan puasa? Tidak masalah bagi mereka. Sebab yang dilemparkan semangatnya adalah jihad. Sebagaimana Rasulullah juga berperang saat Ramadan. Ya terus dipikirnya sama, gitu? Jihad di Ramadan, kalau mati dihitung sebagai syahid dan masuk surga ketemu bidadari dan wik-wik di sana? Duh konslet otaknya, serius.
Jujur, kalau saya melihat tingkah laku mereka, saya jadi teringat masa kecil yang dalam permainan apa saja, inginnya menang dan tidak mau menerima kekalahan. Ya, kalau kalah itu berarti pihak lawan telah melakukan kecurangan-kucurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Kemudian, rusuh. Diacak-acak. Diputar-putar, dijilat, dicelupin. eh.
Nah, di saat-saat genting seperti ini, terlebih sebentar lagi Ramadan, rekonsiliasi menjadi penting. Rekonsiliasi berarti merajut kembali persaudaraan yang sempat terkoyak dan terkotak. Mengakui bahwa kita semua adalah saudara, sehingga jika melakukan hal-hal yang mengakibatkan kerusakan menjadi tidak tega karena ada rasa cinta terhadap sesama. Ini harus terus diungkapkan, di berbagai forum.
Ajakan-ajakan rekonsiliasi antardua kubu yang bertikai harus segera terlaksana. Tidak boleh, tidak. Kalau salah satu diantara dua kubu, ada yang tidak menghendaki adanya rekonsiliasi karena menganggap tidak punya masalah, itu bagus. Tapi semestinya para elit negeri ini segera menampakkan kemesraan agar akar rumput tidak terbakar hangus.
Oh iya, kemudian ada Ijtima' Ulama. Saya tidak mau banyak komentar soal itu. Hanya saja, saya tidak akan mengakui keulaman dan kealiman mereka. Toh, mereka juga tidak mewakili suara umat Islam secara keseluruhan. Begitu pula, Yang Mulia Habib Rizieq Shihab yang tidak mewakili suara umat Islam secara keseluruhan. Mereka tidak mewakili saya. Kemudian apakah saya menjadi munafik? Gundulmu! Eh, gundulku!
Terserah mereka mau apa. Mau jungkir balik atau dance ala rapper pakai sorban dan gamis, saya juga tidak akan peduli dan tidak berkomentar sedikit pun. Karena mereka itu bukan ulama yang menurut Mustasyar PBNU, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus adalah, alladzina yandzhuruna ummah bi 'aini rahmah. Sebab mereka itu selalu menebar dan mengancam, sehingga yang timbul adalah ketakutan.
Mereka itu ulama-politis. Buktinya, ah sudahlah.
Intinya, begini. Saya ingin sampaikan, terakhir, bahwa kalau sampai terjadi kerusuhan, pihak-pihak yang menginginkan itu pasti akan senang sekali dan segera mengambil-alih negara ini. Ngeri!
Tapi kepada people power, mari kita lantangkan suara: KAMI TIDAK TAKUT!
Apelo? Botak! Emang.